bc

PAMAN PENGHANCUR MASA DEPAN

book_age16+
63
IKUTI
1K
BACA
arrogant
goodgirl
drama
tragedy
sweet
realistic earth
virgin
wife
husband
photographer
like
intro-logo
Uraian

Maya adalah gadis cantik yang belum lama lulus dari perguruan tinggi. Suatu sore ia bertemu Yusuf di sebuah waduk buatan. Benih-benih asmara tumbuh di hati keduanya.

Merasa semakin lekat dari waktu ke waktu, mereka memutuskan untuk menikah. Namun, saat acara lamaran hendak dilangsungkan, orang tua Yusuf meninggal dalam kecelakaan. Kini, tanggung jawab atas masa depan kedua adik perempuannya pindah ke pundak Yusuf. 

Masalah mulai muncul ketika Parjo, sang paman mengambil alih tanah perkebunan peninggalan orang tua Yusuf, sumber mata pencaharian terbesar keluarga mereka. Parjo memberikan syarat yang cukup berat, yaitu menikah dengan Sari, anaknya. Kalau tidak, tanah itu tidak akan dikembalikan. Yusuf yang bekerja sebagai pegawai pemerintah dengan gaji yang belum berlimpah semakin tertekan ketika Rani, adik perempuannya meminta biaya kuliah sebagai pilot segera dilunasi. 

Terpaksa Yusuf menyetujui syarat Parjo demi masa depan adiknya, dan meninggalkan Maya. Maya yang tidak terima berniat menemui Yusuf, namun ia malah bertemu Parjo dan hendak diperkosa.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bunga Mekar Pada Jum'at Sore
Part 1 Jum'at sore yang cerah, di Waduk Wonorejo, Propinsi Jawa Timur, sekawanan kupu-kupu hijau kekuningan melayang di seputaran genangan air yang luas. Riap-riapnya bagai permata terhempas dari surga. Makhluk bersayap itu muncul dari wana nun jauh di sebelah barat, di antara rimbun perdu dan pepohonan. Pada daratan yang menjorok ke tengah bendungan menyerupai semenanjung, berdiri pohon angsana dengan bunga-bunga berwarna kuning memenuhi dahannya, meneduhi rumpon-rumpon mujair di bawah permukaan air kehijauan. Yusuf Sahrir mengenakan seragam keki, duduk di dekat bunga bougenvil beraneka warna. Sesekali pemuda itu memancang pandangan ke tenggara. Ia mengagumi hamparan terubuk putih bak permadani yang digelar di permukaan bukit. Kicauan burung-burung Sirtu yang bersahut-sahutan dengan nyaring dari dahan-dahan pohon membuatnya berdecak. Namun, irama merdu itu kian layap dari ke hari ketika pulut mulai menyebar pada ranting pepohonan. Lalu tak menunggu malam tiba binatang mungil itu telah berada dalam sangkar di pasar kota. Yusuf berdesis, mungkin memikirkan cara mengatasi masalah itu. Ia mengangkat wajah saat mendapati kelebat seorang pria dengan seragam yang sama berlari dari kantor administrasi. Mata Yusuf cerah dengan senyum mengembang menyambut karibnya. "Sorry, ya." Pria itu terengah. Sedikit membungkuk menumpukan telapak tangannya pada lutut. Lalu berkata lagi, "kamu pulang sendiri aja, Suf. Aku sudah pesen Grab. Keluargaku lagi nunggu di rumah makan lesehan yang dekat waterboom itu. Ah, biasa perkara perjodohan. Entah gadis mana lagi." "Ini yang keenam kali, ya? Aduh, Putut. Semoga kamu cocok ,ya ... sama yang ketujuh." Yusuf terbahak. Sedang pemuda di sampingnya hanya menyeringai. Bagi keduanya saling melempar lelucon sudah layaknya sepiring nasi pecel dan teh hangat yang dinikmati saban pagi. Keduanya pun berjalan beriringan mendekat ke lokasi parkir. Yusuf Sahrir sesekali menyentuhkan jarinya pada birai bercat putih, bergaris-garis biru selebar empat jari yang membatasi tepi jalan. "Putut, jika aku di posisimu, aku akan bilang pada keluarga bahwa pernikahan itu seperti terowongan tanpa lampu. Kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya sebelum menapaki. Untuk memulai satu langkah mendekati terowongan tersebut, seseorang butuh kesiapan mental. Butuh keberanian menghadapi segala resiko dari yang awalnya sendiri menjadi berdua kemudian bertiga setelah memiliki anak. Kunci dari keberanian itu adalah kecocokan dan," Yusuf menuding ke dalam dadanya, "cinta. Dua hal itulah bekal pernikahan yang ideal menurutku. Dengan begitu, mungkin mereka akan mengerti dan memberimu kesempatan untuk mengenal wanita sendiri," terang Yusuf. Ada gurat tak biasa di wajahnya. Seolah ingin menelanjangi jiwa pria di hadapannya itu. "Jangan terlalu idealis. Jalani saja hidup ini seperti air mengalir. Malah enak kalau kita dicarikan, tidak perlu repot-repot menyeleksi sendiri. Kalau misalkan tidak cocok, ya tinggal ditolak saja. Apa repotnya?" jawab Putut seraya mengusap hidungnya yang entah tak selancip milik karibnya. Yusuf mengendigkan bahu. Matanya tertuju pada anak-anak rambut Putut yang berpeluh. "Sekali lagi aku sadar kita memang sering tidak sepakat pada beberapa hal. Satu-satunya yang kita sepakati sejak SMP hanya gadis berkulit putih selalu lebih menarik." Yusuf tertawa kecil seperti menahan sesuatu. "Ha ... Ha ... Ha. Kalau itu sih mutlak, Suf. Oh, itu Grabnya sudah datang. Aku duluan, ya. Entar ibu ngomel terus tensinya naik. Lebih baik kiamat daripada ibuku sakit." Putut menepuk bahu Yusuf kemudian berlari kecil mendahuluinya. Yusuf menghela nafas, menelan kembali setiap kata yang ingin ia ungkap. "Semoga doamu barusan terkabul," seru Putut dari dalam mobil. Deru kendaraan yang disewa secara online itu meningkahi suaranya, meninggalkan Yusuf yang menyungging senyuman. "Membuatmu keluar dari kungkungan keluarga memang tak selancar air meluncur di betis gadis kencur, Tut." Akhirnya, Yusuf berkata lirih pada diri sendiri. Pemuda itu pun segera menuju mobilnya yang terletak di sebelah kiri pos satpam. Setumpuk berkas yang belum terselesaikan di kantor tadi membuatnya kehilangan waktu menikmati akhir pekan. Semua itu semata-mata karena tanggung jawab yang telah disandangnya selama lima tahun ini menuntutnya menunjukkan hasil kerja yang sempurna. Pada dua orang petugas keamanan Yusuf melambaikan tangannya. Sebuah isyarat akan meninggalkan tempat itu. Salah seorang petugas keamanan pun membalas lambaian Yusuf dari dalam pos. Salah seorang yang lain manggut-manggut sembari menghisap rokok dengan takzim seolah pembunuh ampuh itu kunci harta karun Majapahit. Kala Yusuf hendak membuka pintu mobil, ia terpaku mendapati seorang gadis bertopi bohemian dengan tepi lebar yang terkulai anggun muncul dari jalan menanjak di hadapannya. Gadis yang menaiki sepeda Gazelle buatan Belanda itu tengah asik sendiri menggerak-gerakkan bibir ranumnya, bersenandung. Hidung lancip dengan pipi merah mawar adalah definisi kecantikan yang sempurna. Kaki pualam tanpa noda yang mengayuh pedal pun mengundang sebuah rasa aneh ke dalam d**a Yusuf Sahrir, menggelegakkan darah muda. Sorot mata Yusuf terus membututi gadis berbaju putih itu. Ia melintasi berkas-berkas cahaya yang jatuh di jalanan. Sinar mentari yang menyusup melalui celah-celah pepohonan di tepi jalan, menjadikannya sebuah obyek yang elok dan ganjil. Tanpa diduga sebelumnya, potret nyata yang mempesona itu tersimpan dalam ingatan Yusuf Sahrir. Terekam abadi dalam alam bawah sadarnya. Yusuf terpaku sampai gadis asing hilang ditelan jalan menikung di kaki gunung. Sebutir peluh yang mengalir di pelipis menyadarkannya dari kolam lamunan. Ia pun segera memacu mobilnya, berlawanan dengan arah gadis tadi. Sesekali ia melirik spion seperti telah meninggalkan sesuatu. Kian lama tatapannya kian meradang. Melewati dua tiang listrik, tepat di depan warung makan Yusuf mengerem kendaraan dengan tergesa dan berputar arah. Ia meneliti sejauh pandang seperti mencari senar di tumpukan benang hitam. Pencariannya tak luput pada ayunan di bawah pohon-pohon Sonokembang juga bangku-bangku di sepanjang jalan yang berkelak-kelok. "Siapa tahu dia istirahat di bawah pohon. Tidak ada jalan pintas, seharusnya gadis itu masih ada di sekitar sini," gumamnya. Beberapa kali jemarinya mengetuk putaran kemudi. Ia nampak resah, gelisah. Hingga akhirnya berbinar-binar ketika menemukan gadis itu tengah meniti jembatan beton selebar kira-kita sepuluh langkah. Yusuf menambah kecepatan, menyalipnya perlahan dengan jantung berdebaran. Sepertinya memang sengaja mendahului gadis yang menggelorakan itu. Di halaman masjid yang seluruh dindingnya berwarna biru, Yusuf menepikan sedan hitam miliknya. Lokasi masjid yang berdekatan dengan loket selalu semarak oleh petugas sehingga cukup aman jika mobilnya diparkir di sana bahkan sampai sehari penuh. Yusuf mengayunkan kakinya ke seberang jalan, melambaikan tangan pada gadis itu yang masih cukup jauh tertinggal di belakangnya. Yang dimaksud tampak ragu, tapi akhirnya paham dan menghentikan sepeda di depan Yusuf. Rambutnya yang bergelombang terjurai-jurai tertiup angin. "Selamat sore, Mbak," sapa Yusuf dengan senyum hangat. Tubuh jangkungnya membuat sang gadis berbulu mata lentik harus sedikit menengadah. "Apakah rumahmu dekat dari sini? Em ... begini, tadi atasanku telpon dan hpku kehabisan baterai. Aku khawatir melewatkan tugas penting. Kalau tidak keberatan bolehkah aku meminjam chargermu?" Yusuf beralibi. Tatapannya menghunjam penuh pada mata bening gadis itu. "Mari, Mas. Rumahku kira-kira satu kilo dari sini," jawabnya santun sembari memberi tanda agar Yusuf mengikuti. Tak tampak sedikitpun kecurigaan di wajahnya. Mungkin karena tidak pernah terdengar tindakan yang bukan-bukan di tempat wisata tersohor itu. "Aku sering mendapat tugas di daerah ini juga mengadakan pertemuan di resort sana, tapi baru kali ini melihatmu, Mbak ... siapa?" selidik Yusuf di tengah irama lirih jari-jari jentera sepeda yang dituntun gadis itu. "Manikmaya. Panggil saja Maya. Itu karena sebelumnya aku di Jakarta dan baru kembali beberapa hari yang lalu. Ini tadi baru ketemu client di Ranu Gumbolo melihat lokasi pemotretan prewed," terang gadis itu. Suaranya yang lembut mendera-dera telinga Yusuf. "Kamu fotografer?" Nampaknya, pemuda yang sunyi seperti tengah malam itu kini melanggar kebiasaannya sendiri. Ia mengusap bibirnya, mungkin merasa pertanyaannya teramat tidak penting. "Kebetulan. Sudah passion dari kecil. Padahal kuliah aku ambil PG PAUD," jawab Maya. Entah memang ingin memperkenalkan diri atau sekedar mengisi waktu dengan basa-basi. "PG PAUD ke fotografi? Dari Bulan ke Mars. Jauh. Sepertinya aku harus pinjam sapu terbangnya Masha and the Bear untuk menguntitmu," gurau Yusuf yang membuat gadis di sampingnya tertawa renyah. Ia pun terbawa suasana hingga mengintiplah gigi gingsul di sebelah kiri. "Itu karena hidup ini sekali. Aku punya mimpi dan harus meraihnya atau hidupku hanya omong kosong. Ada yang bilang bahwa bahagia itu tidak diukur dari banyaknya materi, tapi dari hati kita. Sangat klise dan aku benci karena diam-diam mengakuinya pula. Bidang ini contohnya. Tidak banyak yang kudapat, tapi tetap menekuninya." Maya menerangkan. Terselip keluhan yang seharusnya tidak dilontarkan pada orang asing. Mungkin karena hal itu yang terus ia pikirkan akhir-akhir ini sehingga mengalir bagai air. Yusuf tertawa kecil. Maya tersipu mengamati tingkah pemuda berbibir kemerah-merahan yang agak tebal di bagian bawahnya itu. Ia melihat Yusuf seperti melihat surga saja. "Kamu unik. Aku telah berjumpa banyak orang dari berbagai kalangan, tapi yang menginginkan sesuatu lalu keukeh memperjuangkannya itu bisa dihitung dengan jari. Jujur aku terkesan padamu, Maya." Kini suara Yusuf terdengar rendah dan dalam. Kharisma seolah-olah meliputinya. "Lalu kau sendiri, di mana posisimu, Tuan?" Maya tak dapat menahan diri. Seperti mencari persetujuan, mencari kawan. Berhadapan dengan orang asing selalu disukainya karena setiap orang memiliki keunikan. Entah kepribadian, entah kisah kehidupan. "Tidak pernah ada yang menanyakan itu padaku sebelumnya. Posisi yang terlihat olehmu saat ini, itulah yang memang kuinginkan. Sebelum menjabat kepala desa ayahku adalah guru SMP. Waktu kecil ketika aku melihat beliau mengenakan seragam keki dan berangkat apel pagi-pagi aku bercita-cita ingin memakai seragam seperti itu juga dan ikut apel. Cita-cita itu terwujud. Cuma tidak di diknas, tapi dinas pariwisata. Oh ya, panggil saja aku Yusuf atau Mas juga boleh," terang pemuda itu. Seperti tidak rela didominasi oleh seorang gadis. Semu merah muncul di wajah Maya ketika mendapati Yusuf sesekali mencuri pandang. Lalu guna meluruhkan dinding kecanggungan yang sekejap saja mengungkung mereka, Maya menjawab, "Om aja, deh." Keduanya serempak tertawa. Siapa pun yang melihat akan mengira sudah kenal lama. Mereka berbincang tentang apa saja sesekali diiringi tawa mengikik. Setelah menempuh perjalanan hingga telapak kaki terasa panas, Maya menuding ke arah Rumah Limasan tempo dulu. "Itu rumahku, Mas," ujarnya. Disangga delapan tiang utama kayu jati rumah kuno tersebut nampak kokoh dengan halaman luas menghampar. Tiga palem hias dengan buah-buah kecil kemerahan tumbuh tinggi di dekat salah satu tugu rumah itu. Pohon mangga Golek India di dekat tugu yang lainnya merindangi sebagian besar halamannya. Maya menyandarkan sepedanya di bawah pohon itu sebelum memberi tanda pada Yusuf untuk mengikutinya memasuki bale. "Apakah tidak ada orang lain di rumah ini, Maya? Kok sepi sekali." Yusuf tak dapat menahan rasa ingin tahu. Ia mengitarkan pandangan ke segala penjuru rumah besar itu. "Ibu sedang di rumah mbakyu. Bantu-bantu di toko mainannya soalnya pegawai banyak yang libur. Bapak cari pakan ternak mungkin," jawab Maya sembari membuka jendela berdaun tunggal pada salah satu dari dua sisi dinding yang membatasinya dari luar. Sementara bagian depan bale itu dibiarkan tak berdinding. Serta merta sinar matahari menyeruak, menimpa pokok tiang kayu, menciptakan bayangan membujur yang mengenai bahu Yusuf Sahrir. Maya mempersilahkan Yusuf menunggu di ruang tamu, di belakang bale selagi ia menyiapkan suguhan, tapi pemuda itu menolaknya dan memilih bangku panjang di bawah jendela. Tak jauh dari jendela terdapat pohon kopi yang rimbun. Angin bertiup ringan menjatuhkan bunga-bunga pada dedaunan kunyit yang centang perenang di bawahnya. Semerbak wanginya menerjang memenuhi ruang. Membuat saraf-saraf pemuda itu hilang tegang. "Kalau tidak keberatan, boleh aku tahu apakah kamu sudah bersuami, Maya?" selidik Yusuf ketika gadis itu telah kembali dengan dua gelas teh hangat dan meletakkannya di antara mereka. "Belum. Aku baru menyelesaikan kuliah dan sedang memulai karir. Kebetulan juga ... em belum ada yang cocok," jawab Maya. Sesekali ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Pertanyaan cukup pribadi tapi umum ditanyakan itu membuatnya canggung. Apalagi yang bertanya seorang pemuda kira-kira hampir melalui tiga puluh kali kemarau. "Pasti kamu selektif," terka Yusuf. Sorot matanya terhunjam pada tindik mutiara yang terpasang di telinga Maya lalu pada sebalik telinganya yang pualam. "Ah, entahlah. Menurutku pernikahan seperti sungai. Dilihat dari atas alirannya tenang menyejukkan, melambai-lambai untuk dimasuki. Namun, di dalamnya menyimpan berbagai misteri. Ada kerikil, bahkan bebatuan. Ada beling, kotoran, gombal, bangkai binatang, kadang-kadang juga sabun, ikan yang mati mengapung tanpa jelas sebabnya, ular air, cuyu, kura-kura, ranting kering dan masih banyak lagi lainnya. "Jika kebanyakan orang sebelumnya cukup melihat dari permukaan sungai itu, aku malah melihat wajah-wajah yang sudah pernah memasukinya. Itulah kesalahanku, tidak memfilter diri sendiri. Alhasil, ketika semua orang antusias terjun ke sungai, aku terperangkap dalam kegelisahan. Akhirnya, aku memilih menunggu seseorang yang tepat," terang Maya. Tatapannya menerawang, kosong. Menelisik ke setiap jeluk benaknya sendiri. Yusuf mengangguk mafhum. Pancaran matanya tertuju pada tepi gelas yang dipegangnya. Lalu sunyi, sunyi. Hingga ia berdehem memecah keheningan yang mulai membuat gelisah. "Ada pepatah, 'manusia tidak akan pernah menang melawan kesepian.' Sepi itu sendiri terkadang menjadi pilihan demi menjaga prinsip-prinsip. Mungkin prinsip diri sendiri atau orang lain. Ketika dua orang dengan prinsip yang sama dan kesepian yang sama bertemu, baikkah menurutmu jika mereka memutuskan untuk dekat?" Yusuf menatap gadis itu. Sangat lembut. "Maksudmu?" tanya Maya lirih. Ia menoleh. Keduanya berserobok pandang. Terpercik api asmara seketika. "Kuharap di pertemuan selanjutnya kita sudah tidak lagi memelihara sepi. Bisa berteman mungkin," pinta Yusuf. Netranya menyusuri ceruk leher Maya yang berpeluh. Sesuatu menegang dalam dirinya. "Tak ada orang yang bisa menolak pertemanan," jawab gadis itu dengan senyum mengembang. Mustahil jika ia tak menyadari perubahan Yusuf, tapi bukan menghindar ia justru menantang. Sikap berlawanan dengan gadis-gadis tetangga yang lugu. Pengaruh dari pergaulannya di ibukota. "Kalau begitu, seminggu lagi maukah kau menikmati tenggelamnya matahari di pinggang Ranu Gumbolo dari daratan yang menjorok ke tengah waduk itu?" ajak Yusuf seraya mendekatkan tangannya ke jemari Maya. Gadis itu tak membuat upaya menolaknya. "Yang ada gazebonya?" tanyanya antusias, masih menatap Yusuf. Pemuda itu mengiyakan. "Sepertinya memang indah, tapi jalannya sangat terjal. Jarang orang mau kesana," tukas Maya. Tidak terdengar seperti penolakan, justru matanya menjanjikan sesuatu yang tak biasa. "Bukankah yang tidak ada orangnya lebih menyenangkan, Maya?" Yusuf mempertegas maksud gadis itu dengan caranya sendiri. "Akan kupikirkan." Yusuf mematahkan ranting pohon kopi yang dekat dengan jangkauan. Lalu mulai menggoreskannya di lantai bale, menjadikan getahnya sebagai tinta untuk menulis nomor ponselnya. Maya menahan tawa melihat tingkah pemuda itu. Sembari menikmati teh manis dalam gelas bermotif manggis, mereka kembali terlibat obrolan ringan terkait tehnik-tehnik fotografi yang dipelajari Maya dan pengalaman-pengalaman Yusuf selama menjadi pegawai pemerintah. Melalui pancaran mata, keduanya menautkan asa atau mungkin cinta dan petualangan yang membara. Yusuf kemudian pamit setelah baterai ponselnya terisi penuh. Memang, tadi baterainya masih ada setengah. Sebenarnya masih kuat bertahan sampai malam tiba. "Apakah dia akan menghubungiku? Sungguh gadis yang cantik," gumam Yusuf. Sorot matanya penuh harap bercampur kecemasan. ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
194.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
211.3K
bc

My Secret Little Wife

read
105.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
15.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.1K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook