Bersikap Baik-baik Saja

1192 Kata
"Hei, kamu tadi kenapa?" Sesampainya kembali ke meja, Shania langsung diberondong pertanyaan melalui tatapan menyipit Shinta. Wajah temannya itu tentu menyiratkan kecemasan tanpa bisa ditutupi. Shania langsung tersenyum, menggeleng pelan lalu mulai menikmati makan siangnya tanpa suara. Bisa dipastikan, seberang tempat duduknya saat ini terdapat pasangan terlarang yang sedang dimabuk cinta. Sampai-sampai keberadaan orang di sekitarnya tidak mampu menahan kemesraan, meskipun jelas berada di tempat umum. Shania semakin yakin keputusan bercerai itu paling tepat, karena jelas pria itu tidak layak diberikan ketulusan cinta darinya. "Kamu mulai kerjanya kapan? Besok, 'kan?" Suara Shinta lagi-lagi membuat pikiran Shania yang berkutat pada Arhan menjadi buyar. "Akan aku pikirkan lagi kapan mulainya, Shin." "Oke, tapi kamu udah ngobrolin ini sama suamimu, 'kan?" "Sebenarnya aku udah dalam proses perceraian. Makanya aku setuju buat kerja sama kamu," ungkap Shania dengan tatapan kesedihan. "Hah!" Shinta tidak mampu menutupi kekagetan itu dengan ekspresi mata membola. Satu tangannya menutupi bibir yang tanpa sadar menganga kaget. Buru-buru dia memegang satu tangan Shania yang berada di atas meja, dia berusaha untuk memberikan dukungan moril dengan menggenggam erat jemarinya. "Aku tidak akan tanya apa pun kalau kamu tidak mau cerita. Tapi, yang pasti aku selalu ada kapan pun kamu butuh. Kamu jangan bingung mau ke mana, kalau tujuan kamu belum jelas," bisiknya penuh ketulusan. "Terima kasih, Shin. Aku ...." "Ssstthhh. Kita ini sahabatan lama. Jangan ada sungkan untuk saling meminta bantuan." Shania mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Sungguh, pertolongan Tuhan yang tidak pernah disangkanya akan melalui siapa. Perempuan itu merasa sangat bersyukur melebihi apa pun. "Orang yang akan kita temui hari ini telepon dan katanya mendadak tidak bisa datang. Dia malah mengalami insiden kecelakaan saat perjalanan ke sini," ungkap Shinta berbalik mengejutkan Shinta. "Hah, terus?" "Enggak, dia baik-baik saja. Cuma nyerempet orang, terus sekarang lagi di rumah sakit. Jadi, karena tidak jadi meeting, sebaiknya kita pulang aja setelah selesai makan." Shinta pun menjelaskan apa maksudnya. "Ok. Aku udah selesai, kok. Kita langsung pulang aja kalau emang tidak jadi meeting." Shania memilih untuk segera menyudahi makan siangnya. Meskipun mencoba baik-baik saja, nyatanya dia masih juga merasakan patah hati. Pria yang masih menyisakan ruang cinta di hatinya kini malah asik mesra dengan perempuan lain. Bodohnya kalau dia masih saja bersedih atas kegagalan itu. "Oke. Ayok, udah aku bayar juga, kok." Selayaknya seorang sahabat yang tanggap, Shinta tidak banyak bertanya dan langsung mengiyakan ajakan Shania. Dia bukan perempuan bodoh yang tidak paham kode, siapa laki-laki yang telah menyakiti hati teman baiknya. Tanpa bertanya, dia mencari tahu sendiri siapa suami Shania dan segera mengerti mengapa sikap perempuan itu berubah setuju dengan penawarannya soal pekerjaan. Perjalanan mereka tidak langsung pulang, melainkan ke Butik Shinta dulu. Shania setuju diajak ke sana setelah diceritakan proyek khusus yang akan diberikan padanya. Tentu saja, wajah sendu itu berubah semringah. Shinta tidak akan mengulik prahara rumah tangga Shania dan tanya tentang suaminya. Dia hanya akan memastikan bahwa hidup Shania akan baik-baik saja dengan sedikit bantuannya. "Aku boleh pinjam segala fasilitas di bagian produksi Butik kamu?" tanya Shania lagi memastikan kalau apa yang didengar dari ucapan Shinta adalah benar. "Iya, apa harus kita buat rekaman bukti persetujuan?" sahut Shinta pura-pura gemas. "Ya, kamu tidak tahu bagaimana bahagianya aku, sih," tukas Shania dengan bibir mengerucut. "Aku bisa lihat, kok. Tuh, kakimu udah tidak sabar buat loncat-loncat kegirangan," timpal Shinta seraya membuka pintu begitu kendaraannya sudah terparkir aman. Shania malah tertawa terbahak-bahak menanggapi candaan Shinta yang terkesan mengomel. Dia pun segera ikut turun dan berjalan mengekori langkah perempuan hobi memakai sepatu hak tinggi itu dengan berlari kecil. "Aku tidak harus memakai sepatu seperti milikmu itu, kan?" goda Shania seraya meloyor jalan lebih dulu memasuki lobi Butik. "Enggak, pakai sendal jepit pun tidak apa-apa asalkan jangan sampai menginjak lantai marmer Butikku," sahut Shinta geregetan. Lagi-lagi ekspresi itu membuat tawa Shania pecah. "Pokoknya lakukan apa pun yang membuatmu bahagia, Shan. Kamu layak untuk mendapatkan kehidupan lebih baik dengan berdiri di kakimu sendiri, meskipun harus berdarah-darah dalam berjuang, sebelum akhirnya mendapatkan sepatu yang cocok dan nyaman untukmu. Pria itu sudah menyia-nyiakan berlian dan malah memungut batu kerikil." Shania menoleh ke arah Shinta berada. Perempuan itu berhenti melangkah tepat ketika keduanya telah berada di dalam ruangan Shinta. Perempuan itu mengangguk pelan seraya merentangkan kedua tangannya dengan maksud untuk menyambut Shania. Dia ingin merangkul kuat-kuat sahabatnya dan meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. "Jadi, kamu tahu kalau ...." "Tidak perlu kamu ceritakan, aku sudah melihatnya hari ini. Is okay, dia yang akan menyesal telah mengkhianati kamu. Perempuan yang bersamanya tidaklah lebih baik dari kamu, percayalah." "Terima kasih sudah membuatku tidak merasa sendirian, Shin." Shania pun berjalan dan memeluk tubuh Shinta sambil menangis. Meluapkan rasa sedih dan sesak setelah menahannya seorang diri. Shinta pun hanya bisa memberikan dukungan dengan tepukan tangan pelan pada bagian pundaknya. "Ayo, kita mulai menata ulang dari awal lagi. Karyamu selalu dinanti dan inilah kesempatanmu untuk unjuk gigi. Aku akan dukung kamu sampai kapanpun, seperti kamu dulu mendukung aku." Saat mengatakan itu, tangan Shinta terkepal erat, giginya menahan gerutuk kekesalan. "Hmm, makasih, ya. Aku akan berusaha dengan baik." *** Shania pulang dari Butik setelah lewat waktu isya. Dia makan malam sekaligus beribadah di rumah Shinta. Perempuan itu tinggal sendiri di sebuah perumahan. Tidak lagi bersama orang tuanya demi menjaga kewarasan, katanya. Shania pun memaklumi apa pun yang dikatakan temannya itu karena tahu bagaimana keluarga itu menekannya sejak masih kecil. Lampu taman sudah menyala terang. Tanda-tanda Arhan ada di rumah juga bisa dilihat dari mobil yang telah terparkir di garasi. Untuk pertama kalinya dia terlambat pulang dan anehnya Arhan sudah di rumah. Shania memasuki rumah dengan langkah biasa, layaknya sedang berada di kontrakan tanpa dosa. Lagi pula dia sedang tidak melayani siapa pun, suami pun tak punya. Dia tidak merasa berkewajiban untuk merasa bersalah. "Kamu dari mana? Ini bahkan sudah hampir jam setengah sembilan," ucap Arhan dari kursi malas yang terdapat di ruangan tengah. Tampak pria itu sedang membaca majalah olahraga. "Aku? Dari bertemu dengan teman." Shania menjawab santai, masih melangkah meninggalkan area itu untuk segera menjangkau kamarnya. "Pertemuan macam apa?" ejek Arhan dengan suara emosi yang bisa dirasakan Shania seberapa kuat kadarnya. "Ada masalah apa sih, Mas? Apa ada yang ingin Mas sampaikan? Kenapa nadanya seperti itu, padahal jelas aku tidak sedang melakukan tindakan salah apa pun," balas Shania bereaksi terhadap sikap Arhan yang menyebalkan. "Kamu kira aku tidak tahu kamu ke mana dan ngapain saja?" "Dan kamu kira aku juga tidak tahu kalau Mas Arhan bermesraan di Restoran tanpa peduli masih ada martabat yang harus dijaga?" balik Shania ketus dan itu sanggup membuat Arhan gelagapan. Shania memilih untuk menyudahi pembicaraan dengan masuk kamar lalu mengunci rapat-rapat. Tidak lupa dia menyalakan musik religi demi bisa menetralisir rasa kesal karena sikap mantan suaminya itu. "Sabar, Shan. Begitu masa Iddah berakhir, akta cerai di tangan dan pekerjaan udah ada, kamu akan bebas dari rumah ini. Tidak apa-apa sementara jadi bayang-bayang Arhan, siapa tahu kamu bisa membalas perlakuannya dengan caramu sendiri yang elegan," batin Shania seraya mengepalkan tangannya erat-erat. Shania akan menggunakan kesempatan berada di rumah ini untuk menunjukkan kalau hidupnya akan berjalan secara baik, sekaligus memastikan perempuan itu gantian kalang kabut dilanda kecemburuan. "Dan aku tidak akan membiarkan semua berjalan mulus seperti jalan tol bagimu, Atika," janji Shania dengan bibir menyeringai kecil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN