Day dan Night 3

978 Kata
Night menggelengkan kepalanya pelan. “Bukan saling bergantung, saudaraku. Tapi, saling membantu. Aku akan membantumu. Selalu membantumu dalam kondisi apa pun dan bagaimanapun juga,” koreksi Night. Ia melanjutkan, “Aku sudah bukan anak kecil yang dulu. Anak kecil lemah yang selalu membutuhkan uluran tangan orang lain dan juga bantuan. Kini aku adalah Kishi Kai. Nama yang melambangkan pasang surut kehidupanku sejak lahir. Nama yang melambangka kegelapan.” Tubuh Day terjatuh ke lantai. Ia bertumpu pada lututnya. Rasanya lukisan yang akan ia hasilkan mulai saat ini akan cacat. Night bersila di depan Day. Ia memandang langit-langit yang berwarna putih bersih. “Akan aku ceritakan sebuah kisah tentang seorang anak kecil yang kehilangan kedua orang tuanya. “Setelah kehilangan satu-satunya pelindungnya di dunia. Ia berniat untuk melakukan suatu perjalanan untuk pencarian jati diri. Namun, ia malah berakhir dengan ditipu oleh kepercayaannya sendiri. “Anak itu bertemu dengan seseorang yang ia pikir akan membantunya. Meringankan perjalanannya. Namun, ternyata orang yang baru ia temui itu malah menggiring jalannya menuju ke neraka. Di neraka itu si anak tak berhak untuk mati. Penuh susah payah dan rasa sakit ia terus harus hidup. Walau hidupnya menanggung suatu penderitaan yang berat sekalipun.” Day tak bisa berkedip menatap kedua bola mata Night yang gelap, jernih, dan berkilau seperti air lautan dalam yang tengah memantulkan cahaya rembulan malam. Keindahan tampak seperti kesucian yang selalu berusaha untuk ia jaga. Night berkata lagi, “Itulah yang harus kamu lakukan sekarang. Untuk membantu anak itu keluar dari neraka yang kadung menjerat hidupnya. Lukislah suatu pemandangan dunia baru yang menanti anak itu. Sebuah lukisan berjudul Night’s Requiem!” ucap Night seraya merentangkan kedua tangannya di udara. Lalu, menjatuhkan tubuh ke atas kasur kecil yang memang ada di sana untuk tempat istirahat Day. Tubuh Day langsung bergetar mendengar penuturan Night. Ucapan saudaranya. “Oposisi” sekaligus pelengkapnya. Langsung ia lempar lukisan yang belum selesai ia kerjakan tadi ke lantai. Ia ganti dengan kanvas kosong yang masih bersih. Ia akan memulai sebuah dunia baru. Hasrat baru. Gairah baru. Keyakinan dan gelora semangat yang baru. Tentu saja di dalam lukisan yang baru. “Aku senang kamu sudah kembali semangat,” senyum Night yang berdiri di sisi Day. “Ngomong-ngomong… kamu tidak serius kan soal membuang semua buku dan catatanku?” tanyanya kemudian. Day menghentikan gerakannya. Sebelah tangannya beranjak memegang dagu. “Tadi kutaruh di tong sampah. Berdoa aja belum dibawa ke pembakaran akhir,” jawabnya santai. Mendengar itu membuat Night segera memacu langkahnya secepat kilat menuju tong sampah kediaman mereka. Di tong sampah ia sama sekali tak menemukan buku-buku maupun catatannya. Sisa-sisanya pun tidak ada. Ia segera bergegas balik langkah kembali ke ruang kerja Day. “K-Kok tidak ada, ya? Aku lihat di jadwal pengambilan kan seharusnya robot sampah baru datang besok pagi,” tanya Night panik nyaris menangis putus asa total. Day memegang dagu. Bertampang sedikit ragu. Dinaik turunkan dagunya beberapa kali berusaha mengingat-ingat. Biar jenius sekalipun Day itu terkadang punya ingatan yang seperti ikan dori.  “Apa mungkin tadi aku taruh di gudang dulu, ya? Iya tidak, ya? Hmm… kenapa aku tidak yakin.” “Gudang, ya?” tanya Night. Ia segera balik langkah lagi. Kali ini menuju gudang kediaman mereka. Namun, ia tak menemukan satu pun barang kesayangannya di sudut mana pun ruangan itu. Tungkainya mulai lemas. Air matanya menetes perlahan. Tak ia sangka perjuangan kerasnya mengikuti beragam lelang buku-buku Fisika peninggalan ilmuwan-imuwan terdahulu berakhir begini nestapanya. Begini tak ada artinya. Sungguh merana… “Daaaaaaaaaaaaaaay!” pekik Night bak kerasukan jin tomang. “Sebenarnya bukan aku taruh di gudang, tapi aku taruh di loteng!” balas teriak Day. Night kembali berlari dengan semangat empat lima para pejuang negeri ini saat memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Ia telusuri loteng kediaman mereka yang lumayan kotor dan berdebu. Yang pun ternyata kosong melompong tak ada isinya. Hanya ada debu dan rasa dongkol Night di sana. “Daaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaayyyyyyyyyyyyyyyy!!! Daaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaayyyyyyyyyyyyyyyy!!! DAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAYYYYYYYYYYYY!!!” pekik Night lebih lebih dan lebih kencang lagi. Day yang masih santai di ruangan kerjanya malah asyik tertawa kecil. Polos sekali sih anak itu. Buat gemas saja, batinnya sambil menikmati respon Night yang nyaris selalu memuaskan ketika dikerjai seperti apa pun juga. “Lebih baik kamu istirahat sekarang, Night! Sudah sangat malam ini. Besok bisa kamu cari lagi,” usul Day. Dengan kaki gempor karena lari-lari bolak balik ke sana kemari mengitari kediaman mereka yang cukup luas. Dengan emosi dan rasa khawatir. Ditambah sekujur tubuh yang lelah setelah seharian dipakai bekerja. Night pun kembali ke kamarnya dengan paket lengkap 5L (lunglai, lemas, lemah, lesu, lelah). Lampu kamar akan secara otomatis menyala jika mendeteksi keberadaan manusia di dalamnya. KLIK. Dan Night melihat seluruh buku-buku serta catatan Fisika koleksi kesayangannya masih utuh tuh di rak dan di atas meja. Separuh nyawanya terasa terbang melayang tinggi menembus angkasa. Duk. Night pun terjatuh di kedua lututnya. “Chevy, siapa manusia yang masuk ke kamarku sebelum aku hari ini?” tanya Night ke IT’s Chamber System (semacam teknologi Artificial Intelligence) yang mengurus kamarnya datar. Dongkol. Emosi. Kesal. Mendidih sampai suhu maksimal. Semua berkecamuk jadi satu sampai rasanya siap meledakkan sebuah gunung berapi. “Tidak ada yang masuk ke dalam kamar ini, Master Night. Master Night selalu menjadi orang pertama dan terakhir yang memasuki kamar ini sejak… satu minggu yang lalu,” jawab Chevalier, nama resmi dari IT’s Chamber System kamarnya. “Bagaimana dengan Day?” tanya Night lagi. “Tidak ada laporan identifikasi tanda-tanda kedatangan Master Day, Master Night,” jawab Chevalier dengan intonasi bicara yang manusiawi. Tak seperti intonasi robot kaku zaman dahulu. “Apa aku sudah… dikibulin…?” ratap Night hampa ke langit-langit kamar yang sengaja ia tempeli bintang-bintang yang akan glow in the dark. “Sepertinya boleh dibilang seperti itu, Master Night. Tapi, ayolah, ini kan sudah biasa. Anda tidak perlu terlalu syok lagi... bukan?” respon Chevalier berusaha menghibur majikannya. "Kh... kh... kh... kh... kh... kh... kh..." respon Night berusaha tertawa. Tapi, yang keluar dari mulutnya malah hanya suara seperti orang yang sedang sesak nafas. Langsung ia jatuhkan tubuhnya di kasur. BHUG. Tak ingin peduli pada apa pun lagi. Semua hal di dunia ini... Day... terserah lah, batinnya sebelum terlelap. Hari ini pun berlangsung seperti hari-hari "biasanya" untuk dua orang anak yatim piatu tanpa identitas asli yang jelas itu. Bagaimanakah hari mereka akan berakhir ke depannya? Entahlah. Semua hal bisa saja terjadi. Ikuti terus ceritanya! T B C ~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN