Tetap Saja Terluka

1345 Kata
Shania sengaja menghabiskan waktu di kamar mandi untuk memakai lulur, menggunting kuku sekaligus mandi. Memastikan dirinya sudah tidak lagi mengeluarkan air mata sialan. Bila selama ini dia akan menyambut sang suami pulang bagaikan sultan yang harus dilayani penuh penghormatan, hari ini Shania meliburkan diri. Dia sedang menata hati agar saat bertemu nanti, perasaannya sudah lebih baik. Arhan memasuki rumahnya begitu selesai memarkirkan mobil. Melihat koper besar yang biasa dia pakai apabila bepergian, kali ini perasaannya malah tidak menentu. Lebih dari semenit dia termangu di ruang depan, mengingat pesan tadi pagi pada sang istri untuk meletakkan barang-barangnya di sana karena enggan masuk rumah. Sejelas matanya memandang, barang itu sudah dipersiapkan dengan baik. "Bagaimana bisa rasanya jadi seperti ini?" batin Arhan kesal. Dia mendadak gusar setengah mati. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Biasanya dia akan pergi ke manapun, tanpa memikirkan cara pandang sang istri terhadap sikapnya. "Shani!" panggilnya sambil mengamati pintu ruangan tengah. Gagasan untuk segera pergi seperti apa yang biasa dia lakukan selama ini urung, tatkala mengingat siang tadi Shania memergokinya sedang bermesraan dengan perempuan lain di restoran. Sungguh, seperti sedang berada dalam fase memalukan, dia tidak bisa berkata-kata untuk menjelaskan atau minimal berkilah tidak berselingkuh di belakang sang istri. Sejak siang tadi hati Arhan diliputi perasaan tidak karuan. Terdapat kemarahan yang menggunung, sekaligus menyalahkan kenapa Shania bisa datang ke sana tanpa pemberitahuan. "Iya, Mas. Apa sudah mau berangkat? Apa ada yang lupa belum aku siapkan?" Kedatangan Shania dengan wajah teduh, beraroma sabun dan sampo yang wangi membuyarkan lamunan Arhan. Dia sudah merancang skenario kemarahan yang siap dia lancarkan karena sang istri keluyuran tanpa izin. Namun, saat melihat bagaimana tatapan lembut seperti biasanya Shania lakukan untuknya setiap kali bertemu, tiba-tiba Arhan malah diliputi rasa tidak jelas. Antara bersalah sekaligus tidak peduli. "Aku belum ngecek," jawab Arhan seraya melepaskan tatapan dari sang istri ke arah koper besar berwarna hitam miliknya. "Oh, ya sudah. Hati-hati, semoga acara meetingnya lancar." Shania mengulurkan tangan. Sebuah kebiasaan yang malah mengejutkan Arhan karena di saat seperti sekarang, istrinya tidak terlihat menunjukkan sikap, yang seharusnya dilakukan semua istri, kala menemukan suaminya terbukti sedang bermain gila dengan perempuan lain. Arhan hanya bisa terpaku melihat jemari lentik sang istri yang tidak pernah digenggamnya secara utuh. "Kamu tidak takut ketinggalan pesawat? Salim terus berangkat, semoga Allah memberikan kelancaran setiap langkah jihad Mas Arhan dalam mencari nafkah," kata Shania segera mendekat dan meraih tangan sang suami, mencium takzim lalu meninggalkan ruangan itu dalam kesunyian. Dia melangkah menuju kamar lalu menutup pintunya rapat. Shania meletakkan jejak tangan sang suami ke atas dadanya seraya memejamkan mata. Punggungnya bersandar pada dinding lalu mulai merosot, terduduk di lantai marmer yang dingin. Mungkin akan menjadi aroma terakhir yang akan dia nikmati, karena setelah ini Shania akan pelan-pelan mempersiapkan diri untuk melepaskan apa yang Tuhan titipkan padanya. Rasa memiliki itu, akan perlahan dia lepaskan. "Jangan menangis lagi, Shania. Setiap doa dalam sujudmu, ternyata tidak mampu menembus dinding hatinya. Anggap saja ini bagian dari kesalahan, karena mengharap cinta selain dari Rabbmu," gumam Shania pelan. Meskipun begitu, tetap saja air matanya perlahan menetes dalam kesunyian. *** Arhan terduduk di sofa ruangan tengah. Kakinya seolah dirantai kala memasukkan koper di dalam mobil dan menemukan totebag berisi makanan kesukaannya. Terdapat kertas berisi pesan dari sang ibu yang memintanya menjaga kesehatan, meskipun giat mencari nafkah untuk kebahagiaan istri. Rasanya seolah tertampar keras kala mengingat lagi, bagaimana perasaan sang ibu kalau saat itu beliau yang melihatnya, sedang merangkul mesra diikuti kecupan manis pada kening seorang perempuan yang bukan menantunya. Napas Arhan tersengal-sengal saat membayangkan adegan itu. "Ahhhgg, sialan! Gara-gara Shania datang ke sana, perasaanku jadi kacau begini!" Arhan mengerang kesal bukan main. Pria itu melepaskan jasnya lalu meletakkan ke bagian sofa sebelahnya duduk. Kepalanya mendadak pusing. Apa yang sudah dia rencanakan saat perjalanan pulang hancur lebur karena tidak sesuai ekspektasi. Sebenarnya dia ingin memutar balikkan kemarahan dengan menyalahkan Shania lalu pergi dari rumah setelah pertengkaran hebat dengan membawa koper. Semua rencananya gagal total setelah melihat bagaimana wajah teduh itu malah menyambut, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sungguh, di luar dugaan dan Arhan pun merasa sangat terhina melebihi apa pun. Lamunan Arhan terdistraksi suara ponsel yang berdering nyaring. Tidak perlu ditebak lagi siapa yang tengah menghubunginya. Tentu perempuan yang sudah membuat waktunya habis tersita sepanjang waktu bernama Atika. Masih diliputi perasaan tidak menentu, Arhan pun memilih untuk mengangkat panggilan agar tidak membuatnya semakin stres. "Ya," jawabnya dengan nada tertekan. "Sayang, jadi pergi tidak? Kenapa belum datang-datang? Ini udah hampir satu jam loh aku nungguin kamu," cerocos dari seberang, bisa dipastikan perempuan itu kesal bukan main. "Aku sedang tidak enak badan. Lain kali saja ya kita jalan. Kita batalkan saja acara kita," ucap Arhan seraya menjauhkan ponselnya dari telinga. Dia sedang malas mendengar amukan Atika, apabila ada kemauan yang tidak terpenuhi. Apalagi berhubungan dengan acara kencan mereka. "Tidak bisa gitu dong! Kenapa sih, sejak di restoran kamu jadi lain?" "Aku hanya capek. Weekend ini kita jalan sendiri-sendiri saja. Aku ada acara dadakan sama ibuku—" "Dan istri cupu kamu?" potong Atika dengan suara meradang. "Aku udah biarkan kamu bersama istrimu dari jam dua belas malam sampai pagi. Harusnya weekend sepenuhnya buat aku, bukan sama si cupu itu. Kenapa kamu mengubah acara kencan romantis setelah berbulan-bulan kita rutinkan, sih!" Atika pun murka. Arhan menghela napas panjang. Kepalanya semakin pusing mendengar ocehan kecemburuan Atika terhadap Shania. Istri yang dia sembunyikan wajahnya dari semua teman kerja. Belum ada yang tahu seperti apa Shania, kecuali HRD. Dia merupakan teman sang istri yang menerimanya bekerja secara koneksi. "Bukan begitu," seloroh Arhan mencoba untuk memenangkan hati sang pujaan hati. "Atau ... jangan-jangan perempuan tadi siang itu istrimu, ya?" Arhan terdiam, tidak menyahut. Buru-buru dia menutup sambungan telepon begitu melihat bayangan dari arah tangga, yang kemudian menampilkan sosok Shania. Perempuan itu menuruni anak tangga seraya menguap. Tidak sanggup mengatakan apa pun, mulut Arhan terkunci rapat. Dia membiarkan Shania melewatinya begitu saja untuk menarik tirai, menutupi kaca jendela. Bila biasanya dia tidak memedulikan apa pun yang dikerjakan Shania dan terkesan lebih nyaman membalas chat mesra nan menggairahkan yang dilakukan Atika dengannya, kini letupan itu musnah sudah. "Masih di rumah? Mas tidak jadi pergi?" sapa Shania begitu selesai mengecek semua pintu rumah dan jendela. Sebuah kebiasaan yang luput dari perhatian Arhan selama ini. "Kamu sendiri kenapa belum tidur?" Arhan terlihat mematikan ponselnya saat dering kembali terdengar. Shania sempat melihat layar ponsel yang menampilkan wajah cantik seorang wanita itu, tapi memilih berbalik arah tanpa menjawab pertanyaan sang suami. Rasanya sangat menyedihkan, bila mengingat nama dan foto kosong yang dia lihat, saat mencoba untuk mengetahui bagaimana sang suami menyimpan nomornya. Nama Shania seolah-olah bukan seseorang yang penting, tetapi belum juga membuatnya sadar bahwa mahar tanpa cinta hanya membuatnya terluka. Kini, setelah tahu bahwa terdapat nama Sweety bergambar wanita cantik mengisi nomor kontak spesial sang suami, Shania pun mencoba untuk sadar diri, di mana letak dirinya di dalam hati pria bernama lengkap Arhan Wijaya itu. Bukan siapa-siapa dan tidak akan pernah spesial, sekuat apa pun dia berbakti dengan penuh ketulusan. Bila dulu dia menganggap saingannya hanya cinta yang belum tumbuh, kini dia baru sadar bahwa saingan sebenarnya adalah perempuan yang telah berhasil mengisi hati seorang Arhan sehingga sedikit sisa untuknya saja tidak tersedia. "Shani ...." Kalimat Arhan menggantung. Tenggorokannya tercekat seolah sulit untuk meneruskan ucapan. Shania tidak menoleh, tapi urung melanjutkan langkahnya ketika namanya disebut. Dia pun menunggu dengan hati dipenuhi jutaan prasangka. Namun, sebisa mungkin dia mempersiapkan mental, apabila memang itu yang sebenarnya telah ditunggu-tunggu Arhan untuk diungkapkan. "Ada apa? Aku belum tidur karena biasa menunggu, sampai suami yang memberikan tempat tinggal dan makan tiba di rumah dan melihatnya sehat," kata Shania sambil membalikkan badannya lagi, menghadap ke arah Arhan yang kini berdiri di depan sofa, belum beranjak dari sana. "Aku mau menjelaskan soal tadi siang," ucap Arhan setelah keduanya memiliki jeda pembicaraan berapa menit. "Ada apa dengan kejadian tadi siang?" lontar Shania dengan tatapan datar. "Kamu tidak ingin mendengar sebuah penjelasan?" balas Arhan, merasa cukup dibuat kesal karena Shania benar-benar berhasil memosisikan dirinya dalam keadaan serba salah. "Apa itu bisa mengubah cara pandangku terhadap Mas Arhan?" lontar Shania, menunjukkan bahwa dia siap dengan jawaban Arhan, yang mungkin saja sangat melukai perasaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN