Tamu Spesial

1440 Kata
Arhan segera keluar ruangan untuk menemui tamu yang dimaksud sekuriti kantor. Alangkah kaget saat mengetahui yang datang ternyata Atika. Buru-buru dia mendekat, raut wajah marah pun dia berikan untuk menyambut. Dia sama sekali tidak menyangka, Atika berani mendatanginya di kantor. Sambil menarik kesal lengan Atika agar keluar dari ruangan tamu kantor bagiannya, Arhan mendengus kasar. "Siapa yang menyuruhmu datang sampai ke sini? Cepat pulang!" usir Arhan dengan nada lirih, tetapi gusar. Dia tidak mau sampai terlibat gosip sedangkan statusnya saja belum ada yang tahu kalau sedang dalam proses perceraian. "Salah sendiri dihubungi susah?" Atika membalas tidak kalah sengit. "Ini jam kerja, Tika. Sejak kapan kamu jadi menyebalkan kayak gini, sih?" "Sejak kamu tidak rutin balas pesanku! Sejak kamu tidak datang ke apartemen untuk memenuhi kewajibanku dan aku tidak lagi menerima hakku." "Astaga." Arhan menghela napas dalam-dalam, melepaskan lengan Atika ketika keduanya sudah sampai di depan lobi kantor. "Kamu ini apa-apa! Aku masih sibuk dengan banyak urusan. Harusnya kamu ngerti, Atika." Sungguh, sangat merepotkan. Bahkan Shania saja belum pernah bertindak nekad seperti Atika. Lama-lama Arhan merasa pusing sendiri menghadapi sifat Atika yang manja tidak terkira. "Bodo amat!" "Aku sedang sibuk-sibuknya, Tika. Aku mohon jangan rewel seperti ini." Arhan mulai melembutkan suaranya, berharap Atika akan mengerti dan pulang dengan sukarela. Di kantor banyak karyawan yang melihat ke arahnya. Dia sama sekali tidak ingin ada keributan apalagi sampai menyebarkan rumor kedekatannya dengan wanita lain. Meskipun banyak yang menyangka Atika adalah Shania, isterinya—saking tidak pernah membawa perempuan itu ke dalam lingkungan kerja. "Makanya kalau ditelepon sama dichat itu balas," omel Atika kesal. "Iya, maaf. Sekarang tolong kamu pulang. Kita ketemu nanti sepulang aku kerja." "Duit!" Atika melambaikan tangan ke udara, dengan maksud meminta uang pada Arhan. "Ck, bukannya minggu lalu aku udah transfer tiga puluh juta ya?" Arhan menoleh sengit pada tingkah perempuan yang dia cintai itu. "Habis, buat bayar sewa apartemen. Gimana sih!" "Ck! Itu tabungan aku loh." "Terserah kamu duit apaan. Pokoknya uang makan sama perawatan aku bulan ini belum kamu cukupi." Atika bergeming, menolak saat Arhan menariknya agar keluar dari lobi. Dia bersikukuh untuk tidak pergi sebelum mendapatkan jatah uang bulanan. Tidak ada yang bisa dilakukan Arhan kecuali memberikan apa yang dia mau, karena dia akan tetap berada di sana sampai berhasil. "Pulang. Aku akan transfer." Arhan pun mengalah. "Nah, gitu kan enak. Tenang aja, servis entar malam aku jamin enak," ucap Atika seraya mengedipkan sebelah matanya. Arhan hanya melengos. Bahkan kalimat itu sama sekali tidak mampu membangkitkan dirinya setelah ingat tabungannya bakal berkurang drastis apabila Atika terus-menerus hidup boros seperti itu. "Hah! Untung udah cerai dari Shania. Tidak harus kasih uang bulanan juga buat dia, kalau tidak ... bisa ludes uangku bertahun-tahun ngumpulin," gumam Arhan seraya melangkahkan kakinya lagi ke dalam ruangan kantor miliknya setelah memastikan Atika sudah berjalan mencapai trotoar luar. Saat hendak membuka pintu yang memisahkan antara ruangan lobi dan kantor dalam Arhan dikejutkan dengan kedatangan kepala HRD tempatnya bekerja. Pria itu juga hendak keluar ini oke arah lobi. Arhan dibuat menahan napas saat pria itu terlihat menatap ke arahnya. "Apa semua baik-baik saja?" tanya pria itu begitu melihat wajah Arhan pucat pasi. "Aman, Pak. Saya baru saja ingin kembali ke ruangan." Arhan menjawab seraya bergerak menyerong demi memberikan jalan untuk pria yang menerimanya kerja karena rekomendasi Shania itu. "Oya ...." Kalimat pria bernama Yudha itu pun berhasil membuat Arhan mendongak dengan wajah penuh ketegangan. Padahal jelas Yudha tidak menunjukkan tanda-tanda sedang marah atau apa pun. Setelah mempu menetralisir rasa kaku, Arhan pun mengulas senyum tipis dan sopan kepada pria berusia empat puluhan itu. "Apa kabar dengan Shania? Lama tidak berjumpa dengannya," lanjut Yudha seraya melangkah maju dari pintu, tetapi berhenti saat berada di hadapan Arhan. "Baik, sehat, Pak." Arhan membalas gugup. "Lain kali kita jadwalkan untuk makan malam bersama. Aku sudah anggap dia seperti anak sendiri, jangan sampai putus silaturahmi," ucap pria itu sambil tersenyum. "Iya, pasti akan saya sampaikan pada Shania." "Ok, silakan kembali bekerja," ucap pria itu seraya melangkah meninggalkan Arhan yang terpaku kaku di depan pintu kaca yang terbuka separuh. Arhan duduk di ruangannya dengan tubuh lesu. Dia menduga kalau Yudha sudah tahu kalau dirinya sedang dekat dengan perempuan, karena beberapa karyawan mempertanyakan itu padanya beberapa kali. Sungguh, Atika membuatnya serba salah karena satu sisi dia sangat senang bertemu dengan perempuan itu. Namun, di sisi lain pertemuan di restoran dekat tempatnya bekerja tentu saja membuat adrenalinnya terus terpacu, dia merasa cemas sekaligus tertantang apabila hubungan terlarang mereka terendus oleh teman-temannya. "Tidak, semua orang menduga Atika itu Shania,* batin Arhan meyakinkan. Hanya Yudha satu-satunya orang yang tahu seperti apa wajah sang mantan istri, Shania. Selebihnya, semua mengira perempuan yang sering dibawanya saat acara liburan kantor adalah Shania. "Ck, aku tidak boleh banyak berpikir. Semua akan baik-baik saja dan aman terkendali sampai aku menikah dengan Atika dan memvalidasi hubungan kami memang suami istri," batin Arhan meyakinkan diri. Arhan mulai mengerjakan tugasnya. Beberapa kali memang harus revisi karena orang yang dulu berkontribusi besar pada pengerjaan tugasnya dipindahkan ke cabang departemen store di kota lain, sehingga kini Arhan harus menggunakan otaknya sendiri untuk bekerja. *** Shania makan malam bersama Shinta di sebuah cafe. Mereka sedang bercengkrama ringan sepulang melakukan hunting kain untuk bahan desain mereka yang akan dipamerkan satu minggu lagi. Konsepnya sudah ada, hanya tinggal eksekusi saja. Shania terlihat lebih cair dari hari-hari yang lalu. Shinta yakin, sahabatnya itu mampu melewati ujian pernikahannya dengan baik, meski jelas luka menganga terpampang jelas pada sudut matanya. "Desain kamu bagus, aku suka dan jadi ngebayangin anak-anak muda kekinian make rancangan kamu," ucap Shinta seraya memotong cupcake lalu memakannya menggunakan garpu kecil. "Masa sih? Kain yang aku harapkan belum nemu," balas Shania melakukan hal yang sama dengan Shinta, memakan cupcake yang dipesankan sahabatnya itu untuknya. "Aku bakal kasih kamu alamatnya. Pusat perbelanjaan khusus untuk perlengkapan garmen. Aku jamin, kamu bakal nemu apa pun yang kamu mau." "Oya? Kenapa dari tadi tidak ke sana? Malah muter-muter kayak setrikaan di sini." Mendengar Shania menggerutu, tentu saja Shinta langsung menanggapinya dengan tawa. Memang dia sengaja ingin jalan-jalan saja cari angin hari ini, tidak disangka Shinta begitu serius menggarap event yang diikutinya minggu depan. "Tenang, masih ada banyak waktu," ujar Shinta menenangkan. "Itukan kamu, yang udah pro." "Ciehh, aku udah pro deh," ledek Shinta sambil mengedipkan sebelah mata. Tentu saja Shania pun langsung memanyunkan bibirnya, tanda kesal. "Jangan stres, kamu keren dan butuh menenangkan diri dari badai. Bukan caranya dengan menyiksa batinmu seperti ini. Sesekali kamu butuh relaks untuk mencapai sebuah tujuan." "Aku tidak bisa seperti itu," keluh Shania pelan. Dia segera meneguk minumannya demi bisa menenangkan gejolak kemarahan di dalam dirinya. "Aku yakin, kamu akan dipertemukan dengan laki-laki lain yang sayang sama kamu," ucap Shinta seraya menyandarkan tubuhnya pada bantalan kursi. "Aku sudah berstatus janda dengan usia muda. Ya Tuhan, aku tidak menyangka nikah muda malah membuat hidupku kayak gini." "Hush! Tidak boleh ngomong gitu. Janda asalkan berkualitas, kenapa tidak? Status hanyalah status. Kalau emang mantan suamimu sudah tidak sayang lagi sama kamu, ya cari laki-laki lain lah, kenapa hanya terpaku pada satu pria," cerocos Shinta terdengar sangat bersemangat. "Kamu tidak tahu apa yang dipikirkan orang tentang perempuan berstatus janda sih," omel Shania, merasa sahabatnya itu tidak tahu beratnya mendapatkan penilaian itu di lingkungan masyarakat. "Halah, yang selingkuh siapa, kenapa kamu malah merasa jadi tersangka? Udah deh, tenang aja. Selagi kita berusaha jadi seseorang yang berkualitas dalam hidup, persepsi kayak gitu tidak akan membuat kita jadi buruk." "Masalahnya, aku tidak tahu ... setelah ini hidup aku gimana." Raut wajah Shania pun mulai kembali suram. "Jadi desainer terkenal dan punya banyak uang. Soal laki-laki, urusan belakangan. Aku sih gitu," celoteh Shinta membuat Shania mau tidak mau tersenyum juga. "Apa itu alasan kenapa kamu belum juga menikah? Hm?" "Iya, salah satunya aku selektif masalah pasangan. Tidak mau terburu-buru menikah. Meskipun dikatain tidak laku, is okay. Toh, yang suka ngatain juga hidup rumah tangganya tidak melulu bahagia." "Nyindir aku nih ceritanya!" Mata Shania langsung melotot gemas. "Nah, situ nyadar juga akhirnya," balas Shinta sambil mengibaskan tangannya. Mereka berdua pun sama-sama tertawa. Kedatangan salah seorang pelayan kafe pun mendistraksi percakapan seru mereka berdua. Shinta maupun Shania segera memperbaiki sikap. "Kak, maaf permisi. Ada tamu yang ingin bergabung bersama Anda berdua, apakah bersedia?" tanya pelayan itu seraya memberikan isyarat ke arah meja di seberang. Shinta maupun Shania pun menolehkan kepalanya ke arah laki-laki yang dimaksudkan pelayan tadi. Mereka berdua pun akhirnya saling berpandangan satu sama lain dengan alis berkerut dalam. "Bagaimana? Beliau meminta saya untuk memohon izin. Apabila diizinkan, maka saya akan memanggil beliau untuk bergabung di meja ini," ucap pelayan itu tadi segera diberikan anggukkan kepala Shinta. "Emang siapa sih?" tanya Shania merasa penasaran karena secara reflek Shinta tersenyum simpul saat bertemu pandang dengan pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN