Ikrar Talak

1132 Kata
"Tunggu! Aku belum selesai bicara!" Suara tegas Arhan menghentikan langkah Shania lagi. Perempuan itu terpaku di depan pintu, tetapi enggan menoleh. Membiarkan Arhan menyelesaikan dramanya tanpa harus capek melawan. "Baik, aku sudah memberikan pilihan untuk tetap mempertahankan kamu sebagai istri, tetapi sepertinya kamu menolak dengan jalan mengolok-olok. Seakan-akan aku ini tidak layak untuk dijadikan suami yang baik dan adil." Arhan pun mulai menerapkan rencananya, memastikan agar Shania tokoh yang paling menyesal atas keputusan yang dibuatnya. Dia yakin, apa yang dilakukan malam ini paling baik untuk hidup dan masa depannya. Shania membalikkan badan, menghadap ke arah Arhan, karena merasa bagian jawaban yang ditunggunya sudah akan terlaksana dengan baik. Dia pun menunggu kelanjutan ucapan Arhan dengan tangan terkepal erat dan hati yang kuat dengan segala konsekwensinya. "Shania Athafunnisa binti Ahmadi, mulai malam ini kamu resmi aku talak, mulai malam ini juga kamu sudah bukan istriku lagi dan segala hak dan kewajibanmu sudah tidak berlaku lagi karena aku sudah bukan suamimu," ucap Arhan dengan suara lantang dan pasti. Tentu napas pria itu seolah dipaksa tertekan untuk beberapa saat. Shania menjatuhkan lututnya dengan tangan mengusap wajah. Air mata yang mulai menetes pun mengisyaratkan duka kecewa yang mendalam. Meskipun begitu, Arhan mencegah hatinya untuk menyesali apa yang telah terucap dari mulutnya dengan memalingkan wajah ke arah lain. Entah kenapa, perasaannya bukannya membaik, tapi malah semakin memburuk saja. Sebuah kenyataan yang mengagetkan dirinya sendiri, tentunya. "Terima kasih, Mas. Telah melepaskan belenggu menyesakkan ini dari leherku," ucap Shania di tengah isak tangis. "Sungguh, tidak mengapa. Mungkin memang ini jalan yang terbaik untuk semuanya, daripada kita saling menyakiti." Pernyataan Shania tentu saja membuat Arhan terperangah. Dia sama sekali tidak menyangka Shania akan mengatakan kalimat seperti itu. d**a Arhan pun seolah terhimpit batu besar sehingga membuatnya susah bernapas. "Sungguh, selama ini aku cukup bersyukur karena telah mendapat tempat bersandar untuk hidup. Sampai-sampai, meminta balasan rasa sayang saja aku merasa sangat malu. Aku merasa cukup dengan sikap Mas Arhan yang baik, sampai meminta lebih dari yang telah Mas beri saja tidak layak kulakukan," ucap Shania dengan suara yang mulai tenang. Arhan diam, pria itu tidak mampu membalas kalimat apa pun. Bibirnya terlalu kelu karena kaget dengan ungkapan perasaan Shania. "Bila aku menginginkan perpisahan karena Mas Arhan kurang bisa membalas cinta yang aku berikan, rasanya aku seperti golongan istri yang kufur nikmat. Maka, dengan adanya wanita lain, perselingkuhan yang telah Mas lakukan, itu menjadi jalan satu-satunya yang bisa aku gunakan untuk menuntut perceraian tanpa harus menanggung dosa sebagai istri." Shania bangkit kemudian berjalan ke arah Arhan sambil mengulurkan tangannya. Arhan dibuat kebingungan dengan ajakan itu. "Aku telah mempersiapkan mental dan segala kemungkinan yang terburuk, jadi aku yakin pasti bisa melalui ini dengan baik," ucap Shania dengan bibir memaksakan senyuman. "Malam ini kita sudah bukan suami istri lagi dan segala kewajibanmu dan kewajibanku beserta hak-hak kita sudah tidak berlaku lagi. Aku akan diam layaknya bukan manusia di sini. Karena di dalam islam wanita sebelum masa Iddah berakhir demi menghindari fitnah, maka akan tetap berada di rumah mantan suaminya dan akan pergi setelah masa itu usai. Tapi, jangan cemas, aku akan jadi hantu selama tinggal di sini dan tidak akan pernah membuat Mas Arhan terganggu sampai hari itu tiba," jelas Shania masih dengan posisi tangan menunggu sambutan Arhan. "Baiklah, lakukan saja apa yang baik menurut kamu," sahut Arhan kemudian membalas uluran tangan sang istri. Sebuah getaran aneh kini malah muncul dan dia terkejut dengan aliran elektrik itu hingga akhirnya dia melepaskannya dengan perasaan tidak menentu. "Terima kasih lagi-lagi aku ucapan untuk semua yang sudah Mas lakukan untukku. Maaf bila selama ini aku masih sangat kurang dalam hal pelayanan. Semoga Atika bisa menutup semua kekurangan itu dan membuat Mas bahagia." Shania undur diri setelah mengucapkan kalimat itu, berjalan menuju ke kamar tamu yang berada di area luar menghadap ke arah taman samping. Arhan sampai tidak menyangka Shania sudah menyiapkan ruangan itu untuk kamarnya selama menjalani masa Iddah dan putusan pengadilan. Pria itu terduduk lesu dengan pikiran berat yang segera menggantung lebih dari biasanya. Ponsel yang sejak tadi terus bergetar di dalam saku membuatnya semakin sesak napas. Atika terus saja menghubunginya dan mendesak untuk segera becerai dengan Shania. "Ya," sahut Arhan kemudian, terpaksa mengangkat panggilan setelah sampai di kamar lantai atas. Sudah sejak terbongkar perselingkuhannya, Shania tidak lagi tidur di kamar itu. "Kamu sudah sampai di rumah?" cerocos Atika dengan suara manja dari seberang. "Aku sudah selesaikan urusanku dengan Shania," ungkap Arhan dengan suara bergetar. Sungguh, rasa sakit kini malah menghunjam perasaannya, melebihi saat kata putus keluar dari bibir Atika malam itu, lima tahun yang lalu. Arhan pun terduduk lesu di kasurnya dengan mata berkaca-kaca. "Oh, bagus dong. Artinya kita sudah bisa mulai mempersiapkan pernikahan," sahut Atika dengan nada sorak gembira. Sebuah pemikiran yang bertolakbelakang dengan apa yang ada di dalam pikiran Arhan. Pria itu malah diam terpaku. "Jadi, kapan kamu mulai mendaftarkan perceraian kalian ke pengadilan? Aku bisa bantu karena aku sudah pernah melalui prosesnya," tawar Atika berhasil membuyarkan lamunan Arhan. "Oh, boleh. Kita bicarakan ini besok saja. Kita ketemu, tidak lewat telepon seperti ini," sahut Arhan kemudian, memilih untuk menyudahi pembicaraan. "Ok, terima kasih, Cintaku. Pokoknya akan aku buat kamu sangat beruntung dapatin istri seperti aku," bisik Atika sebelum akhirnya menutup panggilan. Arhan meletakkan begitu saja ponselnya ke atas permukaan kasur. Matanya tiba-tiba berair dan kehampaan segera menyelimuti seluruh perasaannya. Diliriknya ke arah jendela yang menghadap ke arah taman. Selemparan batu jaraknya kini dengan kamar yang sedang ditempati Shania. Perempuan yang selama empat tahun ini tanpa lelah ada di sisinya, meskipun selalu dia abaikan. Arhan pun bangkit lalu membuka tirai jendela demi bisa melihat pemandangan luar secara jelas. Matanya kini memindai dari kejauhan, seorang perempuan berbalut mukena duduk di bangku taman, tampak menengadah ke arah langit. Mungkin sedang berkomunikasi dengan Rabb-nya, atau mungkin sedang menenangkan pikiran. Arhan diliputi rasa sesal dan itu tidak pernah dia bayangkan akan berdampak sebesar ini bagi dirinya. "Tidak, ini yang aku harapkan sejak awal menikah dengannya. Perpisahan setelah aku mampu menaklukkan lagi hati Atika. Perempuan itu tidak mungkin ada artinya bagiku. Dia hanyalah istri pilihan ibu karena sudah berhutang jasa. Tidak Arhan, jalan perceraian ini sudah benar dan kamu akan terbebas dari ikatan saling menyakiti seperti apa yang Shania ucapkan tadi. Iya, aku tidak boleh goyah hanya karena tangis palsunya dan juga ucapan menohok tadi." Arhan menutup tirai jendela dengan bibir bersungut-sungut. Kemarahan menggunung siap meledak kini berputar hebat di dalam kepalanya. Rasanya dia ingin menangis, tapi lagi-lagi dia enggan mengakui telah kalah telak malam ini. Setelah membasuh muka, dia memutuskan untuk mengganti kaosnya. Alangkah kaget ketika membuka lemari dan mendapati tidak ada satu helai baju pun milik Shania yang tersisa. Buru-buru dia mengecek ke beberapa lemari lainnya dan hasilnya pun sama. Tangan pria itu secara spontan terkepal erat. "Baik, sepertinya kamu sudah menyiapkan semuanya dengan baik dan rapi," geram Arhan setengah mati. "Selamat jadi gembel setelah resmi cerai dariku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN