Janji Aland 2

1227 Kata
Setengah jam kemudian. Tepat jam dua siang WIB. Rumah Makan Keluarga Kahoku sudah cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan di sana yang tampaknya juga sebentar lagi akan pergi. Mungkin situasi semacam ini juga yang ditunggu oleh Cornelia. “Woy! Di mana cowok yang kamu janjikan?” teriak Cornelia sambil bertolak pinggang sewot. “T-Tunggu sebentar lagi, Mbak! Orangnya sedang on the way, ” jawab Day gelagapan. “Akan aku beri kamu waktu selama sepuluh menit. Kalau tidak muncul juga, khek!” ancam Cornelia sambil berlagak memotong lehernya sendiri. Cara mengancam yang cukup jadul, namun masih ampuh menakuti siapa pun hingga kapan pun. Tiga menit pertama telah terlewati tanpa terasa. Day sudah komplain habis-habisan pada Jun. Jun hanya bisa mengangkat kedua bahunya dengan wajah tidak peduli seperti biasa. Empat menit selanjutnya pun terlewati begitu saja. Day sudah mulai merasa putus asa. Sungguh sia-sia seluruh pengharapan dan usahanya. Ia sampai menghubungi Night untuk memberikan pesan terakhir. “Day, sudah aku bilang jangan pernah menghubungi saat sedang di tengah jam kerja!” amuk Night di seberang sambungan. “Aku hanya ingin memberi pesan singkat padamu, wahai sahabatku,” buka Day sok bermelodrama. “Kalau tidak cepat akan aku matikan, nih!” ancam Night sewot. “Mungkin aku akan kehilangan banyak gaji untuk sisa kerjaku di Kahoku. Hiks. Ucapkan selamat tinggal pada pundi-pundi uang kita yang tak seberapa, Ni…” Tiiitt. Sambungan tidak penting Day langsung diputus secara sepihak oleh Night. Satu menit pun berlalu begitu saja tanpa terasa. Tak ada lagi yang bisa Day harapkan dalam situasi seperti ini. Si iblis Cornelia sudah pasti akan bersekongkol dengan si penyihir Matan Iida untuk membuat hidup Day jadi seperti neraka. Namun, tiba-tiba pintu rumah makan terdorong dari luar. Seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi, wajah ganteng nan rupawan, hidung yang mancung dan indah, berwajah oriental, memasuki rumah makan dengan langkah menawan. “Hai, girls,” sapanya dengan kerlingan nakal pada semua pegawai. “Apa ada yang memiliki nama indah Cornelia di sini?” tanyanya dengan aura pangeran Eropa abad pertengahan. Cornelia langsung menyerobot teman-temannya yang sudah lebih dulu berada di sana dan mendekati laki-laki itu. “Saya yang memiliki nama Cornelia, Tuan. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan kedua mata berbinar. Laki-laki itu tersenyum manis dengan aura sejuta watt. “Sebenarnya tadi malam salah seorang teman ‘baikku’ berkata bahwa ia memiliki seorang teman senōrita yang sedang membutuhkan hiburan untuk melepas kegundahan karena pekerjaan. Apakah aku bisa menghibur kamu, Nona?” tanyanya sambil menaikkan dagu Cornelia dengan jari telunjuk. Bahasanya jijay banget, woeek woeek woeek, batin seluruh pegawai “lain” di sana. “Ah, iya, iya, tentu saja. Kita bisa mengobrol terlebih dahulu,” sahut Cornelia sambil mendudukkan tubuh pria itu di salah satu kursi pelanggan. Di balik punggungnya ia mengacungkan jempol ke arah Day. Day di kejauhan hanya menaikkan sebelah bibirnya dengan raut super jijay markonjay a***y. Di dapur pun Jun merasa sama jijaynya dengan Day. Ia hanya mengintip sedikit dari celah jendela yang menghubungkan rumah makan dengan dapur. Ia sudah membantu Day dengan membawa sosok laki-laki yang tepat seperti keinginannya. Kriterianya. Yaitu laki-laki menawan dengan tampang rupawan yang memiliki hati suci bersih dari dosa. Walau yang Jun bawa sebenarnya hanya terlihat seperti itu. Aslinya sih tidak. “Laki-laki seganteng itu kamu dapatkan dari mana, bro?” tanya Bright penasaran. Jun menutup bibirnya dengan punggung tangan nyaris tertawa. “Sebenarnya dia yang punya mobil mewah di depan itu. Pertama melihatnya semua perempuan pasti akan terpana dan jatuh cinta. Tapi, percayalah bahwa realita tak selalu seindah saat pertama jumpa,” jawabnya sok bermetafora. “Tenang, tenang! Aku mengerti, kok. Padahal dia sedang menjalin hubungan dengan ceweknya ketua BEM di kampusmu. Tapi, dia tetap datang ke sini saat kamu menawarinya dengan cewek cantik. Benar-benar cowok iblis,” komentar Bright serius. Day sendiri tersenyum-senyum penuh rasa puas di balik meja kasir. Semua meja sudah bersih. Tak ada noda di lantai. Tak ada debu di pojokan ruangan. Semua tampak sempurna di mata dan dunianya. Pintu restoran terbuka secara otomatis. Sekelompok orang berseragam biru terlihat masuk diiringi canda tawa. Mereka memilih tempat duduk yang terdiri dari dua meja. Kristof segera menghampiri mereka. “Silahkan menunya, Tuan,” ucap Kristof ramah. Seorang pria yang tampak berusia sekitar tiga puluhan berkata pada Kristof, “Ini akan lama, Dek. Biar kami sendiri nanti yang akan mengantarkan pesanannya.” Kristof tertegun. Terkagum-kagum. Jarang sekali ada pelanggan dengan tabiat seperti ini. Pelanggan di rumah makan yang menggunakan sistem pelayanan manusia asli biasanya akan meminta pelayan untuk menunggu sampai pesanan mereka usai. Salah satu contohnya si Wiwit Sulastri. Pelanggan musuh bebuyutan Day. “Ada apa?” tanya Day saat Kristof kembali ke tempat berdiri pelayan laki-laki sambil mengayun-ayunkan telapak tangan di depan hidung. Seperti habis mencium bangkai saja dia. “Mereka pasti bekerja di pelabuhan. Tubuhnya ketara sekali bau garamnya. Aku sama sekali tidak suka bau garam,” jawab Kristof sambil menutupi hidung. "Mas benci baru garam, tapi memutuskan bekerja di rumah makan. Aneh juga, ya," komentar Day polos. "Kalau bukan karena kepepet juga aku tidak akan mau bekerja di sini. Aku itu bahkan bisa mencium aroma garam yang ada di dalam wadah di tempat penyimpanan dapur belakang itu," jawab Kristof. “Penciuman Mas sangat luar biasa,” balas Day geli. Kristof bisa mati sampai tinggal serumah dengan Night, batinnya geli. Seorang pemuda dari gerombolan itu keluar dari meja dan berjalan ke seorang pelayan laki-laki dengan membawa pesanan dirinya dan lima temannya yang lain. “Tadi kamu mau membicarakan hal apa?” tanya pemuda itu. “Sudah tidak masalah. Apa yang membawa kalian jauh-jauh ke sini?” tanya Day. Rumah Makan Keluarga Kahoku memang memiliki jarak yang cukup jauh dari kantor Ship Area. “Aku baru kembali setelah menemani atasan yang ada pertemuan di dekat sini. Mungkin aku akan mendapat promosi setelah ini,” jawab Night mengembangkan senyum lebar. Day memandangi wajah kusam dan lelah pemuda itu. Sudah beberapa hari terakhir Night tidak pulang ke rumah. Bisa jadi selama itu juga ia tidak tidur dan kurang makan. Anak itu memang selalu gila bekerja dan belajar. Night memang tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, batin Day seraya menyilangkan kedua tangan di d**a. “Nanti malam aku ingin membicarakan sesuatu. Kamu pulanglah tepat waktu!” beritahu Day. Night mengedipkan sebelah matanya tanda mengerti. Ia pun kembali ke tempat duduk teman-teman sejawatnya. Berbeda dengan Day. Night menyeting tampilan visual tubuhnya sebagai pria berusia dua puluh empat tahun. Batas usia untuk bekerja di Ship Area sendiri adalah dua puluh tiga tahun. Setelah Night kembali duduk. Kali ini ganti Cornelia yang menghampiri Day. Ia sampai meninggalkan pangeran berkuda putih barunya begitu saja. “Dasar anak tukang bohong! Kenapa kamu tidak memperkenalkan dia saja sama aku?” tanya Cornelia kesal. Menodong Day seolah itu adalah suatu kewajiban. “Begini ya, Mbak. Aku rasa Kishi itu bukan tipenya Mbak Cornelia,” jawab Day datar dengan mata sayu. “Benar, Cornelia,” celetuk Jun yang kebetulan mendengar percakapan mereka berdua. “Kishi itu tipe laki-laki yang sama sekali tidak mengenal perempuan. Apalagi cinta-cintaan. Jangan bilang standar cowok kamu sudah turun karena naksir bocah ababil kayak dia,” sindirnya. Day membisiki Jun, “Kak Jun tau soal itu semua dari mana?” tanyanya serius. “Ngarang bebas,” jawab Jun serius. Perasaan Cornelia tiba-tiba jadi berkecamuk tak menentu. Andi, laki-laki yang baru saja dibawakan oleh Aland. Jika dilihat dari sudut mana pun juga memang merupakan sosok lelaki idamannya. Tapi, masih ada yang kurang saat jumpa pertama. Kekurangan yang digenapi oleh kehadiran seorang lelaki berbau garam yang bernama Kishi. Aahh… bau garam ini akan menjadi awal mula dari kisah asmaraku yang indah bak Rome dan Juliet… Tapi, bohong. Andai saja bisa seindah itu, batin Cornelia masam. Pada awalnya tentu Cornelia tak mengetahui siapa nama pemuda itu. Bahkan ia tak tau jika pemuda itu memiliki hubungan dengan Aland. Tapi, hatinya langsung tertarik pada jumpa pertama. “Tuhan, apakah ini yang namanya cinta sejati? Cinta pada pandangan pertama? Apa itu benar-benar ada? Aku tidak percaya bisa mengalaminya,” tanya Cornelia lirih tanpa menoleh wajah Andi. “Huh, luar biasa sekali, Cornelia…” T B C ~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN