Kencan Pertama Mereka 2

1111 Kata
Jun tersenyum hambar mendengar pertanyaan manajer setannya itu. Tidak seperti biasa di mana wajahnya akan selalu tersenyum tulus dan hangat. Membuat siapa pun yang melihat jatuh hati. Ia pun menjawab, “Kalau boleh jujur sebenarnya aku sama sekali tidak punya mimpi dalam hidup ini. Dan lagi… jangan panggil aku seperti itu jika kita tidak sedang di Kahoku, ya,” pintanya. “Memang apa penyebabnya? Bukankah namamu memang…” tanya Iida. Huff. “Namaku itu hanya Zainudin! Hanya karena Bright memanggil aku Jun. Kalian jadi ikut-ikutan jadi seperti dia. Aku sama sekali tidak suka dipanggil dengan nama itu,” jawab Jun memberi alasan. Setelah beberapa saat menunggu. Makanan mereka berdua pun datang. Makanan pesanan Jun dan Iida sangat berbeda rupanya. Semua pesanan Jun adalah hidangan yang terdapat makanan lautnya. Sementara Iida sendiri adalah seorang penggemar sayur mayur. Di sela kegiatan makan mereka. Jun membagikan sedikit cerita pribadinya. Dulu dia sangat alergi pada segala macam jenis seafood. Baru mengonsumsi masakan yang terdapat campuran seafood-nya saja. Padahal seafood-nya juga belum termakan. Sudah mampu menimbulkan reaksi alergi yang sangat luar biasa di tubuh Jun. Sampai bisa membuatnya kejang-kejang, keluar busa dari hidung, dan hilang kesadaran di tempat. Benar-benar sangat berbahaya. Pantangan besar. Makanan laut merupakan racun yang dibungkus oleh pakaian manis untuk Jun. Tapi, itu semua hanya cerita lama. “Lalu, bagaimana caranya sampai kau bisa memakannya seperti saat ini?” tanya Iida bahagia Jun yang cuek bebek sudah mulai membuka diri kepadanya. “Tentu saja dengan sedikit paksaan. Makanan laut adalah makanan sehat yang telah disediakan secara ‘gratis’ oleh alam. Ada banyak kerugian jika aku tak bisa mengkonsumsinya, ‘kan?” jawab Jun. Memaksa yang Jun maksud adalah meliputi beberapa tindak k*******n terhadap dirinya sendiri. Ia meminta orang tuanya untuk membelikan banyak makanan laut untuknya. Ia berjanji akan menghabiskan semua itu. Kalau sampai tidak bisa, kalian semua tidak perlu menganggap aku anak lagi! Setelah melewati proses panjang nan berdarah-darah penuh rasa sakit. Bolak balik masuk IGD. Dan beragam perasaan ingin dijemput oleh ajal. Akhirnya Jun pun mampu berhasil mengkonsumsi makanan laut tanpa reaksi alergi lagi. “Sangat sulit untuk menyembuhkan alergiku dengan melawannya dengan alergi itu sendiri. Butuh sekitar delapan tahun penuh untuk menyembuhkannya sampai benar-benar tuntas,” cerita Jun. Tersenyum kecil mengenang masa lalunya yang “suram”. “Itu sangatlah luar biasa. Apa kamu tidak mual jika melihat makanan laut?” tanya Iida antusias. Ia sangat suka melihat wajah Jun yang bukan hanya tampan rupawan sempurna seperti anak bangsawan. Tapi, juga seolah bercahaya dan enak sekali untuk dipandang. “Alergi dan phobia itu berbeda, Iida. Alergi adalah efek penolakan dari tubuh. Sementara phobia adalah efek penolakan dari pikiran. Sampai saat ini pun makanan yang jadi favoritku adalah makanan laut. Cerita yang indah, ‘kan? Dari benci jadi cinta,” jawab Jun. Selain soal masalah makanan laut… sepertinya Jun ini juga suka sekali makan, ya. Sudah delapan porsi olahan seafood di atas piring yang dia tandaskan. Wah, aku juga harus belajar masak makanan laut nih sepertinya. Agar bisa memenangkan hatinya, khu khu khu, batin Iida tersenyum simpul melihat meja mereka yang dipenuhi oleh banyak piring bekas makanan laut favorit Jun. “Iida, apa kamu tidak mau nambah?” tanya Jun sambil menggerogoti daging kepiting. Lihat kamu makan saja aku sudah kenyang. “Kalau aku sih sepertinya sudah cukup,” jawab Iida seraya mendorong piring kosongnya dengan raut jaim ala ala. “Tapi, jarang-jarang lho bisa makan enak seperti ini,” ucap Jun. Iida jadi semakin geregetan. Uukh, Jun-ku yang keren ke mana, nih? Kenapa dia jadi seperti orang udik yang tidak pernah makan makanan enak begitu, sih, batin Iida risih. Petualangan kuliner Jun akhirnya usai di piring ke sembilan. Jun mengaku masakan restoran itu sangat enak dan patut untuk direkomendasikan. Ia juga memuji Iida yang mengetahui ada restoran dengan olahan makanan laut seenak itu. “Ini bonnya, Tuan, Nyonya,” kata pelayan restoran di meja keduanya seraya menunjuk ke sebuah layar hologram melayang. Iida segera mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk membayar semua makanan mereka malam itu. Sepuluh lembar pecahan seribu PURI. Ia sendiri merupakan orang yang paling anti pakai kartu-kartuan atau uang digital. “Maaf, tapi biar saya saja yang bayar semua ini,” cegah Jun ketika Iida ingin menyerahkan uangnya. Karena Jun juga berpartisipasi dalam bursa efek. Lebih praktis untuknya menggunakan uang digital. “Zainudin, gaji kamu bulan ini kan belum keluar,” bisik Iida, “Yang mengajak kamu juga kan aku,” ucapnya lagi. Selain itu harga dirinya sebgai atasan Jun juga jadi sedikit tercoreng. Jun ini kan gajinya sebagai juru masak di Rumah Makan Keluaga Kahoku tidak seberapa. Ya masa disuruh membayar makan dua orang di restoran semewah itu. Tidak, tidak, tidak, Jun. Aku tidak ingin membebanimu. Perasaanku padamu itu tulus siapa pun dan bagaimanapun kamu, batin Iida berbunga-bunga. “Tenang saja, Iida. Efek sekarang ini sedang bullish, nih,” jawab Jun santai. “Tapi, kamu tetap tidak boleh bersikap boros,” nasihat Iida. Keduanya pun beranjak menuju kendaraan masing-masing di gedung parkir. “Biar saja boros. Yang penting aku tidak merepotkan siapa pun di dunia ini,” jawab Jun. Raut wajah ceria dan santai pemuda itu mendadak berubah jadi serius ketika mengatakan bagian terakhir. “Orang tuamu sendiri tinggal di mana?” tanya Iida. “Di Jakarta, sih,” jawab Jun. “Padahal lebih dekat kalau tinggal dengan orang tua saja, ya,” balas Iida. Padahal dalam hatinya sendiri ia membatin, aku bicara begini bukan berarti tidak senang karena Jun tinggal di Bogor. Ingin sok simpatik saja. Khu khu khu. Semoga citra diriku semakin bagus di mata Jun. “Kalau untuk perempuan mungkin memang seperti itu. Tapi, kalau laki-laki ya inginnya pasti agar bisa hidup sendiri, dong. Malu juga lah sama anak kecil seperti Aland,” balas Jun. Saat ini seluruh gedung parkir di Bumi telah menggunakan suatu sistem bernama E Car (Elevate Car). Itu adalah model gedung parkir yang tak harus membuat pengemudi pusing mencari tempat parkir. Tinggal masukkan saja mobilnya. Kalau tempatnya masih ada. Mobil akan diangkut menuju posisi yang kosong. Sementara kalau tidak ada akan ditolak oleh sistem. Prinsip kerjanya mirip dengan mesin katrol lanjutan yang ada di Ship Area. Jun mengambil mobilnya terlebih dahulu. Ketika Iida hendak mengambil mobilnya ia berteriak kaget, “Kunci mobilku tidak ada!” “Aku akan kembali. Akan aku minta restoran mencarikan kuncimu,” tawar Jun. “Tidak perlu, Zainudin. Sebaiknya kamu pulang saja. Akan aku selesaikan masalah ini sendiri. Aku akan pulang naik taksi. Akan aku urus pencarian kuncinya besok,” tolak Iida halus. Tanpa banyak kata Jun mengangkat tubuh Iida dan menggendongnya ala tuan putri di bagian depan tubuh. Wajah Iida langsung dipenuhi semburat merah. Deg deg deg… Dadanya berdetak dengan begitu kencang. Semoga Jun tidak menyadari apa yang tengah terjadi padanya. Jun memasukkan Iida ke kursi depan mobil milik Bright yang ia bawa. Ia pun segera menaiki kursi kemudi dan tancap gas menuju rumah Iida di Bogor. “A-Akan aku beri sanksi sama kamu sampai menceritakan hal ini pada pekerja lain. Ingat, ya!,” ancam Iida malu-malu kucing. “Kebetulan ada yang ingin aku ambil di apartemenku. Sesekali kasih tumpangan ke manajer setan kayak kamu juga kayaknya tidak masalah,” respon Jun santai. “JUUUNN!!!” pekik Iida seraya memukuli manja lengan atas Jun. Jun tertawa renyah, “Aha ha ha ha ha ha ha ha!” T B C ~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN