Jangan Jadi Pecundang

1188 Kata
"Ada apa, Shania?" Suara kecemasan Arhan terdengar dari arah tangga. Pria itu berlari secepat kilat, demi bisa segera menjangkau ke arah ruangan makan di mana Shania berada saat ini. Pikirannya dipenuhi praduga buruk. Apalagi dia tahu setenang apa pun sikap Shania, jelas hati perempuan itu tetaplah menyimpan luka. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Arhan begitu mendapati Shania sedang berjongkok di area tempat mencuci piring. "Oh, tidak apa. Piringnya jatuh dan pecah. Memangnya ada apa, kenapa Mas ngos-ngosan begitu?" sahut Shania dengan tatapan sekilas dan terkesan santai saat mendapati Arhan sudah berdiri di sampingnya. "Oh, tidak. Kukira ada apa." Arhan mendadak salah tingkah dan terjebak pada kekakuan yang nyata. Dia telah salah berpikir yang bukan-bukan mengenai istrinya. "Mari bicara kalau Mas Arhan sudah selesai mandi," ucap Shania seraya beranjak dari tempatnya. Tangan perempuan itu membawa wadah di mana pecahan piring telah dikumpulkan lalu meletakkannya di pojok ruangan untuk dibuang besok pagi. Arhan hanya mengikuti apa yang disampaikan Shania dengan duduk. Meskipun matanya belum juga lepas dari aktivitas sang istri membersihkan sisa pecahan dengan sapu dan menampungnya dalam pengki. Lagi-lagi Arhan diliputi perasaan tidak karuan. Momennya ada, tapi dia malah seperti kehabisan kata sebagai pembuka. "Apa tidak ada yang ingin Mas Arhan sampaikan? Bukannya empat tahun sudah terlalu lama?" Shania duduk berseberangan, dipisahkan meja makan. Mata perempuan itu lembut dan teduh menatap Arhan tanpa bisa dilawan. Untuk pertama kalinya Arhan bisa melihat secara utuh wajah oval sang istri setelah sekian tahun dia enggan melakukannya. Rasa kalah apabila perempuan itu berhasil menarik perhatiannya begitu membayangi gengsi dan Arhan sangat menjaga bagian itu, meskipun dia tahu Shania berjuang keras untuk bisa mendapatkan balasan hati darinya. "Boleh aku tanya sesuatu?" ucap Arhan kemudian, setelah menimbang-nimbang apa yang harus dia keluarkan dulu untuk menyelesaikan urusannya dengan Shania. "Silakan," sahut Shania seraya mengambil minuman di atas meja lalu meneguknya separuh. Dia tahu malam ini menjadi jawaban dari segala doanya selama ini. Meskipun begitu, rasa sedih itu masih saja terasa dan dia tidak munafik untuk mengakuinya. "Kenapa siang itu kamu tidak marah?" tanya Arhan dengan nada dan gerak tubuh menandakan gestur gelisah dan penasaran. Bagian paling penting hingga membuatnya kebingungan menghadapi Shania. "Siang kapan?" pancing Shania santai. Ini momen bersejarah bagi Shania, karena selama ini dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya di depan Arhan. Biasanya dia akan sangat berhati-hati menjaga perasaan dan suasana hati sang suami. Arhan menghela napas, bingung sendiri karena Shania ternyata lebih memilih untuk bertele-tele daripada bicara singkat padat dan jelas, seperti yang dikenalnya. Meskipun sedikit kesal, Arhan pun berupaya untuk meladeni. "Saat aku bersama Atika," jawab Arhan berhasil mengubah keteduhan wajah Shania menjadi keruh. "Oh, saat kamu bersama perempuan yang sudah diidam-idamkan selama bertahun-tahun untuk jadi pendamping hidup, Mas Arhan?" lontar Shania dengan suara bergetar menahan amarah. Sungguh, dia masih belum kuat mental mendengar suaminya tanpa ragu menyebutkan nama perempuan lain di depannya. Shania pun mengulas senyuman tipis sebelum akhirnya mengembuskan napas pelan. "Kenapa kamu tidak langsung jawab aja? Iya, dia memang perempuan terbaik yang aku inginkan saat ini dan nanti!" balas Arhan dengan wajah memerah, menahan kekesalan. Tentu saja, kalimat Shania membuat emosinya meletup tidak terkira. "Karena Nabiku mengajarkan untuk tidak marah-marah di depan orang yang sedang makan dan aku juga diperintahkan agama untuk menjaga marwah sebagai istri dengan tidak mempermalukan harkat dan martabat suaminya di tempat umum, meskipun dia sedang berbuat nista," balas Shania dengan suara tidak kalah tegas. Mata perempuan itu jelas memerah menahan air mata, tetapi sebisa mungkin berupaya agar tidak sampai tumpah di depan pria yang telah membuat hatinya hancur lebur. Tenggorokan Arhan serasa tercekat, untuk meneguk ludah saja rasanya sangat sulit. Sebuah jawaban telak yang tentu saja membuatnya sangat malu dan hina sebagai seorang laki-laki terhormat dan figur suami yang baik. Dia sempat mengira apabila Shania bersikap biasa karena mencoba untuk memaafkan apa yang telah dia perbuat. Akan tetapi, mendengar kalimat isyarat agama membuatnya sangat terkejut dan malu. "Silakan lakukan apa yang memang ingin Mas lakukan. Bila memang ini yang selalu Mas tunggu, maka lakukan saja sesuai rencana," cetus Shania seraya berdiri dari tempat duduk lalu bergerak bergeser dari kursi. "Apa maksudmu?" sengak Arhan merasa terpojok dengan tantangan yang diberikan Shania padanya. Sungguh, ini bukan bagian dari rencananya. Bukan seperti ini alur yang telah dia siapkan. Pria itu pun ikut berdiri demi bisa mencegah langkah Shania. Shania bergeming. Bagian mengejutkan bagi Arhan, karena dia telah salah mengira bahwa perempuan itu akan meninggalkan ruang makan sambil menangis pilu. Namun, ternyata begitu kukuh berdiri menunggunya bicara. "Kalau memang baktiku selama empat tahun ini belum juga membuat Mas Arhan ridho, maka lakukan saja hukuman yang pantas. Kalau memang apa yang telah aku lakukan sebagai istri belum juga mampu membuat Mas Arhan bahagia dan mencapai kepuasan, maka apa boleh buat, aku pasrah pada keputusan Mas saja." Shania menurunkan pandangannya ke arah kaki Arhan. Dia tidak mampu bersitatap dengan laki-laki yang membuat jantungnya berdebar-debar, pria yang membuatnya lebih banyak menangis di atas sajadah alih-alih tersenyum. Seseorang yang baginya menjadi pertama, tapi ternyata bukan untuk yang terakhir. "Jadi kamu tidak masalah apabila bercerai denganku?" Arhan berkata dengan nada mengejek. Sukar bagi Arhan untuk mengakui kesalahan dan kekalahan dalam satu waktu, karena baginya Shania hanya alur tokoh persinggahan sebelum akhirnya dia mendapatkan tujuannya yaitu Atika. Bagian rencana yang membuatnya selalu menjaga diri agar tidak pernah terpesona pada kebaikan sang istri. "Apa ada solusi lain?" Shania bertanya lirih. "Bukankah laki-laki boleh saja memiliki istri lebih dari satu?" ucap Arhan ketus, bagian di luar rencana. Namun, terpaksa dia keluarkan agar tidak sampai terlihat menyedihkan. Tanpa diduga, Shania malah menanggapi pernyataannya dengan tawa kecil. "Kenapa Mas Arhan mengambil sunah terberat dari agama? Kenapa bukan sunah paling ringan yang mungkin saja tidak semakin membuat Mas Arhan digulung banyak dosa?" sahut Shania masih dengan bibir menahan tawa. Tentu saja Arhan dibuat kesal bukan main. Dia merasa menyesal sudah mengeluarkan kalimatnya soal pernikahan kedua. "Mas sudah belajar ilmunya? Bagaimana bisa bersikap adil, padahal selama kita menikah empat tahun saja, hak-hakku sebagai istri banyak yang belum terpenuhi. Apakah dengan kehadiran Atika sebagai istri kedua tidak semakin membuatmu bertidak dzolim padaku?" Shania bergerak dari tempatnya. Sebenarnya dia ingin pergi dari sana karena merasa percuma saja. Bukan jawaban seperti apa yang dia bayangkan, ternyata pikiran Arhan lebih membuatnya kecewa karena malah tercetus pernikahan kedua. Shania merasa lebih terluka dari sebelumnya. "Aku mohon, jangan jadi pecundang!" lontar Shania seraya mendongak, menatap Arhan dengan tatapan sengit lalu bergerak ingin menjauh. "Tunggu!" Arhan menghalau langkah Shania agar tidak melewatinya begitu saja. Entah apa yang ada di dalam kepalanya tadi, tapi lagi-lagi kalimat pecundang membuat harga dirinya seakan diinjak lebih dari terpergok selingkuh. Arhan pun tidak bisa diam saja diperlakukan seperti itu. Buru-buru dia menarik tangan Shania agar tidak meninggalkan tempatnya. "Tidak usah pegang-pegang, Mas. Silakan bicara, aku akan dengarkan." Shania pun menepis tangan Arhan. Sebuah penolakan yang membuat hati laki-laki itu mencelus tidak terkira. Sebuah penolakan yang belum pernah dia alami sebelumnya. "Apa selama ini kamu pernah mencintaiku?" tanya Arhan memastikan. "Jenis laki-laki apa, yang tidak mampu membedakan mana perempuan yang mencintai secara tulus dengan yang hanya sebatas nafsu ingin memiliki lalu menghempaskan jauh setelah bosan, dan digantikan dengan sosok laki-laki baru yang lebih kaya," tukas Shania seraya melenggang pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN