Keluarga yang Sempurna

1203 Kata
Karto meneguk air di dalam kendi dengan tergesa hingga membasahi d**a telanjangnya. Jam yang menggantung di dinding dari papan kayu jati telah berdentang tiga kali, tapi Maya belum juga kembali. Karto merasa dihina, merasa dikhianati oleh sang putri tersayang. Tidak pernah bisa dielakkan bahwa selama ini hati Karto lebih condong ke Maya daripada ke putri sulungnya. Paras ayu Maya selalu membuat amarah Karto luruh setiap kali memandang. Maya dan Titik memang sama-sama cantik, hanya saja Titik memiliki tubuh yang bahenol dengan kulit kuning langsat, sedang Maya bertubuh jangkung, berkulit putih, dan bermata sipit. Seolah batu Pirus Lazuli yang langka Karto begitu berlebihan menjaga putri bungsunya sejak kecil. Namun, menginjak remaja Maya berani membangkang sehingga Karto mulai mendidiknya dengan keras. Cukup sekali lelaki berkulit sawo matang itu kalah oleh keteguhan Maya ketika gadis itu memaksa tinggal seorang diri di ibukota selama menempuh pendidikan. Akibatnya, setiap kali mendengar ada gadis dari desa yang rela menggadaikan harga diri atau berani menjarah isi kantong suami perempuan lain demi memenuhi tuntutan gaya hidup mewah, Karto bagai kepiting patah capitnya. Belum lagi cerita tentang sebutir pil yang katanya mampu menahan kantuk berhari-hari, menambah kelam benak Karto. Begitu Maya kembali ke desa tanpa kekurangan sesuatu, pun tidak pernah terlibat perkara hukum, Karto menyembelih seekor lembu jantan yang gemuk sebagai ungkapan syukur. Di depan khalayak Karto mengakui syukuran itu untuk kelulusan Maya agar orang-orang tidak menganggapnya pria yang lemah. Kali ini Karto bertekad tidak mau kalah lagi pada pendirian gadis itu atau harga dirinya akan ternoda. Jerih payahnya menghafal mantra-mantra dan belajar adat agar dituakan dan dihormati di dusun itu akan sia-sia jika sampai Maya sembrono. Karto pun mulai menyalahkan diri sendiri karena terlalu mengasihi gadis itu. Ketika terdengar deru kendaraan di halaman rumah, Karto menyibak tirai di hadapannya. Nanar di matanya meredup mendapati sedan hitam terparkir di sana. Nyaris seperti baru. Mobil itu tampak lebih baik dari milik suami Titik. Karto berdesis pelan, menimbang. Ketika dilihatnya dua orang yang sudah ditunggunya sejak tadi keluar dari mobil, Karto mengenakan kaosnya yang tergeletak di ranjang. Setelah meneguk air sekali lagi untuk menenangkan diri. Karto keluar bilik, menemui dua orang itu. *** Yusuf mengurungkan niat untuk segera pulang ketika melihat pria tua masuk ke ruang tamu dari pintu di samping kursi anyaman rotan. Pemuda itu menunduk dengan seulas senyum, memberi hormat pada pria yang ia duga ayah Maya. Karto langsung mengambil tempat di kursi yang menghadap ke bale dan memberi isyarat pada Yusuf untuk mengambil tempatnya juga. Yati yang tadi menyambut kedatangan Yusuf dan Maya beranjak ke dapur menyiapkan suguhan. Sedangkan Maya duduk di samping Karto berhadapan dengan Yusuf. Pertama, Karto menanyakan asal-usul pemuda itu, kemudian namanya, dan telah berapa lama mengenal Maya. Yusuf menjawab sebagaimana adanya. Ia sadar benar bahwa kebohongan sedikit saja akan menjadi bumerang untuknya di kemudian hari. Saat Yusuf mengatakan bahwa ayahnya merupakan kepala desa di selatan Kabupaten Tulungagung, mata Karto berbinar. Apalagi Yusuf bersikap sangat tenang dan menggunakan Bahasa Krama Inggil dengan lancar. "Nak Yusuf, sebagai orang yang telah merasakan asam garam kehidupan, saya melihat ada gelagat sampean senang dengan putriku. Putriku Maya juga begitu. Jika kalian berdua sudah yakin satu sama lain, jangan lama-lama bertemannya. Biar kita sama-sama tenang, tidak ada yang membicarakan di belakang. Sebagai orang tua saya dan ibu mendoakan yang terbaik. Ojo sampek Maya dan Nak Yusuf ngeder wirang," tutur Karto. Tak tampak sisa-sisa amarah yang tadi membakarnya. Yusuf tersenyum. Diliriknya Maya. Gadis itu menunduk, tersipu-sipu. Sebuah kejutan besar baginya bertemu ayah Maya yang menuntut kepastian. Padahal belum genap sepuluh hari ia mengenal gadis itu bahkan hubungannya dengan Maya baru dimulai beberapa jam yang lalu. Tidak butuh waktu lama bagi pemuda yang telah lama melajang itu untuk memberi jawaban pada Karto. "Kalau begitu, saya akan menyampaikan ini pada ayah secepatnya, Pak. Kalau niat baik tidak segera dilakukan khawatir terbawa angin," ujar Yusuf. Karto tertawa mendengarnya. Kemudian mereka berbincang-bincang tentang ladang, peternakan, dan ritual yang sering Karto pimpin. Yusuf memang sangat kritis pada banyak hal. Di sela-sela obrolan mereka, Karto tak lupa memberi pujian pada Maya. Seolah menegaskan bahwa putrinya adalah calon istri terbaik. Yusuf menyimaknya sembari melahap pisang goreng yang disuguhkan Yati. Begitu azan Maghrib berkumandang, pemuda itu segera meneguk sisa tehnya lalu pamit pulang. *** Sedan hitam memasuki gerbang bagian kiri sebuah rumah megah yang lebih tinggi di antara rumah penduduk sekitar. Sementara gerbang bagian kanan tetap tertutup rapat untuk mencegah masuknya ayam-ayam tetangga yang biasa diumbar di luar rumah. Di depan pintu utama, sepasang pilar besar menjulang, menyangga dua lantai rumah itu. Mahkota-mahkota pilar selalu setia menunggu surya senja yang sinarnya menciptakan kerling-kerling keemasan pada teralis titanium tempat tumbuhan rambat mulai melilitkan sulurnya. Setelah memarkir mobilnya di depan beranda, Yusuf melangkahkan kaki menuju ruang keluarga. Di mana sang ibu biasanya menghabiskan waktu di depan teve bersama adik bungsunya, Rumi. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, sore itu rumah tersebut tampak sepi. "Dari mana saja kok baru pulang, Le?" tanya Imah begitu melihat bayangan putranya melalui layar teve yang ia matikan beberapa saat lalu. Yusuf mencium tangan sang ibu. Ia menyunggingkan senyum paling manis. Melihat binar cerah di mata putranya yang jarang muncul, senyum pun merekah di bibir Imah. Ia memandang Yusuf yang mirip replika suaminya dengan tatapan memuja. "Bapak di mana, Bu?" Mengabaikan pertanyaan ibunya, Yusuf duduk di kursi, tepat di samping perempuan berkacamata itu. "Ke rumah Pak RW bahas masalah sanitasi dengan warga desa. Baru berangkat. Ada apa nyari Bapak?" tanya Imah. Ia melanjutkan menghitung upah buruh ladang tembakau miliknya. Beberapa lembar kertas dan kalkulator berserakan di meja. Yusuf lalu menceritakan pada Imah tentang pertemuannya dengan Maya, pertanyaan Karto, dan niatnya sendiri. Ia berharap sang ibu akan mendukung mengingat ini pertama kali dia membahas masalah perkawinan. Setelah sebelumnya selalu mungkir dan membuat alasan yang mulai tak masuk akal jika ditanya soal yang satu itu. Senyum kembali muncul di bibir Imah. Perempuan yang berada di akhir kepala empat itu berkata lembut, "Alhamdulillah. Akhirnya kamu memutuskan, Le. Semalam pamanmu Parjo ke mari membicarakan perjodohan antara kamu dan Sari, anaknya. Wong menikah kok sama saudara dekat seperti tidak ada orang lain saja. Bapak dan ibu masih bingung bikin alasan. Kalau kamu sudah ada calon begini kan kami jadi punya alasan kuat untuk menolak Parjo. Tahu sendiri kan pamanmu itu bagaimana sifatnya." "Jangan membahas hal tidak mengenakkan di hari bahagia, Ibu. Usul aneh seperti itu mungkin hanya ada di kepala Paman seorang di antara jutaan manusia di dunia ini. Meskipun Sari bukan anak kandung Bibi, dia sudah kuanggap adik sendiri sejak kecil. Seperti Rani dan Rumi." Imah mengelus bahu putranya. "Seandainya bukan saudara dekat, aku mau saja punya menantu Sari. Dia gadis yang patuh dan tidak neko-neko. Aku harap gadis yang kau inginkan itu memiliki watak sabar dan nerimo seperti Sari. Bisa menerimamu yang memiliki tanggung jawab menjaga dua adik perempuan dan mengentaskannya sampai berumah tangga kelak." "Kenapa Ibu berbicara seperti itu? Ayah, Ibu, dan aku akan menjaga mereka bersama.” Tetiba kegusaran melintas di mata Yusuf. "Selagi ibu masih bisa bicara apa salahnya berpesan pada anak sendiri?" Imah tersenyum. Perempuan itu merapikan kertas-kertasnya sebelum beranjak ke dapur, membuatkan minuman hangat untuk putra sulungnya. Yusuf memperhatikan ibunya yang berjalan di selasar hingga masuk ke pintu dapur. Pikirannya hendak menemukan sesuatu, tapi pemuda itu segera menggelengkan kepala. Membuyarkan kesimpulannya. Memilih menganggap pesan sang ibu angin lalu semata. ***

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN