Mengelola Emosi

1126 Kata
Shania bergegas meninggalkan meja yang ditempati sang suami bersama perempuan seksi itu dengan langkah sangat ringan. Setengah hatinya terluka, tetapi apa yang terjadi hari ini merupakan bagian yang harus disikapi dengan ketenangan. "Kamu tidak boleh merendahkan harga dirimu, Shan. Dia pasti akan membela perempuan itu dan mempermalukan kamu." Shania menghela napas panjang, demi mengontrol diri. Selama ini dia memang hanya diam, pura-pura buta dan tuli. Namun, melangitkan doa pada penciptanya merupakan sesuatu yang menuntunnya tetap bersikap biasa, meskipun sejatinya dia sedang mengalami fase hancur lebur. "Hei, kamu dari mana saja? Ih, aku nyari-nyari loh," protes Shinta begitu menemukan sosok Shania berjalan ke arahnya. "Menyapa teman di sana," jawab Shania seraya menunjukkan senyuman tipis. Tidak lupa dia menoleh ke arah Arhan dan perempuan yang bersamanya. Temu pandang pun terjadi, tetapi Shania segera memalingkan wajah ke arah Shinta lagi lalu duduk dengan posisi membelakangi sang suami. "Oh, itu staffnya Depertemen Store yang ada di sebelah restoran ini," kata Shinta seraya meletakkan ponselnya ke atas meja. "Kamu kenal mereka?" "Kamu juga kenal?" "Hanya sebatas tahu saja. Soalnya beberapa kali Butik aku ada kerjasama event, sama Departemen Store tempat dia kerja. Nggak yang kenal-kenal banget." "Oh. Lalu yang perempuan itu? Bukannya pria itu udah nikah, ya? Kok mesra amat sama perempuan itu." Shania pun mencoba untuk mentransfer kemarahan hatinya dengan pura-pura tidak kenal. "Oh, perempuan itu mantan istri pengusaha eksportir mebel. Beberapa kali ketemu waktu acara penggalangan dana. Iya sih, kenapa mereka mesra sekali padahal si laki udah beristri. Ih, janda gatel, main gila sama laki orang," cerocos Shinta seraya sesekali melayangkan pandangan ke arah meja Arhan. Shania tidak bicara lagi, memilih untuk menghabiskan makanan yang dia pesan lalu pamit pulang. Tidak lagi memedulikan apakah sang suami sudah pergi dari sana atau belum. Shania langsung mengiyakan ajakan Shinta saat menawarkan untuk mengantar pulang. Tentu saja, Shania yakin, Arhan tidak akan berani menemui ketika dia sedang bersama orang lain. "Apa ini jawabanMu atas segala doa dan pertanyaanku, Yaa Rabb?" batin Shania merenung. Selama empat tahun ini dia melangitkan untaian doa dan harapan. Tidak ada sandaran kecuali sang pencipta sehingga hidupnya terasa aman dan memiliki tujuan. Sebagai anak yatim piatu yang menghabiskan keseluruhan hidupnya di panti asuhan sebelum akhirnya dipinang laki-laki dan pindah ke kota, tentu Shania hanya bisa bertukar cerita pada sang pemilik skenario hidupnya. Tidak ada alasan lain, kecuali berbakti pada suami dan ibu mertuanya yang baik hati. Namun, setelah jawaban yang diterimanya hari ini, bukan ketenangan yang didapatkan, melainkan kegundahan melebihi apa yang dia bayangkan selama ini. "Ini rumahmu, Shan?" Pertanyaan Shinta membangunkan alam sadar Shania dari lamunan. Dia segera mengangguk pelan diiringi senyuman. Dua tahun lalu dia pindah ke sini, setelah selama dua tahun pula hidup bersama sang mertua. Arhan mengajak pindah begitu mendapat pekerjaan mapan—setelah dikenalkan Shania dengan salah satu teman baiknya. Seorang HRD di Depertemen Store yang kini menjadi tempat Arhan meraup rezeki berlimpah. Tentu saja, perubahan dari seorang kasir minimarket, berganti marketing membuat finansial mereka melesat. Apalagi, suaminya termasuk orang yang pandai dalam taktik pemasaran. "Mau mampir?" tawar Shania seraya membuka pintu mobil begitu kendaraan itu berhenti di depan pagar. "Lain kali saja. Aku ada meeting setelah ini. Oh, ya, aku minta nomor ponselmu. Kalau sewaktu-waktu ada job menarik yang tidak mengharuskan kamu keluar dari goamu, akan aku tawarkan padamu," ucap Shinta bernada menggoda sang teman. Shania langsung tertawa. Entah dorongan dari mana dia bisa melepaskan sesak d**a sejenak dengan kelakar temannya itu mengenai goa, sebuah tempat untuk menghabiskan waktu selama menikah dengan Arhan. "Ini nomerku," sebut Shania sambil mengisi tombol isian angka kontak nomor yang disodorkan Shinta padanya. "Aku kasih nama Si Penghuni Goa, ya?" canda Shinta lagi sambil terkekeh. "Boleh, suatu kehormatan bagiku," sambut Shania berhasil membuat Shinta gemas setengah mati. "Bakat kamu luar biasa, jangan dibiarkan mubazir tidak berguna. Tuhan tentu sangat kecewa kalau diberikan keunggulan, tapi kamu memilih hanya sebagai patung penghuni gua." "Aku ibu rumah tangga. Surgaku ada di rumah, Shinta," kata Shania mencoba untuk menjelaskan, kenapa dulu dia memilih untuk resign setelah memutuskan untuk menerima pinangan Arhan. "Aku tahu dan aku salut banget sama kamu. Semoga aku juga kelak bisa jadi istri yang berbakti pada suamiku. Tentu, kalau jodohku sudah ketemu." Lagi-lagi kalimat serius yang dilontarkan Shinta berubah jadi kelakar ringan pada akhirnya. Mau tak mau, Shania dibuat terkekeh lagi. "Aku turun dulu, ya. Aku akan hubungi kamu kalau ada bagian job yang berhasil menarikku dari rasa jenuh dengan rutinitas," kata Shania lembut. "Oke, kamu akan selalu memiliki tempat yang spesial di butikku." Shinta mengatakan itu seraya mengerlingkan sebelah matanya. "Sudah terlalu lama aku berhenti. Entah apa masih tersisa bakat yang aku punya," resah Shania terlihat sangat putus asa. "Heih, tidak usah kamu risaukan hal remeh itu. Datang aja ke butik kalau kamu lagi senggang. Aku selalu sedia kapan pun, kalau kamu butuh sharing mengenai ide-ide manis yang dulu selalu mampu kamu ciptakan." "Terima kasih, Shin," ungkap Shania merasa sangat terharu. "Idih, makasih nanti saja kalau kamu udah datang ke butikku dengan membawa ide-ide," sosor Shinta lagi-lagi berhasil menerbitkan tawa bagi Shania. "Baiklah, aku masuk dulu. Kamu hati-hati di jalan." Shania pun pamit lalu melambaikan tangan begitu sudah keluar dari mobil. "Okeh, aku tunggu comebackmu!" seru Shinta seraya balas melambaikan tangan lalu memajukan kendaraan, meninggalkan Shania yang kini malah terpaku di depan pagar rumah. Terasa berat, antara masuk ke dalam atau memilih berjalan meninggalkan gua hidupnya itu. Namun, tanpa tujuan yang jelas, tentu pilihan ke dua baginya hanya bagian dari keputusan yang gegabah. "Selamat datang kembali di goamu, Shania," gumam perempuan itu seraya membuka pagar rumah lalu menutupnya dengan setengah hati. Shania segera menyapu dan menata ulang barang-barang seantero rumah. Membuang bayangan kemesraan suaminya bersama perempuan—yang disebut janda—dari pikiran, ternyata sangat berat baginya. Dia telah jatuh cinta pada suaminya sejak pertama kali bertemu. Sebuah harapan indah bisa bersanding dengan laki-laki baik, putra dari perempuan yang ditolongnya ketika suatu insiden kecelakaan di jalan raya. Tak ubahnya sebuah balas budi, ternyata pernikahan yang sejatinya menawarkan kebahagiaan harus dilaluinya tanpa balasan rasa yang sama. Empat tahun bukan waktu yang singkat, tetapi kini Shania merasa sudah kalah. Perjuangannya telah selesai mulai hari ini dan bendera putih pun harus mulai dikibarkan, sebagai akhir dari perjalanan pernikahan impiannya. "Kamu hanya dikhianati laki-laki yang tidak memiliki cinta untukmu, Shania. Sedangkan dia, akan kehilangan wanita yang dengan tulus mencintainya." Shania bergumam pelan seraya menjatuhkan lututnya ketika berada di balkon. Area terbuka yang sanggup membuatnya melihat mobil milik sang suami melaju, melewati tikungan jalanan perumahan menuju tempat tinggal mereka berdua. "Iya, harusnya aku sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk dalam pernikahan ini. Tapi kenapa aku tetap aja terluka?" Setetes demi setetes air mata kesedihan itu jatuh tanpa bisa ditahan lagi. "Tuhan, kalau boleh aku meminta, jangan lagi berikan hati ini rasa cinta selain hanya kepadaMu saja," urai Shania sambil berlinang air mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN