Kencan Pertama Mereka 1

1078 Kata
Di hari yang telah ditentukan untuk Jun dan Iida. Jun adalah pria yang baik. Sangat baik bahkan. Namun, memang terkadang ia terlalu kolot pada perasaannya sendiri. Ia tak pernah coba untuk memulai suatu hubungan romantis yang serius dengan seorang pun wanita. Ia selalu berpikir bahwa semua hubungan antara keturunan Adam dan Eve itu adalah bencana. Awal suatu bencana. Dan tentunya akan berakhir sebagaimana bencana juga. Sama seperti Adam yang bertemu dengan Eve. Hingga membuatnya sampai di usir dari surga. Bahkan jika itu bukan cinta. Walau tanpa seorang pun ketahui… ada sebuah alasan penting yang menaungi semua keputusan yang ia buat itu. Jun selalu berusaha untuk menyembunyikan sisi terburuknya sebagai manusia. Demi untuk terus terlihat dewasa dan bahagia di mata semua orang. Ia sama sekali tidak ingin kalau simpangan yang terjadi di dalam pikirannya diketahui oleh orang lain. Ia tak ingin ada seorang pun yang melihat sisi buruknya. Sisi gelapnya. Sisi busuknya sebagai manusia. Jun juga sangat membenci namanya. Nama Jun adalah kenangan lama yang kalau bisa ingin cepat ia buang ke dalam black hole. Jun adalah seutas nama yang terus mengiringi rasa sakitnya akan masa lalu. Namun, di hari itu… Dua tahun yang lalu ketika Jun baru saja bergabung dengan Rumah Makan Keluarga Kahoku. Ia dipertemukan dengan Bright, seorang koki junior sama sepertinya. Tanpa menanyakan, tanpa basa-basi, pemuda berwajah ramah itu langsung memanggilnya dengan nama Jun. “Jangan pernah kau panggil aku dengan nama itu!” larang Jun ketus. “Tapi, aku suka nama Jun,” respon Bright tak peduli, “Bukankah itu nama yang bagus? Terdengar simple, keren, dan mudah diingat. Tidak masalah, ‘kan?” tanyanya. Uuukh, orang Thailand enak amat sih namanya hanya teriri dari satu suku kata. Jadi tidak bisa disingkat-singkat lagi, deh, batin Jun kesal. Sejak itu ia pun dipanggil dengan nama Jun oleh semua orang di Rumah Makan Keluarga Kahoku. Tak bisa menolak bukan berarti menerima. Dan Jun pun terus menjalani hidupnya dalam identitas palsu sebagai seorang Jun. ß ß ß Hari ini Jun dan Iida kompakan sama-sama pulang lebih cepat untuk melakukan persiapan rencana agung "mereka". Jun tidak akan pulang ke apartemen mewah miliknya. Melainkan ke rumah sederhana sewaan Bright. Sejak peristiwa menggemparkan tempo hari. Bright sudah mengizinkan Jun untuk menumpang sejenak di tempat tinggalnya. Jun mengendarai mobil Bright dengan hati-hati. Pikirannya sedang berkecamuk tidak jelas saat ini. Ia telah melakukan sumpah untuk tak akan pernah jatuh cinta sepanjang hidup. Mungkin boleh saja kalau ia digandrungi oleh banyak wanita. Karena kemolekan tubuhnya yang bukan hanya tinggi serta atletis. Namun, juga berkulit cerah dan tampak tegap. Serta keindahan wajahnya yang bagai diukir oleh Dewa Dewi dalam mitologi lama. Hidung yang mancung, dagu yang bagus, rahang yang tegas, bibir yang seksi, alis yang panjang dan tebal, kedua mata yang tajam, dahi yang bagus, dan rambut yang berponi stylish, tapi tidak norak. Semua keindahan serta pesonanya. Namun, tak ada yang bisa membuatnya menyeriusi “semua” itu. Makanan kucing bernama cinta. Termasuk dengan Iida. Itupun kalau wanita itu memang benar-benar memiliki rasa dengannya. “Cih, benar-benar merepotkan. Semoga saja itu tidak benar,” doa Jun sepenuh hati. Di rumah Bright. Jun sedang bersiap-siap dengan pakaian seadanya. Ia tak akan pernah berdandan sampai dua jam seperti di film-film atau drama romantis. Hanya untuk sebuah kencan yang menurutnya sama sekali tidak penting. Ia hanya ingin selalu terlihat apa adanya dan tak mengada-ada. Satu jam kemudian di salah restoran bintang empat yang sudah Iida reservasi untuk acara agung hari ini. Rumah Makan Sadajiwa namanya. Iida sendiri sudah dandan maksimal selama lebih dari tiga jam. Menata rambut. Menata make up sesempurna mungkin. Mengenakan gaun seharga tiga puluh lima ribu PURI (Persatuan Uang Republik Indonesia: di masa ini rupiah sudah tergerus inflasi dan digantikan dengan redenominasi mata uang yang membuat seribu PURI kira-kira setara dengan sekitar dua puluh lima juta rupiah di awal abad dua puluh satu) berwarna merah muda. Dan juga sepatu high heels hitam yang harganya tidak kurang dari setengah harga gaunnya. Iida sudah sangat siap menghadapi kencan pertamanya dengan Jun. Laki-laki yang sudah lama ia puja. Jun adalah seorang laki-laki yang cuek bebek. Bisa jadi ia sendiri malah tak menyadari jika ini adalah suatu kencan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang harusnya berlangsung dengan romantis seperti di n****+-n****+. Tapi, ya sudahlah. Tak apa. Sepuluh menit menunggu akhirnya Jun tiba. Dalam anggapan Jun sendiri ia datang dengan penampilan yang paling sederhana. Hanya menggunakan kaus dan blazer berwarna gelap. Celana bahan dan kets. Namun, di dalam pandangan Iida… ia sangat tersentuh pada cara Jun berpakaian untuk menghadiri kencan ini. Kets yang dia pakai untuk membungkus kaki indahnya… bermerek. Kaus yang dia kenakan untuk membungkus tuubuh indah roti sobeknya… branded. Blazer yang dia pakai untuk melengkapi penampilan sempurnanya… barang mahal. Aaakh… Sangat romantis…sekaligus ironis sampai Iida tau apa yang Jun pikirkan sebenarnya. “Apa kamu pengen kerja di restoran sebesar ini suatu saat nanti?” tanya Iida merujudk pada restoran mewah tempat mereka makan. “Sama sekali tidak, kok. Aku sudah senang dan merasa sangat cocok bekerja di Kahoku,” jawab Jun santai. Jawaban yang sangat menyejukkan hati dan menenangkan jiwa, batin Iida bahagia. “Memang apa penyebabnya? Kalau bekerja di sini kan gajinya pasti lebih besar,” tanya Iida. “Uang saja sih sama sekali tidak ada artinya buatku. Aku bekerja itu bukan untuk mendapatkan uang. Atau menjadi orang kaya, kok. Harta itu sama sekali tidak penting untukku,” jawab Jun jujur. Iida langsung tersenyum sembari membatin mendengar jawaban Jun, ucapkan itu lagi kalau kau sudah jadi orang paling kaya di negara ini, bung. Ah, tapi ucapan dan sikap apa adanya itu memang sungguh seksi dan menarik. Tidak salah aku jatuh cinta pada orang seperti ini. Wa ka ka ka ka ka. “Apa… benar hanya itu alasannya?” tanyanya lagi. “Aku kasih tau kamu, ya. Kedua orang tuaku itu sebenarnya sama sekali tidak mengizinkan aku untuk jadi juru masak profesional. Apalagi sampai jadi juru masak papan atas di restoran mewah dan terkenal seperti ini. Bekerja di restoran keluarga yang sederhana dan sama sekali tidak terkenal seperti Kahoku adalah pilihan yang terbaik. Aku harap itu tidak akan mengundang curiga atau masalah apa pun ke depannya,” jawab Jun. tersenyum kecil, “Aku harap begitu, sih.” Hah? Yang benar? Aneh sekali, ya. Padahal semua yang Jun masak itu sangatlah berkelas dan enak. Rasanya tidak ada jenis masakan dari seluruh dunia ini yang dia tidak bisa buat. Cita rasanya pun pasti akan sangat luar biasa. Sayang juga kalau orang yang sebegini berbakatnya tidak menggunakan kemampuan dengan maksimal, batin Iida heran. “Iida,” panggil Jun melihat Iida banyak termenung setelah mendengar jawabannya. “Jun, apa mimpimu di masa depan?” tanya Iida. Apa pemuda yang tampak diam dengan pandangan kosongnya itu... memiliki mimpi? Entahlah. Ikuti terus ceritanya! Karena tak ada yang tau apa yang akan terjadi di akhir hari. T B C ~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN