Terjalinnya Sebuah Hubungan

1806 Kata
Yusuf mengerucutkan bibir kala mobilnya bersentuhan dengan jala yang menyampir di pepohonan hingga menjuntai ke jalan. Pemuda beralis agak tebal itu lalu memalingkan wajah pada Maya. Gadis yang telah dijemputnya sebelum siang mendekati puncak. Yusuf begitu senang saat Maya menghubungi dan bersedia menerima ajakannya. Berhari-hari sebelumnya Yusuf telah pesimis karena tidak kunjung ada kabar dari Manikmaya. "Mengapa tadi kita tidak menunggu izin dulu dari ayahmu? Aku merasa sungkan sembarangan membawa pergi putri orang," ujar Yusuf merebut perhatian Maya yang tengah menyimak kidung-kidung era delapan puluhan. Yusuf memutar koleksinya itu beberapa saat lalu. Tindakan yang sepertinya mulai disesali karena membuat Maya asyuk sendiri. "Ayahku sedang menghadiri acara. Waktu kamu tiba ayah baru berangkat. Entah, kapan pulang. Apa kamu serius mau menunggunya sampai malam dan mencarikan pakan ternak?" tanya Maya disusul derai tawa, tanpa beban. Selalu seolah tak terganggu oleh pandangan orang lain terhadap dirinya. Sebelum berangkat tadi misalnya, Maya melihat para tetangga sedang berbelanja pada tukang sayur keliling. Tatapan sejatam keris Empu Gandring mengiringi gerak-geriknya. Tak lain karena Maya tampak akrab dengan seorang pria asing. Namun, mentaati kesepakatan umum di daerah itu hanya akan membuatnya tertinggal. Berbanding terbalik dengan zaman yang kian maju. "Aku ingin tahu, mana yang katamu jalannya terjal," ujar Yusuf seraya mendongakkan kepala. Mereka tengah melewati jalanan berbatu yang celah-celahnya telah terisi tanah. Rumput teki tumbuh liar di sepanjang jalur. Maya hanya menanggapi dengan mengikik. Mimik muka selayaknya seorang ibu menasehati sang putra. Tawa gadis itu pecah setelah melalui tanjakan tajam, di mana sejauh pandang mereka dapati jalan berkelok laksana ular. Tersusun dari bebatuan hampir sebesar batok kelapa. Rekah-rekah, menghitam digarang matahari. Di sebelah kiri merupakan tebing curam dengan tanaman putri malu. Sedang sebelah kanan ada jurang menganga. Jika sampai keluar dari badan jalan. Mereka akan terhempas dan jatuh pada batu-batu sebesar perut kerbau. Maya menawarkan untuk kembali sekiranya Yusuf tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Namun, seperti kebanyakan pemuda dengan harga diri selangit, Yusuf menolak tawarannya dengan bahasa tubuh seperti panglima perang terhadap sang putri. Padahal kekhawatiran tampak jelas dari pancaran matanya. Setelah menahan ketakutan beberapa saat, akhirnya Maya menghela napas panjang begitu tiba di tujuan. Yusuf memarkir kendaraan di bawah Ketapang, dekat gazebo. Satu-satunya tempat berteduh di tengah daratan selebar kira-kira sepuluh depa itu. "Tidak seorang pun tahu alasan pembangunan gazebo di daerah terpencil dengan jalanan yang tidak memadai, meski masih dalam kawasan wisata. Biasanya pemancing dan pemuda-pemudi yang sedang menguji adrenalin saja yang nekat menapakkan kaki di sini," ucap Maya. Ia langsung berlari ke tepi bendungan. Sebutir keringat tergelincir di betis pualam, mengalir menyerupai sungai hingga ke tungkai, Yusuf seolah tersihir. Pemuda itu pun semakin intens memperhatikan gerak-gerik Maya. Perempuan yang mempercantik diri dengan cara berbeda. Tidak meniru-niru artis dari Asia Timur yang wajahnya sama semua. Juga bukan keelokan gemerlap oleh barang-barang bermerk, melainkan menonjolkan seni dengan sederhana. Yusuf menekuk lutut di hadapan Maya yang tengah melepas sandal flat berpola bebungaan. Lalu, mengayunkan pandangan ke telapak kaki gadis itu. "Kau adalah representasi gadis khalayan yang memenuhi mimpi-mimpiku selama ini. Beruntungnya pria yang punya kesempatan menikmati waktu bersamamu, selamanya." Wajah Maya merona ketika Yusuf--tanpa menunggu tanggapan--menyusuri betisnya dengan telunjuk. Kemudian menaruh bibir di betis gadis itu. Maya memejamkan mata barang sejenak. Itu pertama kali seorang pemuda bersikap demikian intim padanya. Ia sadar seharusnya berontak, tapi hatinya berkhianat, tidak sanggup mengabaikan kehangatan bibir itu. Saat kelopak matanya terbuka kembali, tatapan Yusuf telah menanti. Manikmaya bangkit. Berusaha membuat jarak dengan pemuda itu. Sudah lama sekali ia hidup dengan diri sendiri. Tanpa memikirkan kompromi atau pun toleransi. Ia terlalu baik-baik saja dalam kesendirian. Namun, kharisma pemuda itu yang telah menjeratnya pada perjumpaan pertama membuat Manikmaya tak sanggup berpaling sedikit saja. Buktinya ia benar-benar bersedia menghubungi Yusuf dan menerima ajakan pemuda itu. Bukankah itu artinya ia telah memberi izin pada Yusuf? Melanggar aturan rahasianya yang menuntut laki-laki harus berjuang dulu untuk sekedar mengetahui namanya. "Bulan yang bersinar anggun di malam hari bahkan hanya memancarkan cahaya matahari. Mas Yusuf, apa kau tahu? Sebenarnya ia hanya debu yang memepat, penuh kawah dan gersang." Yusuf memejamkan mata. Maya telah memulai! "Ketika aku membeli selimut dan mengatakannya sangat indah, orang menduga aku hanya menyukai motifnya lalu orang itu mulai membuatku goyah dengan komentar-komentar. Ia tidak tahu saja bahwa rasa nyaman menjadi fokus pertama." Maya melangkah, mendekati batu besar di tepian air. Seperti sengaja memberi waktu bagi diri sendiri untuk melontarkan pertanyaan lain pada laki-laki yang tampak tertantang sekali menyamakan pandangan hidup dengannya. "Pernahkah kau mendengar kisah seorang pangeran yang memilih meninggalkan istana dan menjadi rakyat jelata? Bukankah menurutmu itu kebodohan yang hakiki?" Bukan karena Maya berasal dari keluarga yang sangat miskin. Namun, orang tua Yusuf seorang yang memiliki kekuasaan dan pemuda itu sendiri bahkan memiliki pekerjaan yang jadi idaman banyak orang. Sedang Maya hanya seorang gadis penuh mimpi yang tidak sedikit pun memiliki keinginan untuk duduk di belakang meja dan ayahnya hanya seorang petani biasa. "Bukan kebodohan. Itu karena ia sadar bahwa rentang kehidupan manusia ibarat sebuah titik pada garis masa dengan panjang tak terhingga. Substansinya hilang berlalu. Persepsi terhadap dirinya melemah dan lenyap, raganya lapuk, jiwanya berpusat dan sirna, kekayaannya musnah dan ketenarannya tidak menentu. Hidup layaknya pertempuran, ketenaran sesudah mati hanya akan dilupakan. Eksistensi sesuatu selalu berproses dan tercerai berai, berubah menuju kematian." Maya menyunggingkan bibir, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Tampaknya, ada ribuan benang di kepala yang sedang berusaha ia urai. Bermain-main bukan kebiasaannya, apalagi untuk perkara penting dalam hidup seperti ini. Segala peperangan dalam diri harus dituntaskan sebelum ia membuka pintu untuk pemuda itu. Setelah perbedaan status sosial tak jadi soal untuk Yusuf, maka sampailah di poin yang paling penting. "Kenyataannya cinta hanya hormon yang muncul karena adanya reaksi dengan lawan jenis berupa obrolan, sentuhan, atau saling memandang. Pada empat tahun kebersamaan perasaan seperti itu akan pudar karena tubuh sudah kebal terhadap efek apapun yang ditimbulkan oleh hormon tersebut. Yang mampu membuat pasangan bertahan hanya pengendalian diri masing-masing agar tidak terseret ke dalam perubahan. Nah, aku pasti akan berjuang mengendalikan diri, tapi seorang yang lain belum tentu begitu kan?" Yusuf meraih tangan Maya dan membaliknya. Kemudian meletakkan telapak tangannya sendiri di atasnya. Ia genggam dengan erat seolah menyatukan peluh yang membasahi sejak dari. "Maya, kopi memang pahit tapi aku terus meminumnya setiap hari, bukannya kapok dan ganti minuman lain. Kau tahu kenapa? Karena aku telah tergantung, karena candu menguasaiku." Maya tercenung memandang pemuda itu. Jawaban Yusuf tepat menembus pertahanan dirinya. Ia menarik tangannya, tapi Yusuf menahan. "Jangan menawarkan oase yang menjanjikan air menyejukkan di tengah Sahara, jika ternyata fatamorgana." "Sebenarnya aku khawatir menawarkan air yang ternyata menjadi pembasuh kering di musim hujan." Yusuf berucap, terdengar lirih seperti lebih banyak napas daripada suaranya. Manikmaya memandang pemuda di hadapannya dengan pancaran tak biasa, laksana tengah dilanda dahaga. Dengan berani gadis itu menyentuhkan jemari pada bibir Yusuf. Seolah mencicipi sedikit kehangatan dari sana. "Hujan tidak turun di Sahara." Ada getaran aneh pada suara gadis itu. "Jangan menyebut dirimu Sahara yang gersang dan berbahaya. Maya, permata surga lebih tepat untuk menyebutmu. Sebanyak apapun oase yang kamu butuhkan, aku akan memberimu sebanyak itu." Maya mengulas senyum. Jemarinya menekan lembut bibir Yusuf Sahrir. Seperti sebuah isyarat akan sesuatu yang menggebu. Lalu, hanyut dalam lena ketika akhirnya saling merengkuh, saling menyesap, seperti menolak bahwa mereka dua tubuh. Kelengangan sekitar seakan mendukung ulah keduanya. *** Tak terlalu jauh dari sana, ternyata tengah diadakan ritual adat. Terlindung oleh dua tebing di kedua sisi membuatnya luput dari perhatian siapa pun yang singgah ke daratan menyerupai semenanjung itu. Karto, sang tetua yang biasa melantunkan doa-doa dalam kenduri Nyadran, duduk beralas tikar dari anyaman daun pandan bersama dengan sepuluh orang pria. Membentuk pola melingkar dengan ayam ingkung, serundeng, kering tempe dan nasi dalam bakul besar di tengahnya. Doa-doa telah ia bacakan beberapa saat lalu. Pria paro baya berkumis lebat itu juga telah membagi beberapa jenis kudapan tadi pada lembar-lembar daun jati untuk dibawa pulang para undangan. Saat yang lain terlibat perbincangan ringan mengenai maksud si pemilik hajat mengadakan kenduri di tempat yang dikeramatkan, Karto beranjak mencuci tangannya ke tepi bendungan. Membersihkan sisa-sisa rempah yang menempel di buku jari. Ditemani Sutris--kemenakan--yang tadi mengantarnya. Baru saja mencelupkan tangan ke genangan air, tatapan Karto menemukan dua sejoli yang tengah asik masyuk memadu kasih. Rimbun perdu membatasi jarak pandangnya. Karto menggeleng sebentar. Lalu, berkata pada Sutris, "Anak jaman sekarang. Ndak tahu tempat dan waktu. Ndak punya malu. Bagaimana orang tua mendidik mereka sampai berani berduaan di tempat seperti ini." "Ah, mungkin itu suami istri, Paklek," sahut Sutris dengan sesungging senyum sembari mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud Karto. "Bukan. Kalau suami istri bermesraannya malah di rumah. Makanya, aku keras mendidik anak-anak supaya tidak sampai begitu. Bikin malu." Karto berdecak. "Benar, Paklek. Maya kembang desa, memang harus dijaga. Seperti mbakyunya, Titik. Sudah bahagia sekarang menikah dengan tentara," ujar Sutris. Masih mengamati dua sejoli itu. "Itu berkah dari Gusti Pangeran, Tris. Ayo, kita kembali. Biar dua orang itu kena murka penunggu danyang.” Karto bersungut-sungut. Baru saja pria tua itu berbalik, Sutris berteriak, "Itu ... itu Maya, Paklek." "Tidak salah. Itu Manikmaya," tambahnya. Kedua alis Karto hampir bertemu mendengar ucapan Sutris. Ia bergegas menyibak rimbun dedaunan dan memperhatikan dengan seksama. Kedua matanya hendak meloncat ketika telah jelas rupa si perempuan. Gigi Karto gemerutuk. Wajahnya seketika pucat pasi. Dengan langkah panjang ia segera meninggalkan tempat itu. Sutris tergopoh menyusul sang paman. *** "Yati!" Karto berteriak lantang memanggil istrinya begitu tiba di rumah. Dibukanya pintu sekuat tenaga hingga membentur dinding dengan keras. Sang istri tergopoh dari arah dapur. Meraih tangan lelaki itu dan mencium takzim. Sekilas tatapan Yati menangkap Sutris yang mengedipkan mata berulang kali di depan pintu. Memberi tanda bahaya padanya. "Heh, sejak kapan kau bersekongkol dengan putrimu untuk mempermalukanku?" tanya Karto. "Ada apa ini, Pak? Aku tidak paham maksudmu," jawab Yati dengan polos. "Jangan pura-pura g****k!" Karto menuding ke matanya, "Aku melihatnya dengan seorang pria di danyang. Maya itu perawan. Lambang kehormatan keluarga. Dibawa-bawa pria antah berantah kau biarkan begitu saja. Seperti baru kemarin jadi ibu." Yati menghela napas. Tampak sedang memilah kata untuk membuat sang suami mengerti. Dia memang telah mengarungi hidup bersama Karto hampir empat puluh kali lebaran, tapi lidahnya selalu kelu setiap kali menghadapi amarah pria itu. "Mereka tadi sudah minta izin padaku. Dia pemuda sopan dan sepertinya baik-baik, Pak. Maya 'kan sudah waktunya menikah, apa salah?" Akhirnya, Yati membela dan selalu seperti itu. "Salah!" bentak Karto. Kali ini kedua matanya benar-benar memerah. Lalu, "Putriku memang saatnya menikah, tapi bukan dengan pacaran begitu. Aku yang akan memilihkan jodoh untuknya. Kalau sudah begini rusak harga diri yang susah payah kupertahankan. Bocah nakal selalu kau dukung." "Jangan melebih-lebihkan, Pak. Maya gadis terpelajar, dia pasti bisa menjaga diri." Yati melembutkan suaranya. "Aah! Omong kosong! Awas mereka kalau pulang." Karto mengepalkan tangan seraya masuk ke dalam bilik. Mengabaikan Yati yang menganga, dilanda dilema. Lamunan perempuan itu buyar, ketika Sutris pamit pulang. Tak lupa Yati mewanti-wanti agar apa pun yang tadi dilihat pemuda itu tidak sampai diketahui siapa pun. Demi menjaga izah mereka. Seperti biasanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN