Introspeksi Diri

1082 Kata
Pagi ini Shania sudah rapi. Mengenakan kemeja pink motif bunga-bunga kecil, dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam layaknya pekerja kantoran, tetapi masih terlihat lebih santai karena modelnya kekinian. Baju itu sengaja diberikan Shinta untuknya, sebagai hadiah masuk kerja pertama kali. Rasa percaya diri pun mulai membuncah tanpa disadarinya. Sejak jam empat pagi dia bangun. Melihat rumah sangat tidak terurus, mau tidak mau membuat naluri Shania untuk beberes pun meledak tidak terkira. Dia tidak bisa begitu saja mengabaikan apa pun di sekelilingnya. Dengan rasa kesal terhadap dirinya sendiri, dia membersihkan rumah, memasukkan pakaian Arhan ke dalam mesin cuci serta membereskan piring kotor di dapur. Tepat jam delapan pagi dia sendiri sudah selesai sarapan. Melihat kedatangan mantan suaminya tanpa sudi menyapa terlebih dahulu, sebab dia memang membantu, tapi tidak ada harapan agar diapresiasi. "Makasih, Shan," ucap Arhan ketika melihat sudah siap juga sarapan untuknya. Sepiring nasi goreng lengkap dengan sosis dan telur kesukaannya. "Makasih untuk apa?" Shania menoleh sekilas lalu kembali berkutat pada piringnya di dalam bak cucian. "Sarapan." "Oh, bukan masalah. Kebetulan aku bikin banyak hari ini." Shania menjawab dengan raut wajah dibuat setenang mungkin. Dia berusaha untuk tidak lagi bertingkah tersakiti, karena pada dasarnya dia sudah terbiasa berada di dalam fase seperti ini—sepanjang pernikahannya dengan Arhan. "Juga soal rumah dan pakaianku," sambung Arhan mencoba untuk berkomunikasi dengan baik lagi. Entah mengapa, keinginan ini muncul setelah dia dulu merasa kalau Shania tidak cocok dia jadikan teman bertukar pikiran. "Tidak masalah. Anggap saja bantuan seorang teman." "Kamu sepertinya mau pergi?" Arhan mulai merasakan perubahan dalam diri Shania. Seorang perempuan mandiri yang lagi-lagi telah dia remehkan selama empat tahun ini. "Iya, aku hari ini mulai kerja. Aku akan segera pindah dari sini begitu dapat kos-kosan," jawab Shania sambil tersenyum bangga, wajahnya tampak semringah. Entah kenapa ekspresi itu muncul begitu saja secara alamiah. Sama seperti dulu saat dirinya menceritakan apa yang membuatnya senang kepada sang suami. Arhan langsung menunduk tidak senang. Bagian yang dulu dia larang kini akan dikerjakan Shania yaitu menjadi wanita karier. Dia masih mengingat jelas bagian syarat dari pernikahan yaitu Shania harus di rumah dan meninggalkan dunia fashion, di mana dia tahu perempuan itu hobi mendesign berbagai mode busana anak muda. Wajah Arhan bagai tertohok benda keras sehingga membuatnya susah bernapas. "Oh, taksiku sudah datang. Aku permisi kalau begitu," pamit Shania seraya menarik tas dari atas kabinet. Arhan bisa melihat merk tas itu bukan murahan. Dia sempat membelikan barang mahal itu untuk Atika sehingga cukup menguras tabungan miliknya. Mata pria itu pun terpejam demi bisa mengontrol emosi yang mungkin bisa menyakiti Shania. Dia benar-benar marah karena mantan istrinya itu menggunakan barang bermerk tepat setelah dia melayangkan talak. "Dia tidak mungkin menghabiskan uangmu dan mencurinya, Han. Apa mungkin dia menyembunyikan barang-barang mewah itu secara diam-diam?" Arhan mencoba untuk berpikiran positif. Suara pagar yang ditutup dari luar meyakinkan Arhan untuk lagi-lagi mengecek kamar yang ditempati Shania. Dia ingin memastikan kalau perempuan itu jangan sampai menyembunyikan barang berharga yang kemungkinan besar dibeli dengan uang miliknya. Dia tidak mau sampai kecolongan, karena jelas dia lebih rela uangnya habis untuk Atika, bukan untuk perempuan miskin seperti Shania. Tanpa menunggu lama, kini Arhan sudah berada di dalam kamar Shania. Harum semerbak parfum yang memang biasa dipakai perempuan itu pun mengiringi keberadaan Arhan di sana. Kesalnya, tidak ada satupun barang berharga di dalam ruangan itu hingga tibalah tatapan Arhan terhenti pada kotak karton di dekat tong sampah. Buru-buru dia pun mendekat dan membukanya dengan rasa penasaran yang tinggi. 'Tidak usah berterima kasih, hadiah ini cocok untuk wanita cantik seperti kamu, Shania. Dipakai saat kamu masuk kerja pertama kali, ya. Semangat bergabung bersama Tim aku!' Arhan membaca memo pesan yang masih tertempel kuat di bagian tutupnya. Prasangkanya terbantahkan dengan adanya bukti itu. Barang itu murni pemberian orang lain dan bukan dibeli Shania dengan uangnya. Pria itu pun dengan kesal menjatuhkan kotak kardus itu ke lantai lalu pergi dari sana. "Siapa orang yang memberikan Shania hadiah semahal itu? Pasti orang kaya," gumamnya setengah kesal. Dia tidak menyangka Shania punya teman sebaik itu. Arhan merasa mantan istrinya itu bukan tipe perempuan yang bisa membangkitkan rasa seorang pria untuk tertarik. Shania sangat biasa saja dibandingkan Atika yang memiliki aura sensual sebagai seorang perempuan. "Kamu buang-buang waktu, Han. Buat apa kamu masih peduli sama kehidupan dia, hah? Dia mau kencan sama siapa pun, kenapa kamu harus repot-repot ngecek?" Pria itu sedikit menghentakkan kaki saat berjalan menuju ke teras depan rumah. Arhan memilih untuk berangkat ke kantor setelah menghabiskan sarapan enak yang diam-diam dia rindukan. Arhan langsung menuju ke ruangannya. Tentu saja cukup kaget karena telah ada sang atasan yang berada di sana sedang duduk di sofa. Dia merasa heran sekaligus bingung karena tidak biasanya sang atasan masuk ke ruangannya. "Selamat pagi, Pak," sapa Arhan sambil menutup pintu ruangannya lalu berjalan mendekat ke arah sofa di mana atasannya berada. "Kamu sudah membuat revisian mengenai perencanaan event yang akan digelar tiga minggu lagi?" Pria itu langsung bangkit dari tempat duduk begitu Arhan masuk. "Oh, iya. Baru akan saya kerjakan hari ini, Pak." Arhan pun dibuat kaget tidak terkira dengan pertanyaan yang diajukan atasannya. Gara-gara masalah rumah tangganya dan juga Atika, dia sampai lupa menyiapkan proposal. "Kenapa akhir-akhir ini kerjaan kamu jadi lamban? Apa kamu sudah tidak begitu berharap tetap menjadi ujung tombak perusahaan ini?" "B-bukan begitu, Pak Raden. Saya minta maaf atas keteledoran ini. Akan segera saya kerjakan secepatnya bersama tim saya," ucap Arhan begitu gelagapan menghadapi atasannya yang memang terkenal sangat disiplin. Pria bernama Raden itu pun hanya tersenyum masam lalu menepuk pundak Arhan sebagai sinyal peringatan lalu meninggalkan ruangan Arhan tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Dia hanya ingin agar Arhan tidak bermain-main dalam bekerja apalagi jalur masuk ke perusahaan bukan sesuai spesifikasi di bidangnya, melainkan karena jalur nepotisme. Arhan mengembuskan napas panjang. Pekerjaannya memang tidak aman apabila tidak ada Shania sebagai bekingan. Kepala HRD tentu saja pasti sudah mendengar huru-hara kedekatannya dengan wanita lain karena kasak-kusuk sudah mulai tersebar gara-gara Atika tidak sabar mengumbar kemesraan di tempat umum dan dia pun terlena karenanya. "Hah, benar-benar kacau!" rutuk pria itu kesal bukan main. Arhan pun memilih segera mengumpulkan timnya untuk melakukan meeting untuk membahas mengenai event yang akan diselenggarakan. Dia harus mampu mengkalkulasi segala keuntungan dan meminimalisir kerugian dengan banyak riset mengenai pasar. Sungguh, dia sebenarnya tidak secerdas itu dalam bekerja, seandainya tidak diberikan tim yang solid menutupi kekurangannya. "Pak Arhan, ada yang ingin bertemu dengan Anda di depan," kata seorang sekuriti setelah mengetuk pintu ruangan Arhan lalu membuka separuh. "Hm, siapa?" tanya pria itu sambil mendongak, mengalihkan perhatian dari layar laptop ke arah pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN