Sekarang masih jam enam sore. Day, Cornelia, dan pegawai lain melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Dari meja yang tengah Day bersihkan. Ia mengamati meja si Nyonya beserta sisa makanan di atasnya. Nyonya itu telah pulang. Day berharap ia tak pernah kembali lagi ke rumah makan tempatnya bekerja lagi.
Day tergerak untuk menghampiri pekerja yang sedang membersihkan meja itu.
“Dia selalu mesen banyak makanan dan makan kayak orang kesetanan. Aku nggak nyaman sama kebiasaan itu,” curhat Day galau.
“Jangan terlalu perasa sama pelanggan kamu! Nggak ada mereka nggak makan kita,” nasihat Brotho tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.
Day langsung gemas mendengar respon Brotho, “Badannya segede gentong, Mas! Aku hanya kasihan sama anaknya kalau sampai dia mati muda.” Ah, mikir apa sih aku. Ngapain juga mikirin anak orang. Orang tua aja aku nggak punya, batin Day menyadari kekhilafannya.
“Gimana kalau dia sebenarnya tidak punya anak?” tanya Brotho.
“Itu sama sekali tidak mungkin, Kak. Aku ini sudah tahu sekali apa bedanya badan seorang perawan, badan seseorang yang sudah punya suami, sudah punya suami tapi belum punya anak, dan tidak lupa yang sudah punya suami dan sudah punya anak,” sahut Aland membusungkan d**a percaya diri pada kejelian mata dan pikirannya.
Mendengar pengakuan temannya satu itu Brotho sampai memundurkan kepala heran. Anak ini sebenarnya umur berapa, sih, batinnya.
“Kenapa Kak Brotho jadi begitu wajahnya? Speechless, ya?” tanya Aland semakin besar kepala. Ia colek ujung hidungnya untuk “penyemarak” suasana. Mantap.
“Akan aku ceritakan kenapa dia bersikap seperti itu,” kata Brotho sambil mendorong punggung Day menuju pantry. Day itu masih anak-anak. Masih bocil. Brotho mengerti kalau ia membutuhkan “penanganan khusus”.
“Sebenernya beberapa hari lalu aku ketemu dia. Wanita itu bernama Wiwit Sulastri. Kami berpapasan saat sedang mengantri di gate stasiun R-Link,” buka Brotho dengan raut sedih. Tiba-tiba ia menundukkan wajahnya. Matanya nampak berkaca-kaca.
“Lalu, apa yang terjadi?” tanya Day.
“Suami dan anaknya baru meninggal, Land! Dia sebatang kara sekarang. Dia pasti makan banyak untuk menjaga kesehatannya. Setelah semua anggota keluarganya pergi… berat badannya langsung turun lima puluh kilo, lho!” cerita Brotho berapi-api dengan emosi ekstra.
“Dramatis sekali,” komentar Day. Sebenernya yang dramatis bukan cerita Bu Wiwit Sulastri. Tapi, lebih kepada cara Brotho menceritakannya. Penuh penghayatan begitu.
Setelah yakin Aland mulai terbawa pada kisah karangannya. Brotho mulai berlagak menyeka air mata. “Iya, ‘kan? Itu kenapa kamu harus selalu baik sama dia,” pungkasnya sambil menepuk punggung Day.
“Ternyata di balik suatu kejadian. Terdapat suatu cerita menyakitkan,” komentar Day. Ia minta izin untuk lanjut bekerja pada Brotho. Dan ia langkahkan kakinya menuju gudang untuk memeriksa stok bahan makanan dengan perasaan yang lebih tegar.
Seorang pekerja yang kebetulan mendengar cerita Brotho pada Day menghampiri Brotho.
“Emang kamu beneran ketemu sama si Nyonya?” tanya pekrja itu.
“Tentu saja tidak. Aku bicara seperti itu hanya agar dia tidak merasa terbebani saja saat melayani pelanggan,” jawab Brotho santai.
“Benar juga. Hanya Aland yang sanggup menunggu pesanan ibu-ibu itu sambil terus senyum secerah mentari,” komentar pekerja bernama Kristof itu.
Brotho langsung merangkul pundak Kristof dan keluar dari pantry. “Tentu saja,” senyumnya lima ribu watt.
Wahh, ternyata ada udang di balik bakwan pada Aland.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya? Akankah kebohongan Brotho akhirnya terungkap? Bagaimana dengan Aland sendiri?
Entahlah. Ikuti terus ceritanya!
T B C ~