The Butterfly’s Breath memutuskan untuk menyelenggarakan pameran keduanya usia Day telah menginjak sembilan tahun. Day kembali memperoleh popularitas yang tinggi. Dari hasil goresan-goresan tinta yang ia torehkan di atas kanvas. Mampu mendapatkan banyak pundi-pundi harta. Dan akhirnya dapat digunakan untuk membeli sebuah rumah beserta tanah.
Memiliki sebuah rumah dari hasil keringat sendiri merupakan hal yang tak pernah dua anak berusia sembilan tahun itu bayangkan sebelumnya. Namun, itulah yang terjadi pada hidup mereka. Itulah kenyataan yang harus mereka hadapi bersama saat ini.
Setelah pameran kedua The Butterfly’s Breath usai dan menghasilkan semua yang memang ia cari. Day merenungi sesuatu. Semua yang ia dapatkan memang berasal dari kekaguman orang-orang akan hasil karyanya. Seharusnya itu biasa saja. Namun, terasa ada yang tidak benar mengganjal di hatinya. Day merasa kehilangan jiwa sebagai seorang seniman sejati.
“Kalau aku melukis hanya untuk uang. Aku tidak merasa jadi seorang seniman yang sebenarnya. Itu akan membuatku merasa hanya jadi orang biasa yang mata duitan,” pikirnya, “Tidak ada sensasinya lagi. Tidak ada gairahnya lagi.”
Sejak saat itulah Day memutuskan untuk menerapi dirinya sendiri. Ia tak akan melukis kesetanan demi uang lagi. Ia berjanji akan mulai melukis dengan hati. Dengan jiwa. Sekalipun itu akan memakan waktu yang lama.
The Butterfly’s Breath sudah bertekad untuk menghembuskan nafas bagi setiap karyanya. Agar kelak karyanya pun mampu bernafas pula seperti kupu-kupu yang terbang di rindangnya taman. Diantara para bunga-bunga yang bermekaran.
Untuk semua itu Day pun memilih untuk merahasiakan identitasnya sebagai seorang pelukis terkenal. Dan mulai bekerja di Rumah Makan Keluarga Kahoku. Di sanalah ia mulai mendapat banyak inspirasi untuk lukisan-lukisan baru yang siap ia torehkan. Kehidupan, kematian, rasa kesal, benci, dongkol, cinta, persahabatan, penipuan, kemunafikan, penantian, kesabaran, semua itu.
Merupakan unsur kehidupan yang ia rangkum menjadi suatu karya seni bernama lukisan.
Sleet. Pintu terbuka secara otomatis. Night tampak sumringah dengan senyum seribu watt di wajahnya. Ia melangkah masuk dan duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ia amati Day yang tengah serius dalam pengerjaan lukisannya. Day tak menoleh ke arah Night. Day tak melihat Night yang sudah datang. Ia tetap asyik berkecimpung dengan pekerjaannya. Seolah janji bahwa ia ingin membicarakan sesuatu tak pernah ada.
“Aku rasa aku akan diangkat menjadi pegawai tetap di Ship Area,” beritahu Night terlebih dahulu. Karena bosan menunggu. Ia berharap kabar ini membahagiakan Day. Ia ingin membagi kebahagiaan yang tengah ia rasakan berkat dedikasi hakiki.
“Oh,” respon Day pendek. Seolah tak tertarik.
Night bangkit dari duduknya dan beranjak keluar dengan tenang. “Lebih baik aku istirahat. Kelihatannya juga kau sedang sibuk.”
“Istirahat atau sibuk dengan buku-buku fisikamu itu sampai pagi?” tanya Day sinis dengan pandangan tajam.
Night tak jadi menutup pintu ruang kerja Day. “Day, malam ini kau aneh,” balasnya heran.
“Aku sedang heran saja. Padahal kamu kan tidak sekolah. Untuk apa belajar Fisika sampai seperti itu?” tanya Day.
“Aku memang suka Fisika, Day,” ucap Night tenang. Berusaha memberi pengertian. Tak ikut bernada tinggi seperti Day.
Day tak menghentikan atau beralih sedikit pun dari pekerjaannya. Ia berkata lagi, “Kalau begitu tidak kamu usah bekerja. Kamu pergi sekolah saja dan pelajarilah Fisika kesayanganmu yang tercinta itu,” sarannya.
Night menghela nafas panjang, fiiuuhh. “Apa yang kau ucapkan benar-benar melantur, Day. Aku mau tidur saja, deh,” putusnya.
“Tidur saja. Toh juga seluruh makalah dan semua buku setak maupun catatan fisikamu sudah aku buang,” beritahu Day ringan. Datar.
Night memutar langkahnya dan mengangkat kerah Day tinggi tinggi. Day sampai melepaskan palet yang tengah ia pegang. Pandangan mata anak itu tampak begitu tajam. Seperti mempertanyakan sebuah idealisme.
“Day…” geram Night.
“Aku ingin kamu pergi ke sekolah seperti anak lain. Berhentilah dari pekerjaanmu. Hiduplah dengan normal. Kamu itu dasarnya manusia normal, Night,” ucap Day serius.
“Apa yang kamu maksud dengan kenormalan, Day?” tanya Night tak mengerti.
Day melepas cengkraman tangan Night dari kerah pakaiannya. Mengangkat satu jari telunjuknya. Menunjuk ke langit-langit di atas mereka. “Aku telah menemukan sebuah rumus yang jelas untuk mengukur sebuah kenormalan. (m) adalah jumlah massa. (mi) adalah jumlah minoritas. Dan (k) adalah ketertarikan. Jika (mi) ditambah (k) hasilnya lebih kecil dari (m), hasilnya adalah (w). Namun, jika hasilnya sama atau lebih besar berarti itu (e),” jawab Day. Ia melanjutkan, “Para anak-anak CP atau Child Prodigy itu adalah mereka yang berada di dalam kurva (w). Itu juga yang jadi penyebab mengapa aku tidak bisa pergi ke sekolah formal seperti anak pada umumnya. Tapi, kamu tidak seperti itu, Night,” terangnya.
Night mendekat ke arah Day yang ia rasa semakin tidak waras. “Apa yang kau maksud dengan kita tidak sama, Day? Kita berada dan tumbuh di panti asuhan yang sama. Tempat yang mengasuh para anak-anak CP. Kita itu kan…” Dipegang dahinya kehabisan kata.
“Kita berdua itu sangat berbeda, Night. Sangat sangat berbeda sekali. Kamu bukan seorang anak CP. Aku memahaminya betul. Dan saat ini aku hanya ingin kamu menjalani kehidupan dengan normal seperti manusia pada umumnya. Itu saja. Simple. Mudah. Sederhana sekali. Jangan coba untuk mengikuti aku yang (w) ini!” balas Day meninggikan oktaf suaranya.
Night mendorong tubuh Day semakin tidak paham. “Aku akan tetap pergi bekerja. Mengumpulkan uang dan kekuatan dengan kemampuanku sendiri. Masalah bagaimana masa depan yang akan aku jalani kelak… semua itu urusanku sendiri. Bukan urusanmu, Day,” balasnya.
“Aku mohon sekali, Night! Tugas kita sebagai saudara adalah saling bergantung, bukan.” Bergantunglah padaku. Sandarkanlah pundakmu di tubuhku. Aku membutuhkan tujuan yang lebih jelas untuk terus melukis. Untuk terus bekerja di Kahoku. Hidupku membutuhkan tujuan yang lebih jelas timbang lukisan di atas kanvas, batin Day.
Night terdiam sejenak mendengar penuturan Day. Day memiliki harapan yang besar pada satu-satunya keluarga dan sahabat sejatinya itu. Day ingin Night melakoni kehidupan normal seperti anak pada umumnya yang tidak berada pada kurva (w). Day juga ingin "merasakan" kehidupan yang normal. Walau tidak langsung menggunakan mata dan tubuhnya sekalipun.
Ia hanya ingin Night mengerti dan memahami semua itu. Namun, akankah ia dapat mengerti? Akankah ia akhirnya bersedia untuk menekan ego dirinya demi Day? Tidak ada yang tau. Night belum mengucapkan satu patah kata pun.
Useless. Tidak akan ada gunanya. Atau... akankah jadi ada gunanya?
Entahlah. Semua hal bisa saja terjadi. Ikuti terus ceritanya!
T B C ~