Meskipun ibu kota negara itu memiliki bangak fasilitas kedokteran yang sangat hebat termasuk Rumah Sakit Universitas di Seattle, satu-satunya satuan pelayanan korban kebakaran di wilayah metropolitan yang berada di Rumah Sakit Pusat Washington yang terletak di Irving Street. Dalam tempo empat puluh lima menit sesudah serangan roket itu semuanya hanya tiga orang korban yang dikirimkan langsung maupun tidak langsung ke pusat pelayanan ini, termasuk Naomi Ambirata, satu-satunya agen Dinas Rahasia yang masih hidup dari kehancuran awal itu.
Naya Lawrence dengan enggan menapaki anak tangga batu yang sudah usang, yang kerap menjadi kontradiksi terhadap bangunan modern di hadapanya. Dia sudah menghabiskan waktu sepagian di Rumah Sakit Umum Washington, bicara dengan mereka yang berada di tempat kejadian itu tapi mereka ternyata tidak melihat atau tidak mendengar apa pun yang bisa berguna baginya atau yang lebih penting lagi, bagi atasan langsungnya. Awan telah tampak berarak lebih pagian hari itu dan saat ini langit di atas merupakan hamparan sutera putih. Matahari pucat yang terasa hangat di punggungnya sedikit menambah semangatnya saat dia melalui pintu masuk utama sesudah diperiksa dengan ketat oleh pengawal keamanan.
Gairahnya semakin bertambah karena apa yang dialaminya di sini, namun tidak begitu banyak. Dia tidak terbebani oleh pemandangan atau pemahaman akan setiap luka mengerikan yang diderita oleh kebanyakan saksi; tapi dia lebih terdorong oleh kekecewaan dirinya karena tidak ada kemajuan yang didapatkannya dalam mengumpulkan keterangan.
Dia naik ke tingkat lima dengan lift. Naya menyatakan kalau dia hendak mengunjungi Naomi Ambirata. Setelah menggertak atau berbohong saat menjawab serangkaian pertanyaan dan mengisi beberapa formulir yang diharuskan setepatnya, akhirnya dia diantar ke ruangan Naomi oleh seorang dokter jaga yang masih muda dan letih.
“Lukanya parah sekali,” kata laki-laki itu dengan berbisik, meskipun tidak ada orang di dekatnya yang akan ikut mendengarkan dia. “Dia mengalami beberapa keterakan pada tulang kepalanya saat jatuh di trotoar, tapi dia hanya sedikit gegar saja. Itu yang paling ringan. Tapi dia menderita luka bakar tingkat tiga hingga lebih dari tiga puluh persen tubuhnya. Luka bakar itu merasuk hingga di bawah kulitnya. Kebanyakan luka bakarnya pada bagian d**a, lengan, dan paha. Memang awalnya tidak begitu kesakitan.., karena simpul syarafnya sudah dibius. Tapi dia mulai dapat merasa pada hari Senin. Kami menyuntikkan m****n hingga dua hari.”
“Apakah dia akan tetap hidup?”
Dokter jaga itu menggelengkan kepalanya perlahan dan membuang wajahnya. “Zat kimi yang berada di dalam roket itu menghasilkan efek hampir identik dengan efek fosfor putih,” katanya. Naya cukup akrab dengan statistik yang berhubungan dengan zat kimia itu, tapi dia tidak ingin berbagi informasi dalam hal ini. “Dia menunjukkan gejala awal osteomyelitis terutama dengan serapan zat kimia yang sangat beracun. Zat triethylaluminum yang dilepaskan di jalanan itu beroksidasi saat kena udara, dan setiap partikelnya tetap membakar meskipun sudah masuk ke dalam jaringan epikel yang terdiri dari lapisan sel pada bagian atas kulit dan selaput lendirnya. Dapat anda bayangkan betapa sukatnya luka seperti itu. Zat kimia itu pun menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada empedu dan ginjalnya, dan terus terang, dia saat ini sangat bergantung pada datar donornya agar mendapatkan keadaan yang berbeda.”
Naya berpikir, jika dia sungguh-sungguh kerabat Naomi, seperti pengakuan yang ditulisnya dalam setiap formulir itu, keterangan dokter jaga yang terus terang itu pasti akan membuatnya histeris. Apa yang dia cemaskan terbukti saat dia memperlihatkan lencananya kepada agen Dinas Rahasia yang duduk menjaga di depan pintu kamar Naomi. Dokter jaga itu tidak terlihat terkejut. Bagaimana dia dapat mengetahui aku ini siapa? Dia bertanya dalam hati. Dia sungguh mengharapkan berita kunjungannya tidak bocor hingga ke telinga media, tapi dia tahu dalam satu jam saja hal itu akan menjadi rahasia umum. Wawancaranya dengan Naomi akan sangat penting hari ini, sehingga dia tidak boleh terburu-buru menyelesaikan hanya karena menghindari wartawan. Sebelum memasuki ruangan itu, dokter jaga menariknya dengan halus.
“Dengar,” serunya. “Aku tidak tahu kalau kau berpengalaman dalam hal ini atau tidak, tapi apa yang akan kau lakukan saat kau masuk sangat penting artinya. Dia akan melihat wajahmu untuk mengukur seperti apa penampilan dirinya, keadaannya sendiri. Dia sudah mengetahui prognosis dirinya, tapi dia tidak perlu diingatkan mengenai hal itu oleh setiap orang yang masuk menemuinya.”
Naya mengangguk tegang dan buru-buru melepaskan diri dari dokter jaga itu.
Saat agen Dinas Rahasia itu mengikuti dia menyelinap masuk ke dalam ruangan untuk mengawasi jalannya wawancara. Naya tidak dapat menyembunyikan rasa ngeri di wajahnya. Perempuan yang berbaring di tempat tidur itu sulit dikenali lagi sebagai manusia. Tubuh dan wajahnya yang terkena luka bakar begitu dalam sehingga tampak kering dan merah gelap. Bau bawang sangat sarat di situ. Naya tahu itulah karena nekrosis, jaringan-jaringan yang mati jau di bawah lapisan kulit. Meskipun bagian yang paling berat lukanya pada tubuh perempuan itu sudah ditutupi dengan pembalut putih dan steril dan mengandung garam, dengan mudah Naya tahu itulah bagian yang terburuk dari semua lukanya.
“Agen Naomi? Namaku Naya Lawrence. Aku dari CIA, dan aku perlu bicara dengan anda mengenai pembunuhan Senator Chow.”
“Aku telah menyampaikan kepada para atasanku laporan selengkapnya, juga kepada FBI. Departemen Kepolisian Capitol Hill pun sudah mendapatkannya. Bukankah kalian seharusnya berbagi informasi dengan mereka?” tanya Naomi dengan enggan.
Meskipun kerusakan pada rahang perempuan itu sudah mempengaruhi suara bicaranya, tapi Naya masih bisa mengenali nada dasar dan irama suara Naomi Ambirata. Pikirnya beberapa hari silam tentu sangat menyenangkan mendengarkan perempuan itu bicara. “Maafkan aku, Agen Naomi, tapi jelas anda tahu mengenai prosedurnya. Kami membutuhkan laporan langsung, dan aku memiliki beberapa foto yang harus anda lihat.” Naya berharap kalau dengan terus menerus menyebut perempuan itu sebagai “agen”, dia bisa melaksanakan sedikit sopan santun profesional. Tapi bagi Naomi hal tersebut justru terdengar sebagai kesombongan.
“Tolong,” Naomi berupaya untuk terakhir kalinya, “kalau bisa kita tunda dulu pembicaraan ini, aku hanya merasa…”
“Anda tahu, aku benar-benar tidak punya waktu nanti, maka kalau anda tidak keberatan…”
“Waktu?” Naomi menyela. Suatu pandangan tidak percaya terpancar dari sosoknya yang kehilangan bentuk itu. Laki-laki yang bersandar di pintu itu menegakkan dirinya begitu mendengar nada suara Naomi. “Kamu bicara padaku tentang waktu?” Naomi berteriak sekarang. Suara bicaranya yang parau tadi hilang. Kalimatya terdengar bening menggema pada dinding yang putih bersih. “Kau punya semua waktu di dunia! Sementara aku tidak akan pernah meninggalkan kamar ini dalam keadaan hidup, dan anakku akan kehilangan ibunya. Dia tidak punya siapa pun lagi!” Naomi Ambirata sepenuhnya membaringkan diri lagi di tempat tidurnya, kemarahannya senyap secepat datangnya tadi. Kata-katanya sendiri membawa kembali semua kesadarannya. Dan kenyataan situasinya mendadak begitu jelas, menyengatnya lebih dalam daripada rasa sakit fisik mana pun. Air matanya mengucur deras pada wajahnya yang rusak.
Dalam tiga langkah cepat agen bertumbuh besar di pojok ruangan itu hingga di sisi Naya. Dia meraih lengan perempuan itu dengan kasar dan menariknya keluar kamar. Saat laki-laki itu menggelandangnya ke arah pintu keluar diiringi sedu sedan Naomi Ambirata, Naya protes dengan marahnya yang meledak. Tapi agen itu tidak mau melepaskan tangan Naya hingga dia melihat perempuan itu pergi meninggalkan bangunan itu.
Di luar rumah sakit, salju tipis mulai jatuh, permulaan musim dingin di bulan Oktober. Untuk waktu yang lama, Naya Lawrence berdiri diam, sampai akhirnya dia melangkah pergi menuju mobilnya dengan marah. Di belakangnya, pintu-pintu didorong terbuka dan suatu suara memanggilnya. Dia berpaling dan melihat wajah dokter jaga dari lantai lima.
“Aku pikir kau harus tahu.” Naya menunggu dengan tidak sabar hingga dokter itu melanjutkan. “Hidupnya tidak sampai satu minggu lagi. Suaminya telah meninggal tiga tahun silam, dan dia tidak ingin melihat anaknya lagi karena dia tidak ingin gambaran dirinya saat ini mempengaruhi kenangan terakhir putrinya.”
Dokter pun memperhatikan wajah Naya cukup lama, sampai dia menyadari setiap katanya tidak berarti bagi perempuan itu. Lalu dia berpaling dan mundur dari cuaca dingin, kembali ke tempatnya untuk membereskan situasi buruk tersebut.