Hari Pertama Status Baru

1365 Kata
Tidak ada wanita yang merasa baik-baik saja setelah ditalak oleh suaminya, begitupun dengan Shania. Cinta pertama yang membuatnya menelan rasa sakit. Kini, dia pun percaya kalau pertama memang tidak selamanya akan jadi yang terakhir. Semalaman dia tidak bisa tidur nyenyak, menghabiskan waktu hanya untuk merenung dan menangis dalam diam. Masa pertemuan singkat dengan pria itu berhasil membuatnya jatuh cinta. Shania merasa sangat beruntung bisa bersanding menjadi istri. Namun, bayangan kebahagiaan itu ternyata hanya ada dalam angan Shania belaka, setelah dia mengetahui sang suami tidak sedikit pun menaruh hati untuknya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. "Aku masih bisa bertahan dengan dinginnya hatimu, Mas. Harapan agar batu karang itu sedikit demi sedikit terurai setelah aku berikan perhatian cinta yang besar. Namun, setelah aku tahu sainganku bukan cuma sikapmu saja, melainkan ada sosok spesial yang telah mengisi penuh hatimu, maka aku pun sadar diri tidak akan pernah memenangkan pertarungan ini." Shania menulis kalimat yang keluar dari bibirnya ke atas kertas. Air matanya lagi-lagi meleleh tanpa bisa ditahan. Hatinya sesak dan napasnya tersengal-sengal. Sebuah perjuangan yang sia-sia dan dia mempertanyakan pada Tuhan, kenapa kerja kerasnya untuk taat dan patuh pada suami dibalas dengan pengkhianatan seperti ini. Dia merasa sangat terpukul. Suara ponsel yang berdering berulangkali akhirnya membuat Shania tergerak juga untuk menerima panggilan. Entah sudah berapa kali dan itu bisa dipastikan bukan dari Arhan. Pria itu mungkin saja sudah mulai merancang segala masa depan bersama perempuan pujaannya. Membayangkan itu saja, d**a Shania sudah berdenyut nyeri tidak terkira. "Kamu hanya kehilangan orang yang tidak mencintaimu, Shania. Is okay, kamu akan baik-baik saja," gumam Shania seraya menghela napas panjang. Suaranya terdengar sengau karena terlalu lama menangis. "Halo, Shania, kamu dengerin aku tidak, sih?" Suara dari seberang menyadarkan Shania kalau panggilan sudah terhubung, dia sudah menerimanya sejak tadi. "Heh? Pagi-pagi kamu menelponku, ada apa?" tanya Shania masih dengan suara serak. Diliriknya jam dinding dan memang masih menunjukkan pukul empat pagi. "Aku mimpi buruk dan aku langsung menghubungimu, karena aku tidak mau ada apa-apa sama kamu," ungkap Shinta dari seberang. Bibir Shania seketika mengulas senyuman tipis. Dia tidak menyangka ada seseorang di muka bumi ini yang ikut merasakan duka yang tengah dia alami. Entah rasa syukur atau terharu, air matanya pun diam-diam meleleh lagi. "Aku baik-baik saja, hanya flu." "Oh, sudah minum obat? Astaga, Shania. Jangan berbuat macam-macam, ya. Aku mimpi buruk dan bakal nyusul ke sana kalau kamu sedang butuh bantuan," cerocos Shinta terdengar suara seperti sedang menutup pintu. "Aku tidak apa-apa, sungguh. Tapi, kira-kira kalau aku minta bantuan sesuatu sama kamu, apakah itu mungkin?" tanya Shania dengan suara ragu. "Tentu, minta bantuan apa? Selagi aku mampu, kenapa tidak?" sahut Shinta seketika nadanya berubah ceria. "Aku akan gabung dengan tim desaign kamu. Mungkin dimulai dari training atau apa, terserah kamu saja yang penting aku bisa melakukan hobiku lagi." "Ya ampun, itu yang aku tunggu-tunggu dari kemarin, Shan!" pekik Shinta terdengar senang bukan kepalang. "Jadi ...." "Datanglah kapan pun kamu mau. Butikku masih stay di tempat yang kemarin kamu datangi," bisik Shinta penuh semangat. "Terima kasih, Shin," ungkap Shania dengan keharuan luar biasa. Dia tidak menyangka Allah sudah menyiapkan skenario seindah ini. Dia tidak akan jadi gelandangan tanpa teman setelah tahu masih ada Shinta sebagai seseorang yang dikenalnya. "Ih, apaan sih. Terima kasih buat apaan?" cerocos Shinta, terdengar perempuan itu tertawa. "Sudah menelepon pagi-pagi hanya untuk menanyakan kabarku," jawab Shania mulai menerbitkan seulas senyum. "Bukannya dulu kamu juga sering ke kamarku hanya untuk memastikan kalau keadaanku baik-baik saja? Menghibur dan menenangkan saat aku sedang sedih?" oceh Shinta berhasil membawa ingatan masa muda mereka berdua saat berjuang bersama. Shania pun hanya berdehem kecil untuk menanggapi Shinta. "Ok, sudah adzan subuh, kita lanjutkan nanti ngobrolnya." Shania pun memutuskan untuk mengakhiri obrolan pagi ini. "Okay. Jangan lupa hubungi aku." "Iya." Shania memeluk ponselnya dengan rasa syukur yang tidak terkira. Sebuah perjalanan yang diyakininya telah dipersiapkan Tuhan untuk ditapaki. Optimismenya tumbuh lagi dan kini dia tahu ke mana kakinya harus melangkah mulai hari ini. Arhan hanya persinggahan, pengalaman berharga, sekaligus ujian. Dia tidak boleh meratapi kegagalan rumah tangga ini berlarut-larut. Dia akan membuktikan kalau dia bisa bangkit setelah kapal yang ditumpanginya tenggelam oleh badai setelah ditinggalkan nahkodanya karena memilih untuk berlayar dengan kapal lain yang lebih memesona. "Jadwal hari ini. Aku akan susun sebaik mungkin," gumam Shania mulai menyobek kertas yang isinya curahan perasaan untuk Arhan dan mengepalkan tangannya demi membuat kertas itu berubah jadi gulungan lalu melemparkannya ke dalam keranjang sampah. Shania mulai membuat jadwal rutinitas yang baru, tanpa ada pelayanan Arhan di dalamnya. Hanya untuk dirinya sendiri. Setelah membaca ulang dan membandingkan dengan yang lama timbul kelucuan yang segera membuatnya tertawa terbahak-bahak. Bila sekarang semua jadwal tertulis untuk mengurus dirinya sendiri, alangkah mengejutkan saat melihat kenyataan bahwa dulu selama empat tahun prioritas dalam hidupnya hanya Arhan. Alangkah miris bagi Shania. Perempuan pemilik golongan darah O itu pun tidak mau lagi berlarut-larut, memilih untuk mengerjakan Shalat subuh setelah mandi dan keluar dari rumah untuk nongkrong membeli bubur ayam. Dia tidak peduli kalau memang wajahnya mengerikan karena terlalu banyak menangis, dia butuh makan dan mengisi tenaga untuk bertahan hidup. "Aku harus terlihat baik-baik saja di depan mas Arhan," batinnya murung. Sesekali dia menyendok bubur ayam dari dalam mangkuk lalu mengunyah pelan. Selera makannya menghilang, tetapi lagi-lagi tekadnya untuk move on begitu besar sehingga memaksakan diri untuk tetap makan dan sehat. Beberapa anak muda terlihat saling bercanda, memakai seragam olahraga, beberapa di antaranya berpakaian kerja. Pemandangan yang membuatnya antara jatuh insecure sekaligus menggali energi agar bisa seperti mereka. Kini statusnya sudah tidak bersuami lagi, mungkin jalan untuk meraih impian menjadi seorang desainer bisa terwujud tanpa tanggung jawab taat di rumah. Shania mencoba untuk mengambil hikmah dari prahara rumah tangganya. "Okay, kamu bukan pada posisi yang salah karena dia yang sudah berselingkuh, Shan. Tegakkan kepalamu saat berhadapan dengan Arhan dan hiduplah lebih bahagia setelah ini," ucap Shania seraya bangkit dari tempatnya duduk lalu berjalan ke arah penjual bubur untuk membayar makanannya. Dia pun pulang ke rumah dengan perut kenyang. Melewati gang perumahan yang termasuk ke dalam lingkungan menengah ke atas, bibir Shania tidak henti-hentinya tersenyum. Setidaknya sudah pernah menjalani hidupnya dengan baik, setelah ini dia akan memulai lagi dari minus, tanpa orang yang dia cintai. Shania masuk rumah setelah memastikan wajahnya cukup cerah ketika bertemu dengan Arhan nanti. Beberapa kali dia menoleh ke arah pantulan kaca jendela sebelum akhirnya membuka pintu dan berjalan langsung ke arah kamarnya. Ruangan itu terbuka di bagian depan pintunya karena menghadap ke arah taman samping rumah. Shania bisa melihat sekilas Arhan yang kini sedang menuruni tangga, tampak gagah dengan kemeja kerja di hari Minggu. Namun, bagi Shania dia sudah bukan siapa-siapa lagi untuk dikagumi. Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu sudah berjanji akan melepaskan rasa cintanya perlahan-lahan hingga rasa itu hilang dengan sendirinya. "Kamu dari mana?" Arhan tampak bingung dengan kecanggungan yang tercipta. Lebih tepatnya, bingung harus bagaimana setelah ikrar talak dia ucapkan semalam, sedangkan perempuan itu masih tinggal di rumahnya. "Dari beli sarapan, Mas." Shania pun menjawabnya dengan nada biasa. Tidak lupa dia menghentikan langkahnya lalu membalik badan menghadap kedatangan Arhan yang kini sudah mencapai anak tangga terakhir. "Mari bersahabat, Mas. Aku janji setelah masa iddah itu berakhir sekaligus dapat rumah tinggal baru—aku sedang memikirkan ke mana akan pindah, aku tidak akan membuat keributan dan Mas Arhan tidak perlu khawatir aku akan mengganggu hubungan Mas dengan perempuan yang Mas cintai," kata Shania seraya mengulurkan tangannya. Arhan hanya bisa menatap mata teduh nan lembut itu dengan hati jengkel tidak terkira. "Aku juga tidak akan mengembalikan mahar yang telah Mas berikan meskipun tidak ada cinta sedikitpun di dalamnya. Uang dan semua perhiasan itu masih utuh dan anggap itu sebagai bayaran atas dedikasiku selama empat tahun ini mengurus rumah." Shania menurunkan tangannya ketika menyadari Arhan tidak menanggapi ajakannya. Dia memilih untuk mundur lalu melanjutkan perjalanan ke arah kamar lalu menutup pintunya rapat-rapat. Arhan meneguk ludahnya dengan gemuruh rasa marah yang membakar hingga ke dalam kerongkongan. Sungguh, kata mahar tanpa cinta telah mengoyak kesombongannya. Ketika dulu dia tidak menyadari bahwa Shania tahu kalau pernikahan itu memang dia lakukan dengan terpaksa, pura-pura melamar penuh senyum hanya karena ingin ibunya senang. Kini, dia pun sadar bahwa Shania telah mengetahui bahwa perpisahan memang menjadi tujuannya menikah. Arhan hanya bisa meneruskan langkahnya menuju luar rumah seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN