Keadaan di rumah sakit menjadi sangat dingin dan terasa canggung diantara para pegawai Rumah Makan Keluarga Kahoku. Pegawai yang lain memang masih berusaha untuk memahami tindakan Aland. Memberi berbagai macam toleransi atas nama peduli. Ia masih kecil. Masuk ke usia remaja menurut catatan sipil negara saja belum. Masih sangat anak-anak lah bisa dibilang. Yatim piatu dan tidak punya keluarga pula bahkan.
Latar belakang dari semua kondisi itu memang mampu menghasilkan suatu pribadi histeris secara tiba-tiba. Mereka masih “bisa” mencoba untuk berusaha paham pada situasi Aland.
Tapi, tentu saja itu semua sama sekali tidak berlaku untuk sang manajer setan Matan Iida. Dalam pandangannya pribadi. Aland tampak semakin busuk dan menyebalkan. Rasanya sudah kental sampai ubun-ubun. Rasa tidak suka Iida pada anak itu sejak awal. Dan sekarang… ia malah berani-beraninya melukai seorang laki-laki yang begitu ia cintai. Kalau tidak ada orang lain di dekat sana. Iida sudah bersumpah dengan jiwa dan raganya. Bahwa ia akan memutilasi Aland hidup-hidup. Di tempat.
Day sendiri sangat bisa merasakan kobaran api kemarahan Matan Iida. Ia merasa sangat tidak enak dan gundah gulana. Padahal baru juga hubungan wanita itu dengan Jun menunjukkan grafik peningkatan ke arah yang positif. Semua hal baik jadi mungkin saja terjadi ke depannya, bukan? Pintu untuk itu semua sudah terbuka dengan lebar. Tapi, karena sikap egois dan kekanak-kanakannya yang gampang panik dan merasa cemas berlebihan. Ia malah jadi mengacaukan semua perjuangan itu.
Bukan hanya Matan Iida bahkan. Bright, Kristof, Brotho, Rucira, Sarah, Cornelia. Semua pegawai lain juga jadi turut tertimpa imbasnya. Ia sangat sedih dan merasa menyesal akan semua yang terjadi.
Sangat menyesal dan tertekan.
Tapi, apalah arti sebuah penyesalan? Ketika perasaan tertekan sendiri memang hukuman yang pantas seorang pendosa sepertinya dapatkan.
“Manajer Iida,” panggil Day. Mencoba untuk memberanikan diri menghadap wanita itu tanpa ragu.
Yang memasang wajah ragu malah pegawai lain. Sampai saat ini mereka belum mau sampai kehilangan rekan kerja yang imut dan paling mudah dipermainkan itu.
Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi lagi setelah ini, doa semuanya.
Iida memicing tajam ke arah Day. Tak mengucapkan apa pun.
Day melanjutkan, “Saya mengaku bahwa saya telah melakukan kesalahan besar. Kesalahan yang tidak bisa diampuni bisa jadi. Untuk itu saya rela dikeluarkan dari Rumah Makan Keluarga Kahoku. Dan mempertanggung jawabkan semua kejadian ini secara resmi di ranah hukum. Dalam tindak pidana kasus dewasa sekalipun…”
Bright yang merasa terusik memutuskan untuk mendekati Day, “Kamu tidak perlu seserius itu kan, Aland. Kamu…”
Day langsung menoleh ke arah Bright yang memasang tampang “kasihan”. Sesuatu yang paling Day benci di dunia ini. “Padahal Kak Bright kan adalah sahabatnya Kak Jun. Kenapa Kak Bright tidak marah? Kak Jun sedang berjuang keras nyaris mati di dalam ruang operasi saat ini. Kenapa Kak Bright malah berusaha untuk membelaku? Ada apa dengan Kak Bright?” tanya Day.
“Karena kalaupun aku marah dan menyalahkanmu atas apa yang terjadi pada Jun. Tidak akan ada yang berubah dari semua keadaan ini, Aland,” jawab Bright tenang.
“Mulai detik ini juga kamu resmi dipecat, Aland,” putus Iida tegas. Tanpa memandang ke arah Day sama sekali. Perasaannya masih dongkol. Hatinya benar-benar sedang terbakar hebat sekarang. Ia tak akan mengizinkan secuil pun perasaan toleransi muncul di hatinya yang sudah terlalu banyak memberi pengertian. s**l.
Anehnya… perkataan Iida malah membuat hati Day terasa lebih tentram. Mungkin seperti ini juga lebih baik. Day percaya pada hal itu. Ia sangat berharap setelah ini dirinya akan dihukum dengan hukuman yang seberat mungkin. Menyakiti… bahkan sampai melukai seseorang yang memiliki sikap sebaik Jun. Lebih terasa seperti dosa yang tak akan bisa ia tebus tujuh turunan sekalipun.
Jun bukanlah seseorang yang pantas dilukai. Disakiti apalagi. Orang yang sebaik dia… menyakitinya membuat Day merasa lebih k**i. Ketimbang para Aimery yang tengah merisaukan hatinya.
“Itu sama sekali tidak perlu, teman-teman,” cegah Jun yang baru saja bergabung diantara mereka. Tubuhnya masih terbalut dalam pakaian operasi.
Semua yang tak terlibat dalam perseteruan antara Day, Bright, dan Iida langsung mendekat dan mengerubungi Jun. Wajah tampan pemuda itu tampak sangat berseri-seri di saat menjawab berbagai macam lontaran pertanyaan khawatir dari teman-teman kerjanya.
“Jun, apa kamu tidak apa-apa?” tanya Iida pada akhirnya. Meninggalkan Aland dan turut bergabung mengerubungi Jun.
Jun langsung mengayun-ayunkan telapak tangannya ke atas dan ke bawah. “Apa kalian berpikir kalau aku ditusuk sama anak kecil seperti dia sudah mati? Ya ampun, itu sama sekali nggak banget, deh. Ditusuk sama Aland itu tidak lebih sakit ketimbang saat jariku teriris sama pisau. Tidak ada rasanya sedikit pun. B saja,” jawab Jun diiringi intonasi guyon agar semua santai seperti di pantai.
Day pun turut mendekati Jun. “Tapi, respon Kak Jun tadi sampai ‘huueek’ begitu,” tanyanya seraya memperagakan respon tubuh Jun saat pisaunya mencium perut six pack roti sobek itu.
Jun malah terdiam. Pandangan tampak kosong kala menatap lantai yang berwarna putih bersih. Salah satu telapak tangannya meraba bekas operasinya pelan. Pelan. Semua orang jadi merasa berdebar kala menunggu pengakuan yang sebenarnya.
Apa yang sebenarnya Jun rasakan?
Bagaimana ia yang sebenarnya?
“Sebenernya aku tadi cuma sok mendramatisir biar semua jadi asik…” jawab Jun seraya menggaruk belakang kepalanya santai.
Gubrak! Semua pegawai Rumah Makan Keluarga Kahoku auto jatuh saat mendengar jawaban Jun. Orang ini memang sama sekali tidak bisa diharapkan kalau untuk bersikap serius.
Jun mengaku bahwa dokter hanya memberinya izin istirahat pasca bedah selama dua hari. Namun, dengan kemampuan aktingnya yang sekelas dengan para bintang film. Ia berhasil meyakinkan dokter jika ia membutuhkan waktu istirahat setidaknya selama satu minggu lebih di rumah sakit.
Benar-benar sangat cerdas.
Semua pekerja di Rumah Makan Keluarga Kahoku hanya meringis ikutan santai kala menghadapi sikap Jun yang rasanya tdak akan pernah berubah. Dia itu sedang sakit juga masih saja segitu ahlinya bersikap santai.
Untuk Iida sendiri… asal diizinkan merawat Jun penuh dengan kasih dan cinta secara pribadi. Ia siap sedia saja memberi koki andalan Rumah Makan Keluarga Kahoku itu cuti selama apa pun.
Saat semua penjenguk dari Rumah Makan Keluarga Kahoku sudah pulang. Jun tetap menahan Aland di rumah sakit. Sangat tidak biasa Aland sampai bersikap histeris dan kompulsif seperti itu bagaimanapun situasinya. Dan lagi… ia mengucapkan sesuatu yang tak bisa Jun pahami. Jun pun meminta Day untuk berbagi kisah keluh kesah padanya. Tentu saja hanya jika itu bisa membantu perasaan Aland.
Sebenarnya Day juga ingin sekali membagikan cerita kegundahan yang tengah ia alami pada Jun. jun adalah orang dewasa yang baik hati, bertanggung jawab, bisa dipercaya, tidak banyak bicara, dan punya kemampua mendengar yang bagus.
Tapi, semua keinginan itu jadi sirna. Ketika ia mengingat larangan Night. Jika sampai Jun mengetahui sesuatu saja tentang Yayasan Aimery, Panti Asuhan Riordan, dan yang lainnya. Sangat mungkin jika ia akan menjadi target incaran mereka juga, bukan? Dan itu sama sekali tidak boleh terjadi. Sama sekali tidak boleh.
Aku tidak akan membiarkan Kak Jun terjerumus dalam masalah yang tak seharusnya ia dapatkan, tekad Day. Menyambut kebaikan hati dan sikap Jun yang overload.
Melihat Aland yang malah jadi diam saja dengan tampang bingung. Jun malah ikutan bingung. Ia hanya berpikir bahwa anak di depannya pasti membutuhkan teman cerita yang lebih dewasa. Yang bisa memberi masukan dalam sudut pandang orang dewasa. Terlebih untuknya yang dipaksa dewasa lebih cepat.
Saat seusiaan dengan Aland. Semua masalah yang ia alami akan selalu ia pendam seorang diri. Tak ada teman atau orang lebih dewasa yang bisa ia jadikan sandaran untuk berbagi ceirta. Tak ada tempat untuk berkeluh kesah dan membagi semua beban gelisah. Ia hanya tak ingin lagi melihat ada anak seusia itu yang merasakan hal sama.
Sama sekali tidak ingin. Jun ingin bersinar seterang mungkin seperti mentari. Agar bisa menutupi semua borok yang ada pada dirinya sendiri.
Aland menggaruk satu pipinya dengan raut tidak enak. Menjawab, “Terima kasih banyak, Kak. Tapi, sebenarnya aku belum bisa… untuk saat ini…”
Jun menepuk punggung Day pelan. “Ya sudah. Pulang sana! Tenangkan dulu dirimu. Kalau terjadi sesuatu jangan ragu untuk langsung mehubungi aku, ya,” beritahu Jun. Ia melanjutkan, “Kak Jun yang keren dan ganteng ini akan selalu ada untuk kamu,” senyumnya sumringah.
Aland tanpa sadar jadi ikut tersenyum sumringah. Senyum Jun yang lebar dan indah itu memang sangat menular. Ia acungkan jempolnya yakin. Dan Aland pun kembali ke kehidupan nyatanya. Sebagai Day yang masih bergelut mengenai identitas dan jati diri.
Bahkan Aimery…
Ketika sedang berada dalam perjalanan kembali ke kamar rawat VVIP-nya. Jun merasa bahwa luka di perutnya kembali terbuka. Darah segar mengalir merembesi kasa yang membalut tubuh. Uhuk uhuk uhuk. Ia kembali memuntahkan darah segar di telapak tangan.
“Waa… ha… ha… ha… gawat. Bagaimana ini?” tanyanya. Melihat tombol pemanggil perawat. Ia tidak ingin membuat siapa pun khawatir atau tidak bahagia. Ia hanya ingin terus menjadi alasan kebahagiaan bagi semua orang.
" Aaakh... s**l sekali, sih," sesalnya sembari mengacak-acak rambut.
Dan apakah itu tampak mustahil, tanyanya dalam hati. Bruukh. Tepat sebelum ia kehilangan seluruh kesadaran. Sebelum sempat menekan tombol pemanggil perawat bahkan.
Mampukah Jun mempertahankan kepercayaannya sendiri? Idealismenya? Tanggung jawab moralnya. Semua yang ia emban sebagai seorang… Jun.
Akankah ia mati dan menjadi akhir dari cerita Day? Entahlah.
T B C ~