Dia yang Kau Cintai

1368 Kata
Arhan dan Shania kini ini sudah duduk berhadapan di ruang santai keluarga. Meja tengah berbahan lapis kaca bagian atas sebagai pemisah mereka. Shania tidak bisa menolak permintaan Arhan untuk bicara berdua. Shania memilih untuk memeluk bantal sedangkan Arhan hanya duduk mengamati bagaimana tenangnya sang istri menghadapi situasi canggung malam ini. Wajah perempuan yang selama empat tahun luput dari pengamatannya. Usia Shania masih sangat muda saat menikah dengannya. Derai air mata dan kepolosan saat melayaninya di malam pertama sebagai bukti. Sungguh, Arhan dibuat tidak menentu setelah sekian lama dan kini otaknya baru mulai memperhatikan. Shania yang ramah dan lagi ceria menyambut saat sang ibu melamarkan perempuan itu untuknya sebagai istri. Sebuah kilatan cinta yang terpancar saat mencium takzim tangannya setelah akad nikah, bahkan sampai pagi tadi. Arhan benci setengah mati bila harus dibuat merasa bersalah sebegitu besar, setelah kepergok sedang bergayut mesra dengan perempuan lain. Tidak, harga dirinya tidak boleh jatuh begitu saja tanpa upaya penjelasan, kalau dirinya tidak dalam posisi seratus persen salah. "Namanya Atika," kata Arhan mulai membuka pembicaraan. "Wanita yang bersama Mas Arhan tadi siang?" sahut Shania tanpa menunjukkan emosi yang dipendamnya rapi dalam hati. "Dia perempuan yang sebenarnya ingin aku nikahi empat tahun lalu, sebelum ibu memilihkan kamu untuk jadi istriku." "Oh." Shania pun mengangguk getir, mengerti alur yang sedang dibuat sang suami demi bisa membenarkan tindakannya. "Perempuan yang sangat Mas Arhan cintai?" Terdapat jeda sebelum akhirnya Arhan pun mengangguk. Sebuah gerakan yang menyesakkan d**a Shania, tetapi sebisa mungkin perempuan itu melepaskan senyuman, demi bisa menjaga harga dirinya sebagai wanita yang sedang dicampakkan tanpa ampun. "Dia perempuan yang dulu menjadi tujuanku agar sukses dalam berkarier." "Dan setelah kesuksesan itu bisa Mas Arhan genggam, apakah kini dia tetap menjadi tempat tujuan? Kenapa dulu Mas Arhan tidak cerita apa adanya saja?" "Aku minta maaf kalau sudah menyakitimu, Shan," tukas Arhan pelan. Sungguh, tidak ada yang bisa dia katakan selain kata maaf untuk menjaga dirinya dari pandangan buruk. Menjelaskan siapa perempuan yang bersamanya agar Shania sadar bahwa tindakannya bukan sesuatu yang dimulai baru-baru ini saja, melainkan kisah impian bahagianya. Mungkin ini berlebihan, tapi Arhan tidak memiliki cara lain untuk mencairkan susana. "Empat tahun ternyata waktu yang sia-sia," kata Shania pelan, wajahnya pun tertunduk. "Aku tidak bisa menahan diri, untuk tidak merespon perempuan yang memang aku inginkan kehadirannya, Shan." Arhan pun berkilah. "Ya, aku paham. Hanya saja, ini sangat tidak adil untukku sebagai seorang istri." Senyuman kecewa pun tercetak jelas ketika Shania mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Arhan bisa melihat gurat kesedihan itu, tetapi enggan untuk peduli karena harga dirinya tidak boleh jatuh di hadapan perempuan bukan siapa-siapa baginya itu. "Aku tidak bisa memaksakan apa yang ada di dalam hati, Shan." Arhan masih berlagak tidak salah dalam hal perselingkuhan yang dilakukannya. "Ya, aku sadar. Memang tidak layak perempuan seperti aku mendapatkan balasan cinta, meskipun sebenarnya aku sudah berusaha untuk layak," tukas Shania sambil beranjak dari tempat duduk. Meninggalkan Arhan berpikir seorang diri mungkin pilihan paling bijaksana yang bisa dia putuskan. Shania menggunakan kamar tamu sebagai tempat sementara selagi hatinya masih terguncang. Dia belum siap untuk mendengar deru napas ketika sang suami tertidur. Sebuah kebiasaan menatap ketampanan Arhan diam-diam saat telah tertidur pulas menawarkan rasa syukur, setidaknya dia masih punya seseorang sebagai tempat bersandar. Kini, Shania harus mulai terbiasa meninggalkan kebiasaan itu demi kesehatan jiwanya sendiri. *** Pagi-pagi seperti biasanya Shania sudah bangun. Melakukan rutinitas sehari-hari tanpa ada perubahan dalam dirinya. Menyiapkan sarapan, pakaian beserta sepatu kantor yang telah berubah mengkilap setiap hendak dipakai. Tidak memikirkan bagaimana Arhan semalam, apakah pria itu pergi lagi setelah tidak biasa pulang di bawah pukul sembilan malam. Tentu pulang awal dan menunda acara meeting merupakan imbas dari terbongkarnya perselingkuhan. Namun, Shania sebisa mungkin tidak akan membicarakan itu, apabila Arhan memang tidak memancing. 'Sudah lihat storyku hari ini?' Sebuah pesan masuk, dari Shinta temannya kemarin. Sambil tersenyum tipis, Shania membuka story yang diunggah. Sebuah undangan selebaran bagi desainer pemula untuk unjuk bakat di sebuah pameran yang diadakan secara umum. Hatinya tergelitik ketika menyadari kalau bisa saja kini dia memulai lagi hobinya sejak masih kanak-kanak. Story itu sudah dilihat Shania kemarin lusa, di kontak nomor temannya yang lain. 'Aku kurang paham.' Shania membalas pesan diiringi emoticon tertawa. 'Kamu buruan ke sini, akan aku jelaskan secara terperinci. Tidak ada kata tapi, ambil kesempatan emasmu karena ini event besar dan ada slot khusus bagi desainer pemula.' Shania menggigit bibirnya, perasaan risau mulai tumbuh tidak terkendali sejak semalam. Memikirkan segala kemungkinan yang terjadi setelah pembicaraan tidak jelas bersama Arhan tentang perasaan. Ketakutan pun mulai membayangi Shania mengenai masa depannya setelah ini. 'Shan! Aku daftarkan kamu satu tema.' 'Eh, tunggu. Aku belum izin suamiku.' Shania membalas pesan Shinta dengan penuh kepanikan. Namun, lagi-lagi emoticon mengejek yang didapatkannya dari balasan Shinta terhadap alasannya selama ini, sampai meninggalkan hobi dan bakatnya. Demi patuh dan taat pada suami dan mertua. Shania menatap kedatangan Arhan dari lantai atas. Sudah mengenakan setelan jas yang telah dia siapkan sebelumnya. Sungguh, rasa sakit kian terasa menggigit, saat menyadari bahwa kegagahan itu tidak untuk menarik perhatiannya, tetapi demi wanita yang telah menjadi tujuannya untuk sukses. Menemani dari minus pun ternyata masih kalah dengan perempuan yang telah memiliki tempat khusus di hati sang suami. Shania mengusap d**a sambil membacakan pelan surah alfatihah dan al insyirah, demi menenangkan gejolak amarah di dalam hatinya. "Yaa Rabb, sungguh hanya berharap balasan dari cintaMu saja, satu-satunya yang tidak pernah membuatku kecewa," batin Shania kelu. Buru-buru Shania mengundurkan diri menuju ke halaman belakang rumah untuk menjemur pakaian. Tidak kuat menatap mata laki-laki yang telah membuatnya jatuh cinta sekaligus terluka pagi ini. Lebih baik tetap berada di dalam jarak terkendali sehingga dia tidak harus menutupi rasa lemahnya dengan menangis akibat dikhianati. Arhan melihat langkah Shania, sangat kentara menjaga jarak dengannya, meninggalkan ruang makan begitu dia datang. Namun, bibirnya kelu saat ingin memanggil. Ingatan semalam bahwa dirinya telah memperkenalkan siapa perempuan yang bersamanya, mungkin menjadi alasan kenapa Shania berubah dingin padanya. "Apa yang kamu harapkan, Arhan? Dia tersenyum manis padamu, setelah kamu mengakui sedang menjalin hubungan khusus dengan mantan kekasihmu?" gumam Arhan dalam hati, merutuki keadaan rumah yang tidak seperti kemarin. Biasanya Shania cukup cerewet menceritakan apa saja yang dia temukan meskipun cukup lembut saat berbicara. Menanyakan apa pun yang dia inginkan agar segera dikerjakan, termasuk merawat bunga-bunga yang berjajar rapi potnya di balkon. Memasakkan makanan yang seringkali tidak dia sentuh karena selalu pulang di atas jam dua belas malam. Menunggu sampai terkantuk-kantuk meskipun sudah dilarang. Mengingat bagaimana ekspresi kebahagiaan Shania saat sesekali dia memberikan nafkah batin, tiba-tiba ulu hati Arhan seolah tertancap sembilu. Selera makannya pagi ini musnah seketika, rasa bersalah yang dia tekan kuat-kuat pun berdesir dan itu membuatnya marah pada kelemahan menyebalkan itu. "Tidak, aku tidak bersalah. Aku bahagia saat bisa menyenangkan hati Atika. Dia perempuan yang aku impikan berada di ranjang rumah ini setiap waktu, bukan Shania," desis Arhan dalam hati. Dia meletakan serbet lalu berdiri setelah meneguk minumannya. Kerongkongan serasa tercekik oleh keadaan yang tidak dia pahami sama sekali mengapa bisa terasa sangat menyiksa. Sambil melangkah, dia pun melonggarkan dasi yang dipakainya sambil mendongakkan wajahnya ke arah foto pernikahan satu-satunya yang terpasang karena permintaan sang ibu. "Ini kesempatanku untuk mendapatkan kebahagiaan. Mungkin kemarin aku harus sembunyi-sembunyi dari Shania. Tapi apa yang terjadi kemarin, bisa jadi sebagai tanda bahwa Tuhan sedang memberikan jalan agar aku bisa memutuskan untuk mengambil jalanku sendiri." Arhan bermonolog dalam hati. Kakinya secara spontan berhenti saat melihat sepasang sepatu telah siap menyambut. Sangat bersih seperti biasa selama empat tahun ini dia memiliki Shania di dalam keseharian. Tidak pernah terlihat harus diapresiasi, itu bagian yang menurutnya biasa dilakukan seorang istri pada suaminya. Namun, hari ini kebiasaan ini begitu menohok. Perempuan itu tidak mengubah apa yang menjadi tugasnya meskipun hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. "Tanganku kotor, maaf tidak bisa mengantarkan sampai di depan pagar!" teriak Shania dari balkon begitu melihat Arhan muncul mendekati mobil hendak berangkat kerja. Arhan pun mendongak, menatap wajah semringah sang istri dengan rambut dikucir tergerai angin dan tangan menunjukkan sedang membersihkan tanaman dalam pot. "Hmm," balas Arhan sekilas. Gengsinya terlampau tinggi untuk menunjukkan rasa sesal atas apa yang dia lakukan di belakang Shania. "Aku juga izin keluar untuk bertemu dengan teman, yang kebetulan kemarin Mas Arhan lihat saat di restoran," ucap Shania, kemudian menghilang tertutup dinding pembatas balkon. Dia tidak menunggu jawaban Arhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN