Awalnya Day sempat berpikir kalau Night akan marah besar karena sudah ia kerjai saat sedang lelah-lelahnya baru pulang kerja tadi malam. Namun, begitu mereka berdua bertemu di meja makan untuk makan pagi. Anak itu malah tetap bersikap baik dan ramah seperti biasa. Seolah tak ada yang terjadi pada mereka.
Day langsung membatin kala memandang wajah dewasa Night yang hangat juga indah itu, ah, sepertinya aku benar-benar tidak bisa hidup tanpa anak ini, ya, parah.
Sampai saat ini pun Day tetap tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan yang sudah dilalui oleh Night. Sebelum ia tinggal di panti asuhan Riordan. Apa yang terjadi padanya. Tempat macam apa yang ia sebut neraka? Sampai membuatnya begitu trauma dan ketakutan nyaris sepanjang waktu. Apa pula penyebab tubuhnya saat itu bisa dipenuhi oleh begitu banyak luka?
Huff. Semua tentang Night merupakan sumber terbesar rasa penasaran Day. Tapi, apakah itu semua benar-benar sesuatu yang harus ada jawabannya? Tidak tau. Tapi, mari kita…
“Day, sebenarnya dari dulu aku itu penasaran,” ucap Night tiba-tiba di tengah prosesi makan paginya.
Waw! Apa Night bisa membaca perasaan Day? Apakah ikatan batin mereka sudah sebegitu eratnya karena lama tinggal bersama sekalipun bukan keluarga? Hmm, boleh juga. Day pun mengangkat wajahnya dan mulai melihat wajah Night. Bertanya, “Soal apa?”
“Jadi, seperti ini… dari mana kamu tahu kalau kamu itu dibuang oleh orang tuamu sejak lahir?” tanya Night.
“Tentu saja karena ada yang bilang padaku, lah,” jawab Day tersenyum kecil. Pertanyaan sahabat karibnya satu ini ada-ada saja memang. "Aku ini memang jenius, tapi tidak punya photographic memory juga."
“Siapa yang mengatakan semua itu pada Day?” tanya Night lagi sambil menyendokkan potongan telur gulung terakhirnya ke dalam rongga mulut.
Day mengawang-awang berusaha mengembalikan ingatan sejenak. “Hmm… panti asuhan tempat aku tinggal sebelum pindah ke panti asuhan Riordan. Kata mereka seorang wanita membawaku yang masih berlumur darah ke sana. Wanita itu bilang bahwa aku ditemukan di sebuah toilet,” jawab Day.
“Bagaimana perasaan Day ketika mendengar semua cerita itu?” tanya Night.
“Kalau aku sih ya bersyukur saja. Setidaknya siapa pun yang melakukan hal itu hanya menaruh aku di toilet. Masih ditaruh di dalam kardus beralas kain perca lagi. Tidak sampai memasukkan aku ke water closet, khi khi khi,” kikik Day ringan. Lama lama ia seperti tertular oleh sifat Night yang nyaris selalu positif, ramah, ceria, indah, dan manis. Benar-benar anak yang menggemaskan.
“Dan… apa kamu mempercayai semua itu? Maksudku… percaya begitu saja? Setelah semua yang kita alami,” tanya Night.
“Tentu saja aku percaya. Tidak percaya juga aku mau apa, 'kan?” jawab Day santai.
“Aku memikirkan sesuatu tadi malam, Day. Semua anak yang ada di Riordan itu merupakan anak dengan kemampuan khusus atau Child Prodigy. Untuk gampangnya… bagaimana kalau kalian memang sengaja dipisahkan dari keluarga kalian yang sebenarnya?” tanya Night berusaha sehati-hati mungkin menyinggung soal isu sensitif ini. Agar tak perlu sampai mengusik perasaan Day.
Nafsu makan Day seketika auto hilang. “Apa yang kau maksud dengan itu semua?” tanyanya balik.
“Karena kasus yang terjadi di panti asuhan Riordan. Kita bisa mendapat gambaran sempurna bahwa zaman sekarang kecerdasan itu bisa saja dikomersialisasi untuk keuntungan pihak-ihak yang tidak bertanggung jawab. Anak-anak berbakat (Child Prodigy) seperti savant, hetharion, asperger, aristo gener, gifted, maupun jenis kejeniusan yang lain merupakan komoditi berharga di mata orang-orang besar yang menguasai planet ini,” terang Night.
Ia berpikir sejenak merenungi ucapan Night. Masuk akal juga. “Jadi, menurutmu aku diculik dari keluarga kandungku, lalu dengan skenario yang mereka ciptakan. Membuatku berakhir di panti asuhan Riordan. Seperti itu?” konfirmasi Day.
“Hmm… bisa dibilang begitu? Sebenarnya aku memikirkan baik baik ucapanmu tadi malam. Kehidupan para (e) sekalipun itu tidak mungkin berasal dari sebuah kekosongan. Sebuah ketiadaan. Sebuah kehampaan seperti alam semesta ini. Aku jadi merasa bahwa kamu harus menemukan kenyataan yang terjadi di balik kasus penjualan anak-anak Child Prodigy. Baik oleh panti asuhan Riordan. Maupun oleh keluarga Aimery,” saran Night.
“Cara apa yang mereka gunakan untuk mengetahui bahwa aku adalah seorang anak Child Prodigy? Lagipula asal kamu tau ya, Night, saat baru bergabung dengan Riordan itu kemampuan yang aku miliki juga belum muncul. Aku juga nyaris ditaruh di panti sosial seperti kamu, lho,” beritahu Day. Nyaris mematahkan segala argumentasi Night. Memang meyakinkan dan buat bulu kuduk merinding, tapi apakah itu saja cukup untuk menuduh mereka menculik anak-anak di sana dari keluarga kandungnya?
Day membatin, ayo, apa yang akan kau katakan, Night?
“Menurut Day bagaimana mereka tau bahwa kalian semua itu adalah anak-anak dengan kemampuan Child Prodigy?” tanya Night balik. Belum menyerah untuk mempertahankan argumentasinya.
Day tertegun menenggak ludah. Tak mengharapkan pertanyaan yang di luar ekspektasi ini. “Memang cara apa yang mereka gunakan?” tanyanya balik.
“Itu semua karena keluarga Aimery memiliki penelitian tersendiri untuk mengetahui mana anak bayi yang memiliki potensi untuk dilahirkan dengan kemampuan Child Prodigy atau tidak,” jawab Night yakin seraya mengacungkan jari telunjuknya ke udara.
“Hah?” Day semakin terguncang mendengar jawaban Night. Pagi hari mereka yang cerah dan indah jadi melahirkan sedikit awan mendung berujung hujan badai petir gara-gara semua topik obrolan ini. “Memangnya kamu tau semua itu dari mana?” tanya Day gundah gulana.
Bukannya langsung menjawab pertanyaan Day. Kedua pandangan mata Night malah bergerak melihat langit-langit di atas mereka. Jari telunjuk tangan kanannya sibuk memuntir-muntir bagian depan rambutnya. “Aku bisa tahu dari mana, yaaa?” tanyanya balik. Malah seperti berputar-putar.
“Ah, ya sudahlah. Aku tidak mau mendengarkan pendapat yang tidak masuk akal dari anak kecil seperti kamu,” kata Day sambil beranjak dari meja makan. “Rivaille (nama dari kecerdasan buatan IT’s Chamber System yang mengurus bagian ruang makan), tolong bereskan semua ini!” perintahnya.
“Siap sedia, Master Day,” jawab Rivaille ramah. Suaranya mengambil tone warna suara laki-laki yang berusia sekitar dua puluh lima tahunan.
“Kamu sendiri itu anak kecil, Day!” balas Night gemas sambil mencekik leher tubuh virtual dua puluh satu tahun Day.
Day langsung membalik tubuh dan balas mencekik leher Night. “Usiaku itu empat puluh delapan hari tiga belas jam empat puluh dua menit lima puluh enam detik sebelas mili detik delapan mikro detik tiga nano detik dan enam zepto detik lebih tua dari kamu tau!” balasnya emosi.
Tiba-tiba tubuh Night langsung jadi lemas. Day itu memang lebih kuat nyaris dalam hal apa pun dibanding dirinya. Tak ayal cekikan bercanda pun sanggup membuatnya merasa nyaris akan mati. “Uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk uhuk!”
"Jangan mati, Niiiiiiiiiiiiiiight!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Bangun! Bangun! Bangun!" teriak Day seraya menampoli wajah saudaranya itu.
Plak plok plak plok plak plok plak plok plok plak plok plak plok plak plok!!!
Hmm... apakah yang akan terjadi selanjutnya pada mereka? Apakah perasaan santai itu akan mampu bertahan lama?
Entahlah. Ikuti terus ceritanya!
T B C ~