Tidak mudah memanjat hingga ke puncak lereng setinggi lebih dari lima meter. Terutama setelah satu jam berenang di perairan Atlantik Utara yang sedingin es. Namun Robert Flak sudah senang merasakan sekadar prestasi kecil itu saat dia akhirnya bisa mencapai dataran kecil di atas bukit karang itu. Dia mengagumi pemandangan agak lama sebelum kemudian dengan langkah santai menuruni jalan setapak yang berkerikil. Beberapa saat berikutnya dia meraih handuk pantai yang cukup tebal yang tersampir pada satu-satunya tiang pagar untuk mengeringkan rambut hitamnya yang kusut. Flak terus mengikuti jalan setapak itu hingga pohon tersibak dan rumah yang dibelinya sebelas bulan silam tampak oleh kedua matanya. Rumah yang sudah diperbaiki seluruhnya itu tinggi dan terdiri dari tiga lantai, dengan pintu dan jendela Perancis yang indah, tertata rapi pada dinding yang dilapisi kulit kayu cemara di bagian luarnya. Atap sirap yang mahal adalah tambahan baru, dan sebuah perapian luar ditempatkan di tengah jalan masuk dari batu. Flak melakukan sebagian besar pekerjaan bangunan batu dalam rangka pengerjaan atapnya. Meskipu dia bangga akan kemampuannya dalam hal pertukangan, dia pun tahu setiap keterbatasannya. Sungguh manusia yang cermat.
Saat dia mendekati rumah itu, pintu yang mengarah ke dapur mendadak berayun terbuka dan seorang perempuan muda menghambur keluar dan menyelimutinya dengan pelukan yang hangat.
“Dasar b*****h! Flak, aku telah mencarimu ke mana-mana. Aku punya informasi yang pasti tidak menarik untuk kau dengarkan,” ucap perempuan itu sambil tersenyum manja.
Flak membalas senyuman itu, yang dihangatkan selalu oleh kegembiraan kemudaannya. “Kemudian kau menghindarkan kita berdua dari kesulitan dan menyimpan saja berita itu sendiri, kan?” katanya sambil setengah tertawa.
Perempuan itu setengah berlari di sampingnya saat dia masuk melalui pintu terbuka ke dalam bagian rumah yang hangat.
“Kamu tidak akan percaya,” kata perempuan itu sambil tersengal-sengal. “Aku dengar dengan sangat jelas dekat mengatakan kalau catatan kehadiranmu lebih buruk bahkan dari mahasiswa yang paling sering membolos, begitu aku kira kalimatnya yang tepat, lalu, setelah itu dia mengatakan…”
“Morgan,” dia menyela gairah bicara perempuan itu dengan nada humor yang lembut. “Dialah yang mau aku di situ, sedang aku tak begitu membutuhkan pekerjaan itu, aku tidak akan khawatir mengenai itu.” Morgan terkadang mengajar di Universitas Teiko sebagai dosen tamu dalam mata kuliah Hubungan Internasional, baru belakangan ini sesudah dia semakin berkurang melakukan pekerjaan. Meskipun dia makin merasa jengah dengan kegiatan mengajar, namun dia harus mengakui ada sesuatu yang indah dari kegiatan itu saat dia mencuri pandang pada Morgan Kay dari sudut matanya.
Morgan mencibir seolah mengejeknya, sebab Flak tidak berminat mendengarkan ceritanya, namun gaya drama itu tidak berlangsung lama. “Honey, aku telah berlari sejak jam enam pagi tadi,” kata perempuan itu. “Aku mau mandi.”
“Gimana jika aku temani?” tanya Flak dengan senyum penuh menggoda.
“Ah tahulah aku,” jawabnya, sambil tersenyum paham. “Kau lebih suka mandi denganku daripada harus mendengar ceritaku hari ini.”
Flak mengangkat pundaknya. “Aku mengira kita dapat berkompromi. Aku akan menggosok tubuhmu sedang kau jelaskan ceritamu.”
“Menggosok tubuhku, hem? Begitu ya, istilahnya sekarang?” Flak mau membuka mulutnya berbicara, tapi Morgan sudah lebih dulu membuka kaosnya dan melemparkan itu ke wajah Flak. Kemudian dia berlarian ke lantai atas, pura-pura menjerit ketakutan saat Flak mengejarnya.
***
Beberapa jam kemudian, Robert Flak berdiri di balkon lantai kedua dengan membawa secangkir kopi dan memandang hamparan lau kelabu. Dia memerhatikan kilat sambar menyambar menjulang di sana, beberapa mil di pantai lepas, semakin bertambah sering, dan lekas dirasakannya angir menderu bertiup membawa butir hujan ke darat. Kalau saja dia tegang, itu disebabkan karena dia bisa mendengar gemuruh petir yang lebih keras dari televisi yang menyiarkan MSNBC di ruang tidur utama. Setiap jaringan berita utama terus menerus menayangkan serangan minggu sebelumnya di Washington, di mana tidak kalah hebat dari bencana mana pun, bencana alam maupun bencana alam yang lain. Saat menghirup kopinya yang hangat, dia mendengar pintu dibuka dan Morgan mendekatinya dari belakang, dengan penuh kelembutan memeluk pinggangnya dengan lengannya yang mulus dan meletakkan dagu di atas pundaknya.
“Kamu sedang menunggu telepon?”
Alis Flak terangkat. Mereka telah bersama selama enam bulan dan selama itu cuma sekali saja membicarakan pekerjaan yang Flak lakukan. Itupun sekadar pembicaraan yang ringkas, sehingga masalah itu tidak pernah lagi mereka bicarakan. Sekali lagi dia mengagumi betapa cepat tanggapan perempuan itu.
Dia berpaling memandang wajah Morgan dan secara alamiah dia meraba pipi Morgan yang lembut di balik tirai rambutnya yang cokelat keemasan. Saat mata Morgan yang biru dan terlihat terganggu menatapnya, Flak merasa tidak mampu jika tidak menjawab dengan sejujurnya.
“Aku mengira ya, begitu. Anggap saja telepon itu sudah terjadi. Masalahnya saat ini apakah aku musti pergi atau tidak…” Dia berpaling memandang badai yang sedang melanda ketika itu. “Entahlah, aku tidak tahu.”
Morgan mengulum bibir Flak dengan lembut.
“Ya, kamu akan pergi…”
***
Ketika sore hari, Morgan pergi ke Orono mengikuti kelas malam fisika. Dari pintu depan dia memperhatikan perempuan itu melemparkan bukunya dengan buru-buru di kursi belakang dan segera melaju dengan cepat bersama Corollanya sembari melambaikan tangan salamnya sepanjang jalan. Meskipun Morgan tidak tahu, ramalannya menjadi kenyataan saat bunyi dering telepon sebelum jam delapan malam. Flak ragu dan membiarkan jemarinya di atas pesawat telepon itu beberapa saat sebelum dia mengangkatnya.
***
Hari masih gelap pada keesokan harinya saat Flak melaju ke utara di jalan I-94 dengan BMW-nya biru gelap. Dia sudah menulis surat kecil yang berisi permintaan maafnya dan meninggalkannya di meja dapur. Dia menduga Morgan akan tetap marah saat sepulangnya dari Orono. Meskipun tentang itu untuk mengganggunya, tapi hatinya segera berganti diselimuti rasa senang sebab manuver mobilnya dan keindahan pemandangan alam pedesaan di sekelilingnya.
Saat sinar matahari jatuh menerpa hutan yang dilaluinya, dedaunan pohon yang merah merona jatuh berguguran mencium atap mobilnya untuk kemudian memeluk jalanan. Perjalanan itu berlangsung lebih cepat dari yang dia kira, dan tidak lama berselang dia masuk ke tempat parkir harian di Bandara Internasional Bangor. Mobil sedannya yang keren itu dengan mudah berganti gigi kecepatan menuju ke dalam garasi. Dia mendapatkan tiket elektronik dari penjaga konter United Airlines yang cantik berambut pirang, yang tersenyum cerah padanya meskipun hari masih sangat pagi karena saat itu baru saja jam 07.33. Ketika menginjak jam sembilan, dia telah berada dalam penerbangan menujur Washington D.C.
***
Kira-kira bersamaan dengan waktunya saat dia mendarat di Bandara Dulles Internasional, Morgan Kay tengah meluncur tergesa-gesa di sepanjang jalanan sempit yang di pinggirnya berjajar pepohonan pinus ke rumah Mey Angela. Suasana hatinya tengah panas sesudah sepagian dia berdebat dengan dosen yang ditunjuk sebagai pembimbing untuk penulisan disertasinya. Sebagai kandidat doktor tahun kedua dalam matematika terapan dia telah sekolah sekian lama dan ingin meninggalkannya untuk memulai suatu karier. Gagasan itu semakin lama terasa semakin menarik. Debat itu telah memburuk menjadi suatu kontes suara keras. Tentu saja dia sudah menutup beberapa kesempatan untuk berbaikan di sana, dan sisa kemarahannya itu mau ditumpahkannya kepada Flak sore hari itu.
Saat membuka pintu depan, Kay mengumumkan kedatangannya dengan suatu seruan, tapi tidak ada jawaban. Suara hak sepatunya yang berderak-derak di atas lantai papan yang dipelitur bergema di seluruh rumah, saat dia melintasi kamar kosong. Sampai di dapur, dia masih bingung mencari ke sana-sini dan setelah itu dia memperoleh selembar surat di atas meja.
***
Nada surat itu minta maaf, tapi justru semakin membuat Kay jengkel setiap kali membacanya. Bagaimana dia pergi gitu aja tanpa pamitan kepadanya? Sesudah enam bulan membuka diri kepada laki-laki itu, dia banyak berbagi, tapi sebaliknya, Flak tidak banyak mengungkapkan masa silamya, selain dia pernah bekerja sejenak untuk Central Intelligence Agency (CIA). Dibutuhkan begitu banyak kecerdasan dan kehangatan untuk memancing lebih banyak keterangan lagi dari laki-laki itu.
Dia mengambil sebuah foto yang diberi pigura, foto mereka berdua yang tengah berdiri di dermaga Kittery Point. Flak merangkul pinggangnya. Kay mengagumi tampang Irlandianya yang mempesona, agak gelap, dan fisiknya yang ramping pun wajahnya yang murah senyum. Saat teringat pada dirinya lagi, dia membanting foto itu di atas lemari bufet pendek dari kayu yang antik, menyebabkan goresan pada permukaannya yang berlak. Air matanya berlinang dan dihapusnya dengan gusar saat dia menghambur keluar dari rumah tersebut. Dia mendadak merasa sangat kekanakan, dan jika Flak melihatnya seperti itu, laki-laki itu mungkin akan sangat kecewa. Dia merasa malu, namun sesudah itu berubah lagi menjadi marah saat dia berkendara lebih cepat lagi dibanding sewaktu datang tadi.