Kotoran Para Lelaki

1296 Kata
Kejadian beberapa jam sebelum Arhan sampai di rumah. "Apa kamu bilang? Istrimu tahu, kalau kamu jalan lagi sama mantan pacarmu? Ampun, Arhan. Kamu ini apa-apaan!" Seorang pria bernama Ardi, yang merupakan teman baik Arhan melotot tidak percaya pada pengakuan itu. Kebingungan Arhan yang membuatnya geleng-geleng kepala. Sebagai sesama pria, tentu dia tahu masa lalu memang sesuatu yang sulit dihilangkan, meskipun itu semua pernah mendatangkan luka. Ardi merasa kesal karena nasihatnya untuk tidak menanggapi rayuan Atika ternyata tidak digubris Arhan. "Empat tahun istrimu melayani kamu dengan sangat baik. Aku bisa melihat bagaimana rupamu sangat terawat dari ujung kaki sampai kepala," ucap Ardi seraya menyeruput minuman lalu memalingkan wajahnya ke arah lain demi bisa menahan diri agar tidak memaki kebodohan Arhan. "Aku tahu, aku sadar kalau Shania istri yang sangat baik." "Lalu kenapa kamu tega ... astaga, bingung aku sama kamu, Han." Ardi menoleh lagi pada Arhan dengan kening berkerut dalam. "Apa yang kurang dari Shania? Hm!" "Hatiku tidak bisa dibohongi kalau debaran kuat itu untuk Atika. Aku sudah mencoba untuk mencintai Shania seperti aku mencintai Atika, tapi aku tidak bisa, Ar," resah Arhan seraya mengembuskan napas keras. "Cinta? Astaga, Han! Bullshit, cinta itu bisa dipupuk!" Ardi hanya bisa menggelengkan kepalanya kesal. Sebuah pemikiran sempit dari seorang laki-laki yang terjebak lingkaran nafsu sampai mengalahkan logika. Dia pun memilih untuk tidak menyahut perkataan Arhan saking jengkelnya. "Aku sangat bahagia saat bisa memeluk Atika lagi. Ada semacam perasaan membuncah yang tidak bisa aku dapatkan saat aku bersama Shania. Aku harap kamu mendukungku, Ar. Sesama laki-laki kamu pasti paham dengan apa yang aku maksud." "Mendukung kamu meninggalkan orang yang selama empat tahun ini tulus mencintaimu, demi perempuan yang pernah melukaimu sampai seperti orang gila, begitu yang kamu mau?" lontar Ardi sambil berdecak kecil. "Ar ...." Arhan meneguk ludah, tidak mampu melanjutkan ucapannya saat teman baiknya itu melotot kesal padanya. "Kamu meninggalkan orang yang tulus demi kembali bersama perempuan yang dulu mengkhianatimu, merendahkan harga dirimu? Kamu waras tidak sih, Han?" Ardi menggelengkan kepala. Sungguh, dia paham bagian kotoran para lelaki, yaitu antara seseorang yang telah berjasa menemani dari minus dengan seseorang dari masa lalu meskipun jelas telah menimbulkan luka menganga, masih saja bingung mau memilih yang mana. Ardi pun memilih untuk beranjak dari tempatnya duduk lalu meninggalkan begitu saja Arhan yang diam-diam membuatnya kecewa. "Heh, kamu mau ke mana?" teriak Arhan ingin bangkit juga, tetapi dering ponselnya yang tergelak di atas meja membuat langkahnya terhenti seketika. Dia pun membiarkan Ardi pergi. Nama Sweety yang terpampang pada layar ponsel membuatnya menghela napas panjang. Sungguh, kerumitan yang timbul setelah hubungan mereka berdua diketahui Shania. Mau tak mau, dia pun mengangkat panggilan. "Kenapa kamu tidak membalas semua pesanku hari ini? Lagi membujuk istrimu biar memaafkan kamu?" Cerocos suara kekesalan segera terdengar begitu Arhan mengangkat panggilan. Dia hanya diam, tidak menjawab apa pun demi bisa menahan kemarahan Atika agar tidak semakin menjadi-jadi. "Kamu juga tidak menemui aku malam ini kenapa? Hah! Bukannya ini yang kita tunggu-tunggu? Istri kamu tahu kalau kamu tidak bahagia hidup sama dia, kamu mau ceraiin dia lalu nikah sama aku." "Atika ...." "Kamu kenapa sih, malah gini? Nggak kayak seperti apa yang kamu ucapin soal kepastian hubungan kita. Kamu bilang mau cerein dia, tapi apa! Kamu malah ngilang gitu aja!" Suara Atika yang terdengar sambil menangis pun membuat Arhan jadi tidak enak hati. Perasaannya malah berkecamuk tidak karuan dan dia merasa bersalah juga karena tiba-tiba enggan untuk menemui Atika meskipun hatinya sangat ingin. "Maaf, Sayang. Bukan begitu." "Kamu jahat, Arhan!" teriak Atika terdengar ketus. "Gimana aku mau cerein dia, kalau dia bahkan tidak marah-marah dan meledak-ledak kayak kamu?" balas Arhan akhirnya terpancing untuk meluapkan apa yang mengganjal di dalam hatinya saat berhadapan dengan Shania. Bagian terberat dalam akal sehatnya. "Apa maksudmu?" Atika kebingungan. "Dia sama sekali tidak marah dan terkesan mengabaikan aku. Bagaimana caraku memulai pertengkaran dan menceraikan dia kalau sikapnya masih sebaik itu padaku? Aku butuh waktu, Tika. Aku mohon biarkan aku menyelesaikan ini dulu, baru aku bisa membicarakan masa depan kita," ungkap Arhan seraya menjatuhkan lagi pantatnya ke atas permukaan sofa. Kepalanya terasa sedikit pening. "Kamu tinggal ngomong kalau kamu cerein dia, mau nikah sama perempuan yang sangat kamu cintai. Aku berani kasih jaminan kalau dia bakal ngelepasin kamu. Percaya sama aku," tegas Atika, tidak mau lagi diberikan janji-janji setelah lebih dari tujuh bulan ini menjalin hubungan terlarang dengan pria masih beristri itu. Dia tidak mau ada alasan lagi. "Kenapa kamu bisa begitu yakin?" Arlan bertanya dengan suara sangat pelan. "Karena aku wanita. Semua wanita tidak mau mempertahankan laki-laki yang telah mendua dan bilang lebih cinta pada perempuan lain," jawab Atika membuat hati Arhan mencelus tidak terkira. "Sayang, kamu denger omonganku, 'kan?" desak Atika ketika respon yang diinginkannya tidak keluar dari bibir Arhan. Pria itu malah terdiam dan komunikasi mereka mendadak hening. "Hm, iya. Aku akan pulang dan bicara sama dia," sahut Arhan dengan suara lembut. "Nah, gitu. Cerein dia dan jangan gantungin status aku. Kamu tidak kasihan aku dicap janda kegatelan gara-gara nungguin kamu sah-in status kita? Hah?" "Iya, aku ini perjalanan pulang. Aku akan bicarakan ini dengan istriku." "Jangan sebut status sialan kalian. Lekas putuskan agar hatiku bisa tenang! Aku tidak mau dicap perempuan tidak baik hanya gara-gara kamu gantungin hubungan kita. Ingat, kamu yang selama ini ngejar-ngejar aku!" Setelah mengucapkan itu, Atika pun segera memutuskan sambungan tanpa pamitan dengan Arhan. Pria itu hanya bisa mengembuskan napas dalam-dalam. Pulang dan bicara dengan penjelasan yang dibuat masuk akal mungkin pilihan paling tepat agar Shania paham kalau hubungan pernikahan mereka harus berakhir. Ya, Arhan hanya bisa melakukan itu agar dia tidak mempermalukan diri sendiri karena telah berselingkuh. Tidak ada yang boleh disalahkan di dalam kerumitan itu kecuali Shania yang tidak dicintainya. Butuh perjalanan dua puluh menit hingga akhirnya Arhan sampai di rumahnya. Memandang dari arah luar lampu-lampu taman yang berjajar rapi dan bersih. Semua yang dulu luput dari pengamatan, kini satu persatu membuka matanya lebar-lebar. Dia sama sekali tidak mengenali sosok Shania. Perasaan itu malah membuatnya semakin serba salah. "Aku sudah siapkan makan malam, Mas. Seperti biasa, kalau lagi tidak mau makan, akan aku masukkan ke dalam kulkas buat aku makan besok pagi." Arhan mendongak kaget tatkala berjalan pelan memasuki rumah ternyata sudah ada Shania yang sedang menuruni tangga. Perempuan itu berjalan seraya menguncir rambutnya sehingga menunjukkan berapa putih dan cantiknya dia sebagai seorang perempuan rumahan. "Aku mandi dulu," sahut Arhan demi bisa menahan kegugupan. "Aku tunggu di meja makan kalau ...." Shania sengaja menggantung kalimatnya sebagai pancingan agar Arhan yang menyelesaikan sisanya. Biasanya dia memang melakukan hal seperti ini untuk mendapatkan perhatian Arhan. "Ok, aku juga ingin bicara serius denganmu," balas Arhan seraya memalingkan wajahnya ke arah tangga, menghindari temu tatap mata dengan Shania yang terlihat selalu tampak tenang dan teduh. Mata hitam berbulu mata lentik dan tebal, sesuatu yang baru disadari Arhan setelah sekian tahun menikah. Shania tidak menjawab, hanya menuruni tangga dan berbelok ke arah ruangan makan tanpa menoleh lagi ke belakang. Arhan pun melanjutkan perjalanan sambil sesekali menoleh ke arah bawah, mencuri pandang dengan apa yang dilakukan Shania di ruangan itu. Tekadnya untuk menyelesaikan apa yang sudah diniatkan lama pun dia kuatkan, tidak ingin kendor lagi. "Arhan, inilah kesempatanmu untuk melepaskan pernikahan yang bagimu tidak membahagiakan. Kamu akan bebas menikmati kebersamaan bersama Atika, wanita yang kamu puja-puja sejak dulu. Setelah dia berstatus janda, kamu bisa menikah lagi dengannya," gumam Arhan mencoba untuk menguatkan mentalnya dan memberikan keyakinan kalau ini semua tidak salah. Pyar! Suara piring pecah dari arah lantai bawah membuat Arhan sangat terkejut. Dia sudah selesai mandi, tinggal menyisir rambutnya. Setelah mendengar kegaduhan itu, dia pun melemparkan barang itu ke arah meja rias lalu berlari secepat mungkin demi bisa menjangkau dan melihat apa yang terjadi di sana. "Jangan katakan Shania ingin bunuh diri." Jantung Arhan pun berdegup tidak beraturan. Dia ingin segera sampai di tempat Shania berada dan memastikan wanita itu tidak sampai merusak rencananya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN