Delapan

2606 Kata
Perempuan muda itu menyandarkan diri pada mobil Range Rover model klasil dan sedikit merasa gemetar dalam dinginnya udara malam saat dia memperhatikan pesawat kecil itu mendekat menembus awan yang menggumpal. Dia menggunakan cadar hitam panjang yang mana pakaian itu merupakan pakaian umum bagi kaum perempuan, tapi kain penutup kepalanya terdorong ke belakang sehingga menyembulkan rambutnya yang hitam pekat itu dan menampakkan bentuk wajahnya yang bulat. Perempuan itu menganggap pelanggaran kecil tata cara berbusana yang ketat di negerinya itu gampang dimaafkan sebab keadaan sekelilingnya yang sepi. Lapangan udara itu terletak sekitar lima kilo meter di sebelah selatan sungai Atrek, suatu dataran dengan pepohonan yang menusuk hingga ke dataran pantai yang sepi di tepi Laut Kaspia. Daerah bagian dari Iran ini benar-benar sepi ditinggalkan orang, sehingga sangat cocok untuk pendaratan pesawat Cessna tua yang baling-balingnya banyak. Pesawat tersebut akhirnya turun ke darat sesudah meninggalkan Azerbaijan tiga jam silam dengan menggunakan rencana penerbangan palsu. Begitu pesawat berhenti di atas landasan yang kotor penuh dengan debu, pintu luarnya berayun terbuka dan satu-satunya penumpang turun, hanya membawa sebuah ransel di tangan kanannya. Perempuan itu memandang dengan penuh ketertarikan saat dengan langkah hati-hati laki-laki itu sampai di bawah badan pesawat, dan berjalan menuju arahnya. Dari penampilannya, laki-laki itu usianya berkirar dua puluhan atau awal tiga puluhan. Dia berjalan dengan begitu santai, tapi setiap langkahnya mantap, bergerak maju tanpa terburu-buru, menyusuri permukaan padang pasir yang penuh bahaya. “Halo,” sapa perempuan itu. Lalu katanya dalam bahasa Parsi yang cepat. “Namaku Devgan, aku akan mengantarkan anda. Aku diminta bertanya apakah anda membawa senjata, sebab anda akan digeledah begitu tiba di sana.” “Aku tidak bersenjata. Seberapa jauh?” tanyanya dengan lembut. Meskipun dia telah diberitahu kalau laki-laki itu fasih berbahas Parsi, tapi hatinya masih terasa cemburu mendengarkan bahasa aslinya diucapkan dengan begitu lihat oleh orang asing. “Kurang dari dua jam. Mereka menunggu anda,” begitu perempuan itu menjawab. Lima belas menit berlalu, Range Rover itu muncul dari kegelapan padang pasir dan berbelok menuju ke lapisan aspal, jalan utama menuju Tabriz, melaju ke timur menuju arah kota suci saat bintang bintang bekerlipan jauh di atas sana. Tabriz ialah salah satu kota terbesar di Iran yang penduduknya mencapai satu setengah juta jiwa. Tuan rumahnya pasti sudah memilih tempat ini sebagai salah satu tempat terbaik untuk pertemuan mereka, piker Tom, sebab nama kota itu memiliki arti sebagai “tempat para martir”. Dibutuhkan waktu lumayan lama dan rumit untuk menemukan suatu komunitas yang lebih keras menentang budaya Barat selain di sini. Meskipun dia yakin akan kemampuannya untuk bertahan hidup, tapi dia pasti mencemaskan keselamatannya di sini jika tidak ada orang lain yang duduk di seputar meja kayu sederhana di hadapannya itu. Suatu pemikiran lain mendadak muncul dalam dirinya, kendati perbuatan kejamnya belakangan ini, direktur CIA mungkin akan menyambutnya di bandara dengan tangan terbuka dan dengan sebuah koper yang penuh dengan uang tunai apabila dia bias membunuh orang yang ada dalam ruangan ini. Pandangan curiga yang terkadang tertuju padanya cukup membuktikan padanya kalau bukan hanya dia saja yang membayangkan scenario semacam itu. Namun kebanyakan dari mereka resah bertatapan mata dan memilih mengalihkan pandangan mereka pada buku catatan di atas meja atau ke sudut yang jauh dari ruangan itu. Nama aslinya bukan Tom Norris, namun mereka sama sekali tidak tahu mengenai identitasnya selain Tom Norris. Sebab dengan nama samaran itulah dirinya dikenal oleh banyak orang selama bertahun-tahun silam. Di suatu waktu, pada sebuah puncak bukit di atas pantai Siria tujuh tahun silam, dia membuktikan kesetiaannya kepada orang-orang ini dan apa yang sedang mereka perjuangkan. Tapi tidak ada satu orang pun yang sadar tentang hal itu, dan dia sendiri tidak rela menginformasikannya. Mereka hanya mengetahui tentang dirinya sebagian kecil saja, kecuali bahwa mereka mengetahui bahwa dia dikenal sebagai orang yang bias melakukan apa saja. “Anda sudah melakukan pekerjaan yang hebat di Washington, temanku. Aku percaya kontak yang sudah kami sampaikan memuaskan anda.” Orang yang berbicara ialah seorang warga Negara Mesir bernama Anwar Pasha. Meskipun sudah dijatuhi hukuman dalam pengadilan in absentia di Mesir pada tahun 1981, dia tetap aktif di dalam organisasi. Setelah serbuan Amerika ke Afghanistan pada akhir 2001, dengan melalui kesempatan yang begitu kecil, dia mampu meloloskan diri dari negara itu dengan selamat. Berkurangnya tenaga pimpinan di tubuh Al- Arrazi sesudah serangan berturut turut, menyebabkan dia naik pangkat dengan cepat, dan kini status menjadi asisten komandan untuk jaringan teror. “Aku terkesan dengan efisiensi dan dedikasi sumber informasi anda. Sayangnya, mungkin dia bisa diketemukan oleh FBI; bisa jadi saat ini hal itu telah terjadi. Mereka bisa begitu efektif di dalam lingkup mereka sendiri.” “Barangkali yang lain punya saran,” kata orang Mesir itu. “Melalui sahabat kita bersama di Afrika Selatan, aku telah memberikan sarana untuk menghindari dari penangkapan kepada sumber anda. Seperti yang telah aku katakana, menurutku anda tidak akan kecewa pada komitmennya pada organisasi ini.” Pasha semakin kagum kepada laki-laki yang duduk di depannya itu. Sekali lagi, dia diingatkan betapa beruntungnya dia memiliki senjata hebat ini di tangannya, belum lagi mengingat nilai propaganda dari adanya orang Amerika yang bekerja melawan negerinya sendiri. Namun pengetahuannya yang sangat minim tentang masa silam orang itu tetap merupakan sumber kecemasan tersendiri baginya. Sejauh mana orang itu tetap bersedia melakukan pengkhianatan berskala besar sebelum hati nuraninya mampu menentangnya? Suatu pemikiran lain terkadang muncul, meskipun dia kerap menekannya; sejauh mana orang-orang Amerika akan berupaya menanamkan orang di dalam organisasinya? Dia tidak berani menduga kalau mereka itu sengaja membunuh salah seorang politisi mereka yang serakah, namun jauh di dalam reluh hatinya, dia pun menyadari kalau dugaannya bisa saja benar, bisa pula tidak, maka keragu-raguannya mengendap seperti batu berat dalam perutnya. Di kalangan jasa intel Barat ada orang yang sama dengan orang ini, orang-orang yang menganggap dirinya tidak terikat hukum dan tidak mempedulikan ajaran moral. Pasha sendiri kerap mendengar perkataan, kalau beberapa orang yang merupakan pengecualian itu dapat lebih berbahaya bagi organisasinya dibandingkan seluruh gabungan kekuatan militer Amerika. Orang Mesir itu tidak bermaksud menyangkal pemikiran itu, sehingga wajahnya menjadi topeng yang rumit ditembus. Dia beralih memandang orang lain yang duduk langsung di seberangnya, yang belum bicara sepanjangan pertemuan itu. “Menteri Tarek Ismail, terima kasih karena sudah hadir di sini, saya yakin anda memiliki informasi bagi kami semua.” Menteri Intel dan Keamanan yang baru saja diangkat itu mengangguk dan langsung berbicara kepada kelompok. Matanya terfokus sepenuhnya pada setiap wajah dari balik kerangka kaca matanya. “Yang Mulia sangat senang dengan apa yang sudah anda lakukan. Beliau sangat marah karena tuduhan orang Amerika itu, dan beliau ingin menyampaikan terima kasih pada anda semua atas tindakan yang anda motori untuk melawan mereka. Besok beliau akan berkenan mengeluarkan pernyataan tentang keinginan beliau untuk membuka kembali fasilitas nuklir di Natanz.” Berita ini membuat kelompok kecil laki-laki di seputar meja itu bergumam memberikan persetujuan. Mereka merupakan segelintir orang yang dipercaya untuk diberitahu tentang perkembangan baru itu. “Tentu saja, kegiatan produksi sudah mulai dilakukan dengan baik. Fasilitas pusingan gas yang baru saja dipasang secara dramatis sudah mempercepat proses pengayaan uranium, dan reactor air pejal kita di Arab saat ini tengah memproduksi pentonium berkadar senjata. Namun tentu saja kita menghadapi beberapa kesulitan. IAEA—International Atomic Energy Agency (badan internasional yang mengawasi penggunaan energy atom di bawah PBB dan berkantor di Wina)—telah curiga seperti biasa, dan mereka mendesak untuk mendapatkan izin memeriksa fasilitas kita di kawasan selatan. Proposal mereka secara kilat mendapatkan dukungan dari dalam kalangan PBB. Hosni Nasser masih bisa terus bertahan dengan gigih. Selain itu, kita pun terpaksa mengimpor beberapa komponan untuk selubung karbon dan injeksi inti. Sangat sulit mendatangkan bahan ini tanpa membuat pihak Amerika curiga.” Orang Iran itu condong ke depan, tangannya menekan permukaan meja yang kasar itu. Wajahnya berkerenyut oleh kebencian saat dia bicara lagi. “Resolusi baru yang akan dilakukan pihak barat akan menghambat program kita sepuluh tahun atau lebih, apabila nantinya bisa dilanjutkan lagi. Selama bertahun tahun kita dapat bertahan karena jasa perusahaan minyak Eropa yang rakus. Mereka terus menerus menggerogoti sanksi yang dijatuhkan oleh pihak Amerika. Namun saat ini tampaknya Perancis pun mulai bergeser ke pihak Amerika, begitu pun orang Italia… Pemerintah berpendapat kalau hanya ada satu jalan untuk memaksa mereka supaya tidak mendukung langkah terakhir itu.” Pasha mencerna setiap komentar itu dengan berdiam diri. Salah satu tangannya mengelus kumisnya yang tebal hitam saat kemudian dia mengucapkan pendapatnya. “Serangan besar besaran di negeri Amerika Serikat. Banyak orang Amerika yang mati. Liputan berita yang luas dan reaksi public yang negative. Semua ini yang anda perlukan untuk menimbulkan perpecahan di antara mereka, dan meruntuhkan hasrat mereka.” Tarek Ismail mengangguk setuju. “Bagaimana saran anda?” “Ada beberapa pilihan,”kata Pasha. “Pertama, diperlukan target yang tepat. Semuanya bergantung pada target itu. Suatu serangan yang menentukan akan meretakkan koalisi itu. Namun kami mungkin memerlukan bantuan dari Yang Mulia dalam meningkatkan operasi semacam itu. Pemerintah anda sudah melihat efisiensi Al-Arrazi, meskipun keadaan kami saat ini tengah lemah.” Dia mengangguk penuh penghargaan kepada temannya yang orang Amerika itu. “Sahabat barat kita sudah menempuh banyak risiko dalam rangka mengangkat kita menjadi perhatian dunia lagi. Kecepatan adalah factor penentu dalam sendi sambungan ini apabila kita ingin lekas mementahkan peran kepemimpinan Amerika.” Menteri itu sedikit menelengkan kepalanya. Di wajahnya tersungging senyuman kecil. “Sebuah saran yang menarik. Apa yang anda butuhkan?” “Pertama, tidak perlu apa apa. Hanya dukungan anda saja.” “Anda sudah mendapatkannya. Negara kami berhutan budi pada anda, dan kami akan mengembalikannya berlipat ganda. Saya akan menyampaikan saran anda pada Yang Mulia.” “Saya menyampaikan terima kasih kepada anda. Saya yakin kalau kita bersama akan mendapatkan banyak manfaat dari kesepakatan ini.” Pasha tersenyum dan berdiri. Begitu pun Menteri Irak itu. Kedua orang tersebut berjabat tangan, kemudian berpelukan. Kelompok kecil di seputar meja itu bertepuk tangan dengan spontan. Tom Norris berdiri ke samping, wajahnya bersih dari semua perasaan. Tapi di dalam dirinya, dia merasakan gelombang kebahagiaan yang merambat di sekujur tubuhnya saat dia membayngkan Washington meledak dan terbakar. Gambaran api yang menyeruak keluar dari jendela White House begitu mencekamnya, sehingga Pasha harus menyebut namanya beberapa kali, baru dia tersadar dari lamunannya. “Ya? Ada apa?” Pasha mengernyitkan keningnya karena nada suaranya itu. Bagaimana pun, Tom Norris tetaplah seorang pengkhianat pada negerinya sendiri. Orang yang menyeberang ke pihak lain dapat melakukan tindakan seperti itu lagi. Pasha ingin menguji kesetiaan orang itu. Maka dari itu, dia telah siap menanggung suatu risiko yang besar. “Ikut aku. Ada seorang yang mau aku temukan pada anda.” *** Ford Cortina itu melaju tenang menembus kegelapan di Jalanan kota Tabriz. Kemudian berhenti di beberapa tempat yang berbeda. Terkadang selama beberapa menit di satu tempat, sebelum kemudian bergerak lagi dengan tidak terduga dalam kecepatan tinggi. Meskipun ratusan sukarelawan akan siap menjadi sopir Anwar Pasha di kota itu, dia mempercayakan keselamatannya hanya pada nalurinya sendiri, yang kerap kali benar; dia telah melihat agen pelaksana yang berpengalaman mati di tangan Pasukan Khusus Amerika sebab kurangnya waspada, sikap yang benar-benar dibutuhkan bagi profesi pilihan seperti itu. Orang Amerika yang duduk di sampingnya tidak bicara semenjak meninggalkan rumah berlantai dua yang dijaga begitu ketat di sebelah timur laut pusat kota itu. Pasha tidak tahu apa yang terlintas dalam pikiran orang itu. Setelah sekitar empat puluh lima menit berlalu, Pasha yakin kalau mereka tidak diikuti oleh orang lain. Di kota mana saja, di Afghanistan, dia tidak akan mengupayakan pertemuan seperti yang akan dilakukannya itu, namun di wilayah timur laur Iran itu, dia sungguh merasa aman. Dia berbelok tajam di suatu lorong berdebu. Dan sedannya mendecit berhenti di antara bangunan dari batu putih. ‘’Ikuti aku. Anda tidak perlu khawatir sedikit pun.’’ Dia mencoba meyakinkan Tom. Dia memberikan sebuah topi wol kepada orang Amerika itu. ‘’Pakai ini.’’ Tom menekankan topi itu serendah-rendahnya di kepalanya, menutupi rambutnya yang pirang itu, di mana jika dia biarkan terbuka, akan segera menarik perhatian dan akan disimpan untuk digunakan di masa depan oleh penduduk kota yang banyak jumahnya itu. Apabila mendapatkan kesempatan, penduduk di daerah ini akan sangat senang mengkritik orang Barat yang b***t; namun, dia pun tahu kalua dengan mudah mereka akan memberikan informasi yang diperlukan apabila diberi hadiah yang banyak. Tom mengetahui hal semacam itu meupakan sifat lemah manusia. Banyak orang dengan senang hati mengorbankan prinsip hidup mereka hanya demi uang semata. Kedua orang itu bergerak dengan cepat menempuh lorong itu dan kemudian melalui sederetan bangunan bata beratap rendah dan terlihat sudah rusak. Tom memperhatikan jalanan itu sangat gelap. Bola lampu yang menerangi jalanan itu mati, entah karena diambil, atau karena rusak. Meskipun sudah larut malam, ada seorang perempuan tua berjalan ke arah mereka di jalan itu sambil sedikit terseok-seok. Dia menepiskan pandangannya dari tatapan kedua laki-laki itu, suatu fakta yang tidak dilalui oleh Tom Norris. Dia menilai organisasi itu sudah melakukan begitu banyak hal untuk memastikan keamanan mereka di daerah ini, mungkin hingga dengan menyuap orang dari pintu ke pintu setiap rumah penduduk. Dan pastinya juga pada pejabat setempat, yang mendapatkan banyak imbalan untuk kerja sama mereka. Mereka berhenti di rumah kelima di sebelah kiri. Tom Norris ragu seketika sebelum mendorong pagar besi yang telah rusak, karena merasakan sesuatu yang tidak beres. Senyuman Pasha Cuma sedikit menepis kekhawatirannya yang terasa akut dan saat perasaannya itu kemudian terfokus, dia menangkap adanya sebuah bayangan dalam jarak pandanganya. Seorang penembak jitu berbaring di atas atap yang rendah di suatu bangunan, dan tulang rongga matanya hanya beberapa milimeter saja dari teropong senapan Dragunov buatan Rusia. Tom terkesima oleh disiplin orang itu, namun dia berpendapat kalua senjatanya begitu besar dan rumit untuk bisa dimainkan di lingkungan perkotaan. Secara pribadi dia lebuh suka memilih senapan Galil yang popornya bisa dilipat. Namun dia tidak akan mengusulkannya pada orang yang tengah berbaring di atas atap itu. Dia nyaris tertawa keras apabila membayangkan seorang militan Arab mengenakan senjata buatan Israel. Semakin menekati pintu, dua orang pengawal lagi tiba-tiba terlihat olehnya, menyandang senapan AK-47 yang larasnya tertuju ke tanah. Mereka terlihat tegang saat Pasha bicara dengan berbisik kepada salah seorang di antara mereka, kedua penjaga itu kembali santai. Suatu radio komunikasi terangkat ke bibir yang pecah-pecah, setiap kata dipertukarkan, perintah diucapkan. Beberapa saat berselang, pintu itu terbuka dan kedua orang yang baru datang itu menyelinap masuk ke dalam. Tom Norris menunggu. Punggungnya terasa sakit karena duduk di kursi kayu yang tidak nyaman. Selama beberapa hari yang lalu, situasinya memang sudah tidak nyaman lagi; perjalanan terus menerus dengan identitas palsu, kerap takut apabila dikenali orang, selalu dalam keadaan waspada. Namun saat ini dia merasa berada di puncaknya; dia merasa seolah-olah dirinya tengah dipuji bahwa tanggapannya akan menentukan, bukan saja berhubungan dengan tempatnya di dalam organisasi ini, namun menyangkut apakah dia bisa meninggalkan gedung ini dalam keadaan hidup atau tidak. Dengan keyakinan dirinya yang kuat, Tom tidak meninggalkan kewaspadaannya. Dia telah melalui perjalanan yang begitu jauh, dan dia tidak akan membuang dengan susah payah hal itu secara sia sia. Suara bernada rendah di luar pintu mengumumkan kedatangan para tamu itu sebelum mereka bergegas masuk ke dalam ruangan. Pasha masuk dan dengan cepat diiukti oleh seorang dengan postur tinggi besar yang tanpa menunggu lama segera dikenali oleh Tom. Orang itu sudah membuat sedikit perubahan pada penampiannya, berbeda dari foto yang dipasang pada selebaran, yang dijatuhkan dari helikopter tentara, yang menjanjikan hadiah lebih dari dua puluh lima juta dollar apabila orang itu bisa menunjukkan keberadaannya. Ismail Al-Misri meneliti dengan cermat orang yang mendadak berdiri begitu dia masuk ke dalam ruangan itu. Dengan segera dia curiga, karena penampilan orang itu terlihat mencerminkan kebejatan Barat sepenuhnya. Tapi di pihak lain, mata orang itu memperlihatkan sebuah cerita yang berbeda, sebab mata itu memancarkan kebencian yang sangat dalam pada irisnya yang hijau tajam. Kebencian itulah yang mau dimainkannya. Begitu dia sudah memperoleh jawaban yang dibutuhkannya, maka dia akan segera maju terus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN