Siapa Dia, Han?

1823 Kata
Pagi harinya terlihat Shania dan Arhan sudah berada di ruang makan untuk sarapan. "Mas, nanti siang aku pamit ke rumah ibu. Semalam dia telepon katanya kangen. Beliau sepertinya sedang kurang enak badan." Shania duduk berhadapan dengan suaminya. Dia telah menyelesaikan tugasnya menyiapkan sarapan, kemeja yang dipakai Arhan ke kantor, berikut sepatu dan tas kerja. Tidak ketinggalan menemani sampai pria itu berangkat kerja. Arhan hanya menoleh sesaat, tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya kecuali sebuah senyuman kecil. Bisa dipastikan bukan untuk Shania, melainkan lawan chating di dalam ponselnya. Shania tidak pernah berani memberikan pertanyaan siapa sebenarnya seseorang yang begitu menyita waktu Arhan. Tidak ada sekalipun semenit barang pintar itu lepas dari genggaman tangannya, meskipun sedang tidur sekalipun. Shania hanya bisa berpasrah pada Tuhan mengenai kehidupan sang suami ketika berada di luar. “Apa Mas Arhan tidak bisa menjemput aku nanti setelah pulang kantor?” tanyanya setelah melihat Arhan bergerak meninggalkan ruang makan, masih dengan tangan sibuk mengetik layar ponselnya. Shania bergegas membawakan tas yang sengaja ditinggalkan Arhan di atas meja, memastikan kaki sang suami memakai sepatu dengan benar. Sungguh, hal-hal remeh yang seharusnya bisa dilakukan Arhan sendiri. Namun, nyatanya setiap hari dia dilayani bagaikan sultan oleh sang istri. “Aku lembur. Tahu sendiri jam dua belas malam baru pulang.” Tentu bukan kalimat sejuk yang dilontarkan pria itu pada Shania. Sinisme bercampur kejengkelan sangat terasa saat pria itu memberikan kalimat penolakan padanya. Perempuan yang terpaut usia lebih muda sepuluh tahun dengan sang suami itu pun hanya bisa menghela napas dalam-dalam. “Ya, sudah. Tidak apa-apa. Nanti pulangnya aku akan naik taksi online saja,” sahut Shania sembari menahan sesak d**a. Ingin rasanya menangis. Namun, bagian kelemahan itu tidak akan pernah Shania lakukan di hadapan pria yang telah menikahinya itu. Dia sudah berjanji tidak akan melakukannya sejak Arhan mengatakan kalau sangat membenci perempuan cengeng dan merepotkan. “Harusnya memang begitu. Aku tidak mau sering ke sana, supaya kita tidak terus-terusan ditanya kapan fokus memiliki momongan. Kerjaan aku banyak, masih mau menumpuk banyak aset. Tidak mau diganggu dengan keperluan anak yang tidak penting dan menyita energi untuk mengurusnya.” Arhan mengatakan itu seraya menutup pintu mobil tanpa menghiraukan wajah Shania yang pucat tidak terkira. “Iya, Mas. Aku paham, soal anak aku juga menyerahkan sepenuhnya pada keputusan Mas aja,” kata Shania pelan. “Sudah sering kukatakan, jangan tunggu aku pulang! Aku ada banyak pertemuan penting hari ini,” titah Arhan seraya menoleh pada Shania dengan tatapan serius. “Baik.” “Kamu siapkan saja keperluan aku selama dua hari. Ada acara di luar kota yang mengharuskan aku menginap di hotel. Kopernya yang biasa aku pakai, dan taruh di depan saja. Begitu tiba di rumah, aku langsung cabut,” kata Arhan lagi masih menunjukkan wajah tidak mau dibantah, sekaligus diberikan pertanyaan. “Baik. Sebelum pergi ke rumah ibu, akan aku siapkan semuanya,” jawab Shania masih saja bertutur lembut seperti biasanya. “Oke, aku berangkat dulu.” “Iya, Mas.” Shania langsung mengulurkan tangannya, hendak meminta bersalaman. Mau tak mau Arhan pun menyambut dan membiarkan sang istri melakukan kebiasaan sejak awal menikah dulu, salim takzim. Shania melepaskan kepergian suaminya dengan kepala tegak. Titipan Tuhan, hanya itu yang menjadi pedoman hidupnya selama menikah. Tidak bisa meminta muluk-muluk tentang perlakuan romantis dari sang suami. Nyatanya bisa tinggal dan hidup aman saja merupakan bagian dari nikmat Tuhan. Dia tidak ingin menjadi hamba yang kufur. Shania segera masuk ke rumah, menyiapkan pakaian yang dipesan sang suami, dilanjutkan mandi lalu berangkat ke rumah sang mertua. Ibu dari suaminya. Sudah lebih dari seminggu dia tidak ke sana. Badannya sedang tidak sehat. Biasanya dia akan berkunjung ke rumah perempuan yang telah melahirkan suaminya itu seminggu tiga kali, meskipun hanya pamit saat-saat tertentu agar Arhan tidak tahu kalau dia sering datang berkunjung. Sebuah basa-basi karena sebenarnya Arhan tidak begitu memedulikan urusannya. Tujuh bulan sudah sang suami tidak pernah pulang kerja di bawah jam sembilan malam. Kesempatan itu dia gunakan untuk bertemu sang mertua agar tidak jenuh berada di rumah sendirian. Taksi yang dipesan pun telah datang. Rencananya hari ini dia akan memasak beberapa menu makanan spesial bersama ibu mertuanya. Sudah sangat rindu bercengkrama dengan perempuan santun dan lembut itu. Seseorang yang membuatnya merasa beruntung karena bisa memanggil dengan sebutan ibu sambil memeluknya. Rumah mereka terpaut jarak yang bisa ditempuh selama tiga puluh menit. “Ibu pasti suka dengan bahan makanan yang aku bawa hari ini,” sorak Shania dalam hati. Hatinya bungah tidak terkira setiap kali berkunjung ke rumah Arhan. Banyak momen indah yang akan diceritakan sang ibu mertua mengenai masa kecil suaminya. Shania sangat menyukai itu. Perempuan berkulit putih, memakai kemeja berwarna hijau toska itu turun begitu taksi mencapai jalanan depan rumah mertua. Setelah membayar ongkos, dia segera berlari kecil, tidak sabar untuk bertemu sang pelipur hati. Tentu, luapan cinta itu mendapat balasan serupa. Perempuan berusia enam puluhan itu pun menyambut semringah dan membalas pelukannya begitu tiba di serambi rumah. “Shaniku,” panggil perempuan itu. Dia merasa senang tidak terkira. “Ibu sehat? Maaf baru bisa datang, soalnya flu. Shani tidak mau Ibu tertular,” sambut Shania masih bergelung manja di dalam pelukan sang ibu mertua. “Alhamdulillah sehat, Anakku. Kangen banget, sampai tiap malam mimpi-mimpiin kamu terus,” seloroh perempuan bernama Wati itu sambil terkekeh kecil. “Kenapa Ibu tidak datang ke rumah? Sebenarnya saat sakit, Shani butuh kejutan Ibu tiba-tiba nongol.” Shania tersenyum kecil seraya melepaskan pelukannya lalu berjalan beriringan masuk rumah bersama Wati yang menggandeng tangannya. “Biar Arhan yang ke sini. Ibu tidak akan ke sana sebelum dia yang mengunjungi ibu,” kata perempuan itu dengan wajah sayu menyiratkan kerinduan. “Maaf, Bu. Beliau sangat sibuk beberapa bulan belakangan ini. Insya Allah, kalau sudah senggang, kami akan berkunjung berdua,” sahut Shania mencoba untuk menghibur sang mertua. “Kamu bawa apa itu?” Mata Wati pun kini tertuju pada tangan kanan menantunya yang menjinjing keresek berwarna putih. “Oh, ini sayuran. Aku pingin masak bareng-bareng sama Ibu,” jawab Shania dengan wajah semringah. “Wah, kebetulan. Yuk, kita masak sekarang saja. Nanti sekalian kamu antar ke kantor Arhan buat makan siang.” Shania pun langsung tersenyum menanggapi keinginan mertuanya. Baru kali ini dia melakukan ini. Semoga saja sang suami tidak mempermasalahkan amanah yang diberikan ibunya sendiri. Sekitar dua jam sudah kedua perempuan yang terikat keluarga setelah pernikahan itu memasak bersama. Setelah menata ke dalam wadah, Shania pun bergegas memesan taksi. Sungguh, wajah bahagia Wati membuat tekad Shania untuk mengantar makan siang semakin kuat. Dia sangat berharap apa yang dilakukannya membuat hati pria itu sedikit tersentuh. Perjalanan ke kantor sang suami tidak membutuhkan drama berarti. Jalanan mulus ramai lancar sehingga Shania tidak butuh waktu lama kini sudah berada di depan lobi bagian office, sebuah departemen store terbesar di kotanya. Selama hampir dua tahun, sang suami menjabat sebagai salah satu staff di sana. Shania sendiri tidak tahu suaminya bekerja sebagai apa. Jantungnya tertalu-talu. Membayangkan sang suami menyambut kedatangannya dengan senyuman terima kasih. Hati Shania tentu merasakan getaran bahagia tidak terkira, meskipun suasana itu hanya ada di dalam halusinasinya saja. “Pak, maaf. Apa saya bisa bertemu dengan pak Arhan Wijaya? Saya istrinya.” Shania langsung menghampiri seorang sekuriti yang bertugas di depan pintu kantor. Membukakan pintu bagi tamu yang hendak berkepentingan di area tersebut. “Oh, pak Arhan saat ini sedang keluar untuk makan siang, Bu. Apakah sudah ada janji bertemu? Silakan langsung masuk ke dalam untuk menunggu.” Sekuriti itu pun menyambut ramah Shania. “Ah, tidak usah. Saya titip ini saja, Pak. Saya langsung pulang saja kalau begitu.” Shania dengan tidak enak hati menolak untuk masuk ke kantor sang suami. Tentu, dia tidak mau membuat malu suaminya di depan rekan-rekannya. “Baik, akan saya sampaikan.” “Terima kasih. Kalau begitu saya permisi.” Shania bergegas keluar dari area office setelah menyerahkan totebag kepada pria berseragam itu lalu meninggalkan tempat itu dengan berjalan kaki. Hatinya cukup kecewa. Bayangan indahnya sirna oleh kenyataan, bahwa dia telah terlambat tiba di sana. Sambil berjalan melewati trotoar, perempuan itu menghela napas dalam. “Shania! Itu kamu 'kan?” “Eh?” Kepala Shania langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang perempuan berpakaian modis melambai ke arahnya. Tentu saja, dia hafal siapa orangnya. Beberapa bulan sebelum menikah dia pernah berkerja dalam satu bidang yang sama. “Shinta?” seru Shania membalas. “Ya ampun, tidak menyangka kita ketemu di sini. Ke mana aja? Kenapa seakan-akan bumi sudah menelanmu!” Shania membalas pelukan perempuan yang telah menjadi teman sekaligus mantan rekan kerja itu dengan hati tidak kalah bahagia. Ya, setidaknya kedatangannya ke sana bukan bagian kesia-siaan belaka. “Aku sudah menikah, jadi full ibu rumah tangga. Tidak pernah ke mana-mana,” balas Shania dengan polosnya. “Alamak! Ayo kita makan siang bersama. Rasanya tidak kuat memendam rindu tanpa mengobrol sama kamu,” ajak Shinta tanpa memberikan kesempatan Shania untuk menolak. Shania tidak berkata apa-apa, hanya menuruti ajakan Shinta yang menggandeng tangannya, menuju ke arah restoran yang tidak jauh dari tempat mereka bertemu. Berjalan kaki berdua diiringi tawa karena tentu Shinta perempuan yang sangat humoris. Shania menunggu Shinta yang pamit ke kamar mandi sebentar setelah menemukan area yang cocok untuk bercengkerama sambil makan. Pandangannya kini memutar menikmati interior restoran yang sangat nyaman. Namun, tatkala pandangan menemukan sosok pria yang selama empat tahun ini menyandang sebagai suaminya berada di tempat ini juga, tanpa sadar jantungnya berdegup kencang. Pria itu sedang duduk bersandingan dengan perempuan cantik. Iringan tawa keduanya nyaris membuat napasnya tersengal-sengal, apalagi saat tangan sang suami membelai lembut pipi sang wanita diikuti ciuman lembut pada keningnya. Dunia Shania bagaikan runtuh seketika. Seolah ada malaikat yang menuntun kakinya untuk melangkah mendekat, Shania pun mengikuti bagaimana kata hatinya berbicara. Dengan tangan terkepal erat dan kepala tegak, dia pun menghampiri sepasang pria wanita yang sedang dimabuk asmara itu tanpa ada ketakutan sedikitpun dalam dirinya. “Selamat siang, Mas Arhan,” sapanya dengan wajah tenang dan kelembutan suara sama seperti dia biasanya. Karakter Shania tidak pernah berubah bagi Arhan, sejak dia mengikrarkan akad nikah empat tahun yang lalu “Ya." Arhan langsung mendongak, menatap wajah perempuan yang kini telah berada di samping mejanya dengan mata nyaris keluar saking kagetnya. “Saya sudah menitipkan makan siang kiriman ibu pada sekuriti di kantor Mas Arhan.” Shania meraba-raba ekspresi yang ditunjukkan pria itu saat melihatnya. Tentu saja, gayutan mesra tangan Arhan yang sejak awal berada di pinggul seksi perempuan yang bersamanya langsung terlepas begitu saja. Perempuan yang bersamanya pun kebingungan dengan gelagat Arhan, tetapi Shania tidak mau melihat lebih lama dengan undur diri setelah memberikan senyuman tipis ke arah keduanya. “Pamit dulu, Mas. Selamat makan siang. Jangan lupa mampir ke rumah ibu karena beliau sudah kangen.” Shania segera meninggalkan meja itu tanpa menunggu balasan kata-kata dari sang suami. “Siapa dia, Han?” tanya perempuan itu pada Arhan. Pertanyaan itu masih bisa terdengar di telinga Shania. Namun, buru-buru dia menutup kedua telinganya. Dia tidak ingin semakin sakit, apabila sampai mendengar jawaban siapa dirinya bagi sang suami, di depan perempuan yang mungkin telah berhasil menaklukkan hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN