Support Dari Sahabat

1250 Kata
Denting waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Ini hari Sabtu. Anggapannya bahwa staff officer yang harusnya memiliki jadwal libur Weekend ternyata tidak berlaku bagi Arhan. Kini, Shania tahu apa yang sebenarnya dikerjakan sang suami di waktu seperti itu. Membahagiakan perempuan yang sanggup menggairahkan dirinya sebagai laki-laki. Suaminya tidak berangkat kerja, tetapi pergi berlibur bersama perempuan bernama Atika itu. Setiap kali satu ketulusannya dalam mencintai terlintas dalam ingatan, saat itu pula Shania merasakan ribuan anak panah menghujam jantungnya hingga menyisakan rasa sakit luar biasa. Membayangkan bahwa harapannya mendapat balasan kasih sayang setelah sekian tahun, kini Shania menemukan jawaban itu dengan akhir yang mengecewakan. Kenyataan bahwa Atika adalah perempuan yang harusnya dinikahi empat tahun yang lalu. Orang yang telah memiliki hati Arhan seutuhnya sehingga dirinya tidak memiliki tempat lagi di sana. "Nasibmu sangat menyedihkan, Shan," gumam Shania sambil menerawang jauh menatap awan-awan putih di angkasa. Sampai tidak ada sisa tanaman yang harus dirawat, nyatanya dia masih enggan beranjak dari sana. Bunga dan dedaunan yang tumbuh menjadi saksi betapa kesepian dia rasakan selama ini. Tanpa anak yang tidak diinginkan hadir di dalam pernikahan dengan alasan finansial. Kini, apa yang menjadi omong kosong itu terjawab tanpa harus diikuti sebuah kalimat. Arhan tidak ingin ada ikatan sedikit pun dengan dirinya. Mungkin apabila memang Arhan mengikrarkan perpisahan, tidak akan ada alasan untuk bertahan, karena tidak ada anak yang lahir dari pernikahan mereka. Shania pun dibuat tergugu oleh kenyataan menyakitkan itu, Arhan sudah merencanakan perpisahan ini sejak memutuskan untuk menikahinya. "Sebegitu tidak berhargakah aku baginya? Sampai-sampai tidak ingin ada benih yang tertanam di dalam rahimku? Apa karena memang hanya wanita itu saja yang layak mendapatkan hatimu, Mas?" Shania mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya jauh lebih sakit dari sekadar perselingkuhan saja. Namun, pernikahan yang telah diatur akan seperti apa yang membuat Shania terkejut tidak terkira. Perencanaan matang yang tidak pernah disadarinya, karena saking bodohnya berharap dengan berjalannya waktu, dia bisa menumbuhkan cinta dari dalam diri sang suami. "Sudah saatnya menyerah, Shan. Tidak ada harapan lagi untuk cintamu," tukas Shania seraya mengembuskan napas. Setelah mengusap wajah lalu mencucinya dengan aliran air kran untuk menyiram tanaman, dia pun bergerak pergi dari sana menuju kamar. Pergi menyongsong hidup baru mungkin bukan pilihan yang buruk untuk ditempuh. "Aku akan tiba di sana tiga puluh menit lagi, Beb." Shania membalas pesan Shinta sambil memandangi dirinya di depan cermin. Mata sembab dan tubuh bagaikan tidak bernyawa membuatnya sangat kesal. Tidak selayaknya dia memperlakukan raganya sejahat itu, setelah selama empat tahun berkerja bagaikan pembantu. Shania menggeleng keras. "Saatnya mulai mengurusi diri sendiri, Shan. Kamu tidak layak diremehkan seperti ini, hanya karena mencintainya setengah mati," sungut perempuan itu sambil menghentakkan satu kaki. Setelah merapikan pakaian dan tatanan rias wajah demi menyembunyikan jejak tangisan, Shania bersiap untuk berangkat ke Butik milik Shinta, tempat pertemuan mereka kali ini. Taksi sudah menunggunya di depan pagar. Sebelum naik, dia memastikan dulu mengisi tempat-tempat makanan kucing kompleks dengan snack khusus yang dibelinya. Lagi-lagi kebiasaan selama tinggal di rumah itu demi bisa mengusir penat kesepian. "Ke Butik Flaws_Lovers, Pak." Shania memberikan rute tujuannya. "Siap, Mbak." Sopir pun dengan ramah membalas Shania. "Kucing-kucing di sini sangat lucu," ujar Shania tanpa melihat ke arah depan. Dia masih fokus ke arah pinggiran trotoar di mana hewan menggemaskan itu mulai berjalan ke arah di mana dia biasa meletakkan makanan setiap hari. Bibir Shania pun menyembulkan senyuman bahagia. "Tentu mereka sangat berterima kasih pada kamu, Mbak," balas sopir itu berujar. Shania pun tersenyum lebar. Membayangkan akan ada kerinduan pada tempat ini. Bukan untuk suaminya saja, melainkan anabul yang akan menunggu makanan rutin yang dia berikan. "Semoga perempuan yang akan menggantikan aku nanti memiliki rasa sayang pada kalian melebihi aku, kucing-kucing menggemaskan," batin Shania nelangsa. Dia merasa kesal pada diri sendiri, saat tahu harusnya bisa segera mengenyahkan rasa-rasa itu, nyatanya masih saja enggan sirna dan berganti menjadi biasa saja. Begitu taksinya tiba di depan butik, Shinta ternyata sudah menunggu. Perempuan itu langsung menarik tangannya dengan wajah riang. Membawa Shania memasuki ruangan berhawa dingin berisi beberapa manekin terpajang berbalut gaun indah. Sungguh, tidak kuasa Shania menahan diri untuk tidak menyentuh bahan-bahan lembut yang nyaman saat teraba pada permukaan kulitnya. "Sampai jam segini kenapa baru datang!" celoteh Shinta seraya meletakkan dua jus ke atas meja. Dia membiarkan Shania mengekplorasi ruangan tempatnya kerja. Dia yakin Shania akan segera kembali setelah merasakan ketertarikan kuat dunia mode dengan dunianya. "Maaf, aku harus menyiapkan keperluan suami dulu, baru datang ke sini," ujar Shania bergerak mendekat ke arah Shinta berada. Dia pun segera duduk di kursi yang telah disediakan. "Iya, deh. Kalah pokoknya sama yang sudah menjabat sebagai emak-emak," balas Shinta seraya mengerucutkan bibirnya. "Nah, gitu dong ngalah, biar aku senang," goda Shania sambil terkekeh. "Coba kamu lihat ini." Jemari lentik Shinta melambai pada Shania. Shania segera mendekat, menatap serius ke arah sebuah kertas lebar berisi beberapa hasil desain. Sketsa yang sangat menakjubkan baginya. Mungkin orang lain akan menganggap biasa saja apa yang terpampang nyata di hadapannya, tetapi jiwa seninya meronta. Visualisasi yang segera hadir mengisi otaknya sehingga bisa merasakan betapa cantiknya desain itu. Apabila sudah diaplikasikan ke dalam sebuah kain. "Apa kamu tidak merindukan saat-saat tangan dan alam kreasimu bergerak di atas kertas ini? Menciptakan sesuatu yang indah dan sekaligus memuaskan diri kita saat memetik hasilnya?" Shania termenung sejenak, tangannya bergerak meraih goresan pensil yang berada di atas kertas putih. Hatinya bergemuruh, menahan tangis. Sebuah pengorbanan sia-sia dan dia membenci sekali pada bagian yang terdapat harapan tinggi akan hadirnya balasan cinta dari Arhan. Rasanya sangat menyedihkan. "Kenapa kamu malah menangis? Kalau ucapanku tadi sudah keterlaluan, aku minta maaf." Shinta pun dibuat panik tidak terkira. Buru-buru Shinta memeluk tubuh teman yang dulu selalu memberikan semangat kala sedang berada dalam fase buruk keluarga. Kekangan untuk selalu bisa meneruskan usaha tata busana orang tua. Shania, teman yang terlahir dengan bakat sedangkan dia sendiri harus berkerja keras agar bisa memiliki keterampilan yang sama. Sungguh, membayangkan masa itu membuat Shinta sangat sedih saat tahu Shania tidak bersinar di dunia desainer karena alasan bakti pada suami. "Aku terharu karena kamu sangat bersemangat menginginkan aku kembali, saat diriku sendiri saja merasa tidak mungkin," ucap Shania sambil mengusap air matanya yang jatuh ke pipi. "Dan kamulah orang yang dulu selalu ada dan memberikan semangat agar aku bisa menjadi desainer, saat diriku sendiri juga tidak yakin mampu membanggakan orang tua," balas Shinta dengan tatapan tulus. "Apa aku boleh mencoba dari awal di sini?" Sorot mata harapan itu begitu teguh muncul dari dalam diri Shania. Tentu saja, Shinta langsung mengangguk, karena itu bagian dari harapan terbesarnya ketika dirinya berhasil mendirikan Butik dan sukses. Dia juga ingin Shania ada di dalam kesuksesannya. "Terima kasih. Aku tidak menyangka ketika hidupku terasa mencapai jalan buntu, Tuhan mengirimkan kamu sebagai peta menuju luar goa." Shania tersenyum saat mengatakan itu. "Goamu apakah terlalu indah, sampai tidak mengingat aku sama sekali? Hm!" Sambil meraih gemas pundak Shania, Shinta mengajak teman yang berjasa bagi awal-awal kariernya itu untuk duduk di sofa. Menikmati jus seraya bercengkrama bersama. "Ya, goaku begitu indah sampai aku lupa keindahan itu apa," jawab Shania seraya menerawang ke langit-langit ruangan demi menahan tetesan air mata. *** Shania baru pulang dari butik setelah diantar Shinta. Perempuan itu memaksa karena tidak ingin melihat Shania pulang dengan taksi. Hanya berselang beberapa menit setelah dia selesai mandi, mobil Arhan memasuki parkiran. Tidak seperti hari-hari sebelumnya pulang paling awal pukul sembilan malam. Ketika Shania melihat jam dinding, ternyata baru pukul tujuh malam. "Tumben? Apakah ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku tentang wanita yang kamu cintai itu, sampai-sampai pulang lebih awal dari biasanya?" Shania pun dibuat harus menyiapkan mental setiap saat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN