Flak berdiri di hadapan seperangkat peralatan audio dan monitor di suatu ruangan gelap rai Direktorat Sains dan Teknologi. Dia mengalungkan tanda pengenal tamu dengan nomornya di leher. Permukaan tanda pengenalnya yang dilaminasi juga memasang foto dirinya yang diambil tiga tahun silam. Tempat yang dikerumuni orang itu penuh dengan para analis muda hebat yang sibuk memperhatikan data, memantau setiap baris angka dan terkadang bicara perlahan satu sama lain sambil membawa gelas sterofom berisi kopi dingin. Robert Flak berdiri di samping kepala analis, William Prawanta. Dia tenggelam dalam nuansa tanpa nama yang terasa meliputi ruangan.
“Oke, salinan rekaman ini didapatkan pada bulan Juli 2003, melalui satelit. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana mereka memperolehnya. Awalnya isinya disiarkan oleh saluran TV An-Nasr. Dan seperti biasam pada mulanya rekaman ini tidak banyak memperoleh perhatian. Pernyataan suatu fatwa pengumuman keputusan yang menyangkut ajaran agama diterbitkan dalam bentuk resolusi standar yang layak dan memuasakan. Namun, ingat, kita hanya akan melihat latar belakangnya saja… Rekaman ini bukan hasil pengamatan intel, jadi kita tidak melaukan kompresi apa pun. Kita hanya akan mendapatkan apa yang kita cari dengan melakukan penyesuaian kursor sorotan di sini, paham?”
Saat analis itu mengatur data pada komputer, sudut layar monitor kedua menjadi gelap, kemudian menunjukkan sekelompok kecil orang. Ada yang tengah membaca sesuatu, yang dipikirkan Flak sebagai suatu pedoman lapangan untuk militer yang ditulis tangan, sementara orang lain menguraikan komponen senjata dan membersihkannya.
“Dapat?” tanya William. “Oke. Rekaman ini diambil siang hari, begitulah sekurang-kurangnya menurut catatan tanggal dan waktu pada kameranya. Teknisi kami dengan tegas menyatakan kalau rekaman ini asli, tidak diubah, maka kita golongkan sebagai fakta. Ah, kamu lihat, gambarnya awalnya ialah susunan tempat orang itu berdiri dulu, lalu kita…”
Flak mendengarkan analis itu sembari mencondongkan tubuhnya ke depan lebih mendekati monitor. Kelompok orang itu duduk di atas pasir, di bawah pasir suatu tenda kanvas yang telah kosong, dipasang pada temali yang terkait pada tiang kayu penyangga. Sebagian besar tampaknya orang-orang keturunan Arab yang menggunakan pakaian berwarna gelap dan longgar, atau jubah panjang yang penuh debu dan kotoran. Mereka semua menggunakan penutup kepala tradisional, termasuk seseorang yang setengah berpaling dari kamera. Sinar matahari menerangi rambut pirang yang tampak di bawah penutup kepalanya itu. Sudut pengambilan gambarnya tidak bisa menampakkan wajah orang itu seluruhnya, tapi garis tulang rahanya yang lurus dan bersih kelihatan jelas di balik cambang yang lebat.
Robert Flak memperhatikan gambar itu sedikit lama.
Dia berpaling dan mendapatkan William tengah memperhatikan dirinya dengan senyum puas tersungging di wajahnya. “Maggie bilang kau akan dapat segera megenalinya/” Dia menujuk dengan jarinya tempat pada ‘layar monitor di mana gambar orang itu berada.” Aku mengira bukanlah suatu yang kebetulan kalau orang itu memalingkan wajahnya dari kamera. Dia tampak jauh lebih disiplin daripada orang lain, mungkin sebab dia sadar kalau ada seseorang yang entah di mana membuat keras profilnya. Dia memang seorang pemain, tapi dia tidak selalu waspada. Akan aku perlihatkan apa yang aku maksud.”
Analis itu membiarkan saja gambar tetap tayang pada layar monitor dari dia mulai mencari segmen yang berbeda dari rekaman itu dan menayangkan hasilnya pada salah satu monitor lain yang banyak terdapat di situ. “Ini juga salinan dan rekaman yang diperoleh di Celah Kaiber empat bulan silam. Rekaman aslinya rusak karena terbakar. Mungkin sekali karena suatu usaha untuk menghancurkannya. Kebanyakan dokumen memang berhasil dihancurkan, tapi dalam jangka dua menit sesudah komputer dihidupkan kembali, file yang hilang bisa didapatkan lagi.”
“Apa yang bisa kita peroleh sepertinya merupakan pertemuan para pemimpin cabang operasi Al-Suluk dengan para anggota majelis al abdi. Semacam dewan penentu strategi kebijakan. Meskipun waktu dan tanggalnya tidak diperlihatkan di sini, namun kami yakin rekaman ini dibuat setelah pertistiwa 11 September.” Di sini intel kita menjelaskan kalau orang ini, Abdul Musab Al-Arrazi, tengah sibuk merekrut anggota Gerakan Ansar di sebelah utara Irak hingga awal 2002. Sebetulnya, ada gambar yang lebih baru yang berasal dari bulan Mei tahun itu, saat seorang kapter; tentara Pakisan mengira mengenal dia saat berada di Peshawar di perbatasan Afghanistan dan Pakistan…”
Flak seolah berada seorang diri dalam ruangan itu, karena perhatiannya sepenuhnya tertuju pada layar monitor. Saat itu tampak orang yang tengah berbicara dengan al-Arrazi memandang sejenak langsung ke arah kamera, wajahnya tidak punya ekspresi, tapi matanya yang hijau dan bersinar tajam kelihatan memandang langsung dari balik kaca, seolah mengenali seorang teman lama di seberang ruangan yang penuh orang.
“b*****h, sialan!” Flak berbisi dan mendesah. Dia berpaling pada William yang dengan segera menghentikan komentarnya yang datar. “Aku sudah cukup melihatnya. Bawa aku pada Maggie.”
***
Saat duduk di ruang kantor deputi direktur operasi di lantai tujuh, Flak bisa melihat pemandangan Sungai Wisconsin jauh di sana, di balik puncak pepohohan yang ditaburi salju tipis. Pemandangan air mengingatkan dia pada rumah tuanya di Cape Elizabeth, dan mendadak dia merasa sangat ingin menelepon Kay. Maukah gadis itu mengangkat teleponnya. Kay sudah pasti kesal hati berkepanjangan, seperti yang biasa dialaminya dalam beberapa kesempatan lain yang membuatnya begitu sedih. “Flak, bisa aku simpulkan kalau kau merasa cukup yakin untuk tergerak dalam hal ini?” tanya Maggie.
Flak tersadar kembali dari lamunannya, dan mengembalikan perhatiannya sepenuhnya pada teman bicaranya.
“Rekaman itu jelas menujukkan foto Tom, Maggie. Aku yakin. Kalau kita bisa memastikan dia ada di sini saat serangan itu terjadi, yah itu masalah lain. Akan sangat membantu jika ada beberapa saksi yang mau bicara. Kalau cerita mereka dapat digabungkan, mungkin kita akan bisa memperoleh suatu landasan untuk membangun teorinya.”
Maggie mengangguk sepakat dan berpaling kepada satu orang lain yang berada di ruangan itu. Seorang perempuan muda bertubuh kecil duduk di seberang meja kopi. “Apa yang kau dapatkan dari wawancaramu, Naya?”
“Tidak ada yang baru dari penduduk sipil, namun Dinas Rahasia sudah menghubungi orang-orang mereka yang ada di sana. Mereka pun sudah memberikan melalui surel kepada saya berkas laporan Naomi Ambirata. Dia cuma melihat sekilas, tapi uraiannya cukup mampu membenarkan gambaran yang diberikan orang lain. Laki-laki Kaukasia, akhir dua puluhan- awal tiga puluhan, tinggi sedang, potongan ramping. Yang lebih penting lagi, Naomi Ambirata ialah satu-satunya saksi yang cukup yakin bisa mengenali orang itu dan foto-foto. Iran tidak mempunyai kedutaan di Washington, jelas saja, tapi mereka memiliki kelompok kepentingan khusus yang ditampung di Kedutaan Pakistan. Orang-orang kita sudah mengawasi bangunan itu lima menit sesudah terjadinya serangan, tapi tidak ada perubahan yang berarti, baik tentang kendaraan yang masuk maupun yang keluar dari sana.”
“Itu kabar buruknya. Akan sangat sulit mengaitkan kejadian ini dengan rezim pembunuhan di Teheran. Tapi ada kemungkinan lain yang sepertinya bisa benar, kalau pemerintahan baru ini sudah menjalin hubungan mesra dengan Al- Arrazi. Kalau kita bisa menggali hal ini dan menemukan sesuatu, kita pasti bisa menyerahkan sebutir peluru perak ke tangan PBB.”
Maggie tercenung memandang ke arah luar jendela saat Naya bicara. Lalu dia memutar kursinya kembali berhadapan dengan Naya. Dia mengangguk pendek dan tersenyum santun, “Terima kasih, Naya. Jika anda bersedia, beri kami waktu sebentar untuk bicara berdua.”
Nya tidak bergerak untuk beberapa saat, namun setelah itu dia berdiri tanpa memandang ke arah Flak. “Tentu, Sir.”
“Aku mengira kau ingin agar dia tidak mendengar apa yang akan kita bicarakan.” Flak bertanya setelah perempuan itu meninggalkan ruangan dan menutup pintu kayu di belakangnya, mungkin suara benturannya agak lebih keras dari yang diperlukan. Pada sisi dinding luar sana, sinar lampu merah menyala di dekat kerangka pintu, menunjukkan kalau mereka sedang sama sekali tidak ingin diganggu.
Maggie mengangguk lemah. “Naya Lawrence. Aku diberi tahu kalau dia ialah seorang bintang yang tengah naik daun di lingkungan CTC,” katanya. CTC yang dimaksud ini adalah bagian dari CIA, yang menangani kontra-terorisme. “Dia memiliki gelar master di bidang komputer dari GWU.” Aslinya dari London, tapi dia menguasai beberapa bahasa, termasuk Arab dan Parsi. Itu sebabnya dia diikutkan. Apabila dia tidak ada, aku mungkin menggunakan orang lain yang kurang berpengalaman.”
Flak tidak heran ketika tahu kalau Lawrence ialah orang Inggris. Aksennya memang gampang ditebak, tapi tidak ada faktor lain yang perlu dicemaskan. Meskipun CIA bergantung pada orang dari negara lain untuk sebagian besar perangkat intelnya, belakangan ini banyak dari antara mereka juga dipekerjakan purna waktu di Seido. Jelas saja mereka wajib melalui penyaringan secara ketat demi keamanan, sebelum mereka mendapatkan suatu jabatan. Bahkan di masa berikutnyam mereka pun tetap diteliti lagi secara berkala di Kantor Keamanan Internal. Kebanyakan orang kelahiran luar negeri yang direkrut CIA tidak menyadari jika mereka terus menerus diawasi oleh majikannya, tanpa pandang pangkat maupun sisi senioritasnya.
“Bisa aku tahu siapa yang dikenali oleh Naya Lawrence?”
Maggie menggelengkan kepalanya dan menyodorkan sebuah foto berukuran 8 x 10 ke seberang meja kopi itu. Saat Flak memunguttnya, dia mendapati dirinya tengah memandang orang yang sama dalam gambar rekaman video tadi. Dialah orang yang dikenalnya sebagai, Tom. Tom Norris.
“Tepatnya kami telah mengetahui beberaka waktu lamanya,” kata Wakil Direktur Operasi itu. “Jelas saja ada lagi yang lain; salah seorang anggota kita termasuk tim Pasukan Khusus yang membersihkan gua itu. Selain tape video yang kita dapatkan, dia pun mengantongi beberapa berkas yang hanya terbakar sebagian. Bahan itu lantas dikirimkan kepada Kedutaan kita di London. Meskipun Bagian Pelayanan Teknis kita tidak dapat berbuat banyak, tapi dari satu nama Senator tersebut muncul sebagai calon sasaran. Itulah penyebabnya dia memperoleh perlindungan dari kelompok kecil itu, hanya demi kebaikan dirinya.”
“Kalau benar kita berurusan dengan Tom, kita akan berada dalam kesulitan besar, Flak. Bisakah kau bayangkan gimana reaksai yang akan kita dapatkan kalu ada berita jika ternyata ada seorang warga negara Amerika yang termasuk dalam jajaran pempin Al-Arrazi? Akan ada kekacauan, begitu jelas dan sederhana. Ketika itu akan menjadi hari yang begitu hebat bagi media. Tom Norris akan membuat gambaran Mark Lewis terlihat seperti seorang pramuka saja.” Maggie mengetukkan penanya pada ujung meja dengan sengaja untuk memberi tekanan pada pembicaraannya, kemudian dia menambahkan. “Naya berpikir cepat. Kau tahu itu,” katanya penuh perhitungan. “Benar-benar suatu loncatan, dari Iran kepada Al-Arrazi, tapi dia tidak tahu menahu tentang Tom Norris maupun keterlibatannya, kalau orang itu sungguh-sungguh terlibat.”
“Bagiku, itu dugaan yang aman, Maggie,” kata Flak. “Dan hal itu pasti merupakan alasan keprihatinan. Seperti yang kau bilang, nama Senator Chow yang diperkenalkan kepada Al-Arrazi kebetulan menjadi orang yang sangat keras mengancam kelompok garis keras Iran. Kalau Al-Arrazi, langsung mendapat dukungan dari rezim yang baru, kemudian mereka akan bisa mendapatkan jalan untuk mengambil uang dan peralatan yang dulu mereka tinggalkan di sana.”
Maggie memupus pikirannya. “Itu artinya kita menghadapi masalah besar. Aku merasa Tom bisa memberi banyak petunjuk kepada kita saat ini.” Dia berpaling melihat teman bicaranya. “Di mana dia saat ini?”
“Dia sudah pasti pergi ke luar negeri,” jawab Flak dengan tegas dan pasti. “Dia pasti sudah membuat rencana dari awal dan sudah mengadakan persiapan; dia telah menduga kalau kita bisa menentukan identifikasi pelaku dengan positif dan dia tidak akan bisa bergerak melewati titik pemberangkatan standar mana pun. Selain itu, dia tidak akan mengambil rute yang jelas juga.”
“Kedengarannya tidak mungkin, ya? Pembunuhan seorang politikus yang dikawal ketat di Washington di siang bolong. Jelas ada sejumlah besar risiko yang dihadapi, namun ada sejumlah stasiun kereta bawah tanah, Metro, yang tersebar di tempat itu, termasuk salah satu di antaranya persis di belakang Gedung Putih. Dari Union Station itu saja sekurangnya ada delapan jurusan untuk meninggalkan kota. Dia juga telah memperhitungkan keberadaan banyak turis dalam Mall karena cuaca yang buruk, dan mengambil posisi tepat di luar lingkup perimeter keamanan White House. Bisa jadi dia pun telah mengetahui lokasi tim para penembak jitu, sekurangnya mereka yang sudah ditentukan tempatnya. Mungkin informasi yang didapatkannya dari seseorang.., sulit ditemukan. Yang jelas, dia tidak tergelincir kali ini. Kami sulit jika mengharapkan dia melakukan kesalahan.”