Satu Bahtera Beda Haluan

1127 Kata
Terdapat jeda beberapa detik. Suara terdengar lamat-lamat di telinga Shania dan itu seperti sebuah perdebatan. Perempuan itu hanya bisa menunggu jawaban penelpon dengan perasaan cemas tidak terkira. "Halo, Bu. Apa ada yang terjadi dengan suami saya?" Shania berusaha untuk menjalin komunikasi lagi dengan penelpon wanita yang memakai ponsel suaminya. "Oh, tidak. Ini hpnya tertinggal di kafetaria. Saya hanya mencoba untuk mengembalikan saja." Shania bisa merasakan getaran gugup dalam nada bicara perempuan itu. Namun, dia cukup lega karena itu artinya sang suami baik-baik saja. "Alhamdulillah. Ehm, boleh minta tolong, ibu serahkan saja ponsel suami saya pada sekuriti tempat Ibu menemukan barang itu? Beliau kerja di sana," kata Shania mulai berpikir bagaimana cara agar ponsel itu bisa dikembalikan lagi pada suaminya. "Oh, tentu bisa." "Terima kasih, ya, Bu. Semoga Allah membalas segala kebaikan hati, Ibu," ucap Shania penuh dengan ketulusan. "I-iya." Sambungan pun terputus. Perempuan itu menutup panggilan setelah nada akhir jawabannya terkesan terburu-buru. Shania melihat lagi layar ponselnya yang sudah banyak goresan. Foto bersama Arhan saat menikah menjadi wallpaper. Miris bila melihat bagaimana rasa memiliki itu hanya dirinya saja. Entah berapa lama lagi dia bisa bersabar menunggu, sampai keberadaannya di rumah ini disyukuri sang suami. "Semoga ponsel Mas Arhan bisa dikembalikan. Kalau ilang bisa repot nanti," gumam Shania penuh harap. Shania baru ingat kalau tadi pagi dia diberikan uang Arhan, karena tiap tanggal satu memang gajian. Buru-buru dia ke ruangan kerja suaminya untuk mengambil amplop cokelat yang tergeletak di atas meja. Shania selalu mendapatkan jatah keuangan seperti itu selama empat tahun ini. Beberapa lembar uang berwarna merah dan biru. Cukup tebal dan dia selalu menghitungnya dengan hati-hati. Shania menuliskan semua perencanaan dalam buku sehingga suaminya tahu untuk apa saja uang yang dititipkan padanya. Meskipun cukup ragu, apakah suaminya membuka buku anggaran rumah tangga yang telah ia susun atau tidak. "Semoga ini bisa membuat Mas Arhan yakin, kalau anak tidak akan membebani keuangannya," gumam Shania, menyunggingkan senyuman samar. Bayangan tawa dan tangisan bayi memenuhi seantero rumah membuatnya sangat bahagia. Seandainya saja Arhan juga menginginkan hal yang sama dengannya, alangkah bahagianya dia sebagai istri. Kalender selalu terpantau dan suaminya akan sangat teliti pada jadwal sehingga menyentuhnya sebagai seorang istri saja bisa dipastikan dibuat hampir tidak pernah. Shania hanya bisa bersabar menunggu sampai pria itu benar-benar membutuhkannya. Sesuatu yang baginya sangat menguji kesabaran. "Tidak apa-apa, Shania. Setelah impian mas Arhan memiliki tabungan aset besar sudah tercapai, dia pasti akan mengingatmu dan berpikir untuk memiliki seorang bayi." Shania meyakinkan diri sendiri agar ujian rumah tangga yang dijalaninya bisa dilalui dengan ikhlas. Bisa dibilang rutinitas keseharian Shania sangat monoton dan terkesan sangat terjadwal. Menunggu Arhan pulang kerja sambil terkantuk-kantuk di ruangan keluarga merupakan bagian di antaranya. Tepat pukul satu dini hari, akhirnya pekerjaan melelahkan itu berakhir. Mobil Arhan terdengar memasuki garasi dan dengan sigap pula Shania segera merapikan rambut dan pakaian tidur seraya bergegas membukakan pintu. "Baru pulang, Mas?" Shania menyambut dengan senyuman cerah. Tampak Arhan berjalan mendekat, wajahnya tidak ramah. Terdapat kejengkelan saat menatap Shania menunggunya di depan pintu. Helaan napas pria itu pun terdengar kasar. "Sudah dibilangin, jangan nunggu aku pulang! Apa kamu tidak bisa sih, tidur duluan? Aku capek kalau harus lihat kamu sibuk ngikutin aku terus. Kita ini sedang program menunda anak, paham tidak, sih!" Arhan melepaskan sepatu, sedikit kasar saat meletakan ke dalam rak. Satu di antara yang hampir terjatuh itu pun segera ditangkap Shania. Kesigapan yang lagi-lagi dipandang menyebalkan bagi Arhan. "Maaf, Mas. Karena tidak ada pekerjaan, aku banyak rebahan di siang hari. Jadinya, aku malamnya susah tidur," jawab Shania berusaha beralasan agar Arhan tidak begitu kesal. "Hah, sudahlah. Bisamu memang cuma begitu," sergah Arhan segera berjalan cepat, meninggalkan Shania yang terpaku di tengah anak tangga. Rasa tidak berguna dalam dirinya tiba-tiba menyeruak menyakiti hati. Bila selama ini dia merasa dengan melakukan apa pun untuk melayani sang suami agar terlihat berguna, maka malam ini anggapannya seolah dipatahkan di depan mata. Perempuan kelahiran bulan Februari itu hanya bisa menahan gemuruh rasa marahnya agar tidak terlontar dan menyebabkan dirinya dilaknat karena terpancing pertengkaran. Setelah beberapa saat menenangkan hati di luar pintu kamar, akhirnya Shania memutuskan masuk untuk melihat keadaan suaminya. Benar saja, pria itu belum mandi dan masih setia dengan ponselnya. Tawa dan senyuman yang terpancar sudah menandakan kalau suasana hati pria itu membaik. Shania tidak tahu siapa yang membuat suaminya bisa sebahagia itu. Namun, dia tidak mau berprasangka karena dia sudah memasrahkan nama suaminya di dalam genggaman Tuhannya. "Air hangat sama baju ganti sudah aku siapkan, Mas." Shania merapikan selimut seraya melirik ke arah sang suami yang masih fokus pada ponsel. Beberapa menit yang lalu dia menyiapkan semua. Namun, sepertinya Arhan tidak menyadari kedatangannya atau bisa ditebak Shania kalau Arhan tidak memedulikan. "Hm." Arhan hanya menjawabnya sekilas lalu berjalan ke kamar mandi tanpa melihat Shania sama sekali. Malah tawa berderai terdengar dari bibirnya dan itu bisa dipastikan Shania akibat dari chat atau video yang disaksikan Arhan melalui ponsel pintarnya. "Alhamdulillah, Yaa Allah. Ponsel mas Arhan tidak jadi hilang," gumam Shania menghibur diri. Dering ponsel miliknya sendiri pun menyadarkan, kalau sejak tadi dia tidak mampu melipat selimut dengan rapi. "Malam-malam begini, siapa yang menelpon?" gumam Shania. Dia segera keluar kamar untuk mengambil ponsel yang tertinggal di ruangan lantai bawah. Shania baru akan kembali ke kamar setelah menyelesaikan panggilan dan pekerjaan di dapur. Lebih baik menenangkan diri dengan membereskan makan malam, yang sepertinya tidak akan tersentuh Arhan untuk ke sekian kali. Dia terduduk lunglai di kursi, matanya terlihat cekung penuh kesedihan. Merasa penasaran, siapa orang yang kerap kali membuat pria itu tersenyum, berkata lembut, dan menghabiskan waktu hanya untuk saling berbalas pesan. Shania terus saja berusaha untuk berpikir positif. Dia sudah merasa kelelahan menghadapi sikap Arhan yang dingin, tidak mampu bila harus ditambah dengan beban pikiran baru. Shania hanya bisa menatap diam, interaksi manis suaminya dengan ponsel yang digenggamnya dengan hati nelangsa. "Ya Allah, kapan Mas Arhan bisa menghargai ketulusan cintaku dan bisa membalas perhatianku? Hamba sudah berada dalam posisi pasrah." Shania menundukkan kepala seraya menghela napas panjang. Dia selalu menunggu momen itu dengan terus berusaha menjadi istri yang penuh penghormatan dan layanan terbaik bagi suaminya. Namun, sejauh hampir empat tahun ini, usahanya belum membuahkan hasil, meskipun memang ada perubahan saat awal menikah dulu. Akan tetapi, akhir-akhir ini seolah Arhan berada di dunia lain yang sulit dijangkau. 'Memang kenyamanan seorang pria itu terletak pada, bagaimana perempuan bisa nyaman saat diajak ngobrol, Shan.' Shania mengingat jelas nasihat salah satu teman kerjanya dulu. Bagian kelemahan yang masih saja sukar dia lakukan karena keterbatasan pendidikan. Dia tidak setara dengan Arhan dalam hal apa pun, apalagi menyangkut bagaimana mengimbangi gaya bicara Arhan yang tinggi dan ambisius. "Tuhan, aku harus menunggu sampai kapan lagi? Tolong tunjukkan bagaimana caraku mendapatkan rasa cinta yang sampai kini belum mampu hadir di dalam hatinya," gumam Shania pelan, wajahnya seketika murung disertai setetes air bening jatuh dari satu pelupuk mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN