Tara dapat merasakan rasa ngilu di sekujur tubuhnya. Menangis semalaman hingga tertidur dalam posisi duduk membuat tubuhnya sakit bukan main. Tara merenggangkan tubuh dan meantap sendu makanan yang disiapkannya tak tersentuh sama sekali. Hatinya pedih bukan main, sakit yang teramat pilu, hingga mengalahkan sakit di sekujur tubuhnya. Tara tersenyum miris, cinta lelaki itu telah lama mati. Hanya dirinya yang masih mendamba dengan bodohnya.
Dengan tubuh yang lemah Tara mulai membersihkan meja makan, membuang semua makanan yang telah dimasaknya sepenuh hati. Air matanya kembali tumpah seraya membersihkan bukti-bukti dimana dirinya tak lagi diinginkan, dirinya hanyalah istri yang tak dianggap, dan dia telah kehilangan hal yang paling disukainya—cinta Abimanyu.
Setelah membersihkan meja makan, Tara segera berjalan ke kamar untuk membersihkan diri. Ia membuang dress yang khusus dibelinya untuk acara kemarin malam ke dalam tong sampah yang ada di kamar mandi. Ia benci melihat gaun itu, ia benci akan dirinya yang masih begitu mendamba, dan ia benci akan hatinya yang kian hancur. Kaki Tara terasa begitu lemas dan dirinya terkulai di lantai kamar mandi. Isak tangisnya kembali terdengar, ia melipat kaki, dan memeluk kedua kakinya eart-erat. Dirinya kembali tenggelam dalam kesedihan, tak ada lagi yang tersisa untuk dirinya. Ia yakin, lelaki itu memang tak lagi mencintainya.
Menit demi menit telah berlalu, Tara kini telah berpakaian rapi dan siap untuk pergi kerja. Ia memanut dirinya di cermin, mengusap wajahnya yang tak semuda dulu lagi. Ia tersenyum miris, merasa jika kecantikan yang dimakan usia lah yang membuat jarak terbentang di antara mereka. Jika cinta hanya tentang rupa semata, lalu untuk apa dua orang yang dimabuk cinta harus menikah? Toh, pada akhirnya kecantikan luar bisa menghilang.
Suara pintu kamar yang terbuka membuat Tara tersenyum tipis. Ia tak mau lagi bersusah payah menoleh ke sumber suara, dirinya takut tak mampu mencegah diri untuk tak menangis di hadapan lelaki itu. Bila lelaki itu memilih mengabaikannya, maka ia pun harus mulai terbiasa untuk tak lagi menganggap lelaki itu ada. Ia sudah sangat bersabar, mungkin memang rasa bosan dan membuat kebersamaan mereka tak lagi berarti apa pun. Apalagi bayangan seorang wanita memeluk suami itu erat masih terus terbayang di benak Tara.
Lelaki itu berjalan melalui meja rias. Tara mengabaian, ia segera menyambar tas kerja yang ada di tempat tidur dan hendak beranjak pergi, namun urung saat lelaki itu memanggil namanya. Tara menghentikan langkah tanpa menoleh.
“Kamu marah padaku?” tanya lelaki itu merasa tak berdosa. Tara tersenyum miring.
Marah? Apa amarahnya akan berpengaruh untuk lelaki itu? Haruskah ia tak marah, bila terus-terusan dikecewakan? Haruskah ia seperti biasa, berlagak bahagia, tersenyum, dan memohon, sedang lelaki itu semakin mengabaikannya.
“Apa ada gunanya kalau aku marah?”
Tara menunggu, namun tak menerima respon apa pun dari lelaki itu. Tara tersenyum dan beranjak pergi. Air matanya kembali jatuh. Dirinya hanyalah manusia biasa, yang tentu saja bisa merasakan amarah. Ia bukanlah malaikat, ia hanya manusia lemah pada umumnya. Yang bisa bersedih, menangis, dan marah. Tak bisakah lelaki itu menyadarinya? Tak bisakah lelaki itu melihat jika dia sama saja dengan manusia normal lainnya yang akan kesal saat dikecewakan berulang kali. Sejak setahun yang lalu, dia merayakan ulang tahun pernikahan seorang diri. Awalnya, ia bisa mengerti dan memaklumi, namun untuk yang kedua kalinya lelaki itu melakukan hal yang sama, membuat Tara yakin, pernikahan mereka tak lagi bisa diselamatkan.
Menit demi menit telah berlalu. Tanpa terasa jam makan siang telah tiba, Eve, karibnya meminta bertemu di restoran dekat kantor Tara. Wanita itu mengatakan ada hal penting yang tak bisa ditunda untuk diberitahukan kepada Tara. Tara yang penasaran pun menyanggupi untuk bertemu, walau sebenarnya, ia tak ingin bertemu dengan siapapun saat ini.
“Mbak Tara mau makan di luar?” pertanyaan itu menghentikan Tara yang hendak menyambar dompetnya yang ia letakkan di atas meja. Tara tersenyum pada wanita yang tampak cantik mengenakan dress biru selutut yang dipadukannya dengan blazer hitam.
“Iya, mau ketemu temen sekalian,” ucap Tara segera mengambil dompet dan mengecek barang pribadi yang harus ia bawa untuk menghabiskan jam makan siangnya bersama Eve. Tara lalu menoleh ke arah Dania yang kini sudah berdiri di sampingnya, tampak ingin keluar juga.
“Kamu juga makan di luar?”
Dania mengangguk. “Iya, Mbak. Ada janji sama temen.”
Tara mengangguk, lalu mengangkat tangan ke udara. “Aku duluan kalau begitu.”
Dania mengangguk dan ikut melambaikan tangan. Ponsel Tara bergetar dan nama Eve terpampang pada layarnya, Tara mengatakan jika dirinya dalam perjalanan ke tempat yang telah mereka sepakati, lalu panggilan terputus. Tara tak mengerti hal serius apa yang ingin disampaikan sahabatnya itu, hingga terlihat begitu mendesak. Wanita itu terus memaksa untuk bertemu, membuat Tara menjadi penasaran setengah mati.
Tara menyapu sekeliling ruangan dan tersenyum begitu matanya menangkap sosok wanita berambut sebahu yang tersenyum sembari melambaikan tangan padanya. Tara membalas senyum itu dan segera berjalan mendekat.
Restoran tempat mereka bertemu bernuansa comfy, dengan lantai yang d******i kayu, dan juga bingkai-bingkai foto yang digantung pada dinding, tanaman hidup pun menghiasi setiap sudut ruangan, menjadikan tempat ini ramai saat jam makan siang. Selain tempat yang enak untuk menghabiskan waktu, makanan di tempat ini pun sangat lezat, terutama Sop iga sapinya. Beruntung Eve yang seorang ibu rumah tangga itu datang sebelum jam makan siang dan menempati kursi, jika tidak, mereka akan kehabisan tempat duduk.
Eve berdiri begitu Tara sudah berdiri di samping meja, ia memeluk erat sahabatnya. “Kamu udah lama, Eve?” tanya Tara seraya duduk di hadapan Eve, wanita itu kembali duduk.
“Lumayan, tapi aku rela menunggumu seumur hidup.”
Tara tertawa. “Udah nikah juga masih suka ngegombalin aku. Mending laki sendiri yang digoda, biar nggak dipikir belok.”
Eve tergelak mendengarkan perkataan sahabatnya. Eve adalah seorang yang mudah bergaul. Semenjak SMA ia mengenal Tara dan langsung menjadi dekat, keduanya seakan tak terpisahkan, hingga beredar gosip jika keduanya adalah sepasang lesbian.
“Lebih enak godain kamu.”
Tara menggeleng-geleng. “Udah pesen makanan?”
Eve menggeleng, lalu Tara memanggil seorang pramusaji dan menyebutkan pesanan mereka. Si pramusaji mencatat dengan teliti pesanan Eve yang terlalu banyak permintaan spesialnya, seperti tak mau tambahan daun seledri, tak mau kentang pada sop iganya, dan juga minta ditambahan sesendok kecil garam. Tara meringis menatap kasihan Si pramusaji yang mungkin menahan kesal melihat pesanan rumit hanya untuk semangkuk Sop iga sapi.
“Nggak berubah. Masih suka nyusahin orang kalau pesen makanan,” cibir Tara.
Eve tertawa kecil. “You know me so well, Dear.”
Keduanya berbagi senyum. “Jadi ... apa yang membuatmu begitu memaksa untuk bertemu?” tanya Tara sembari melipat tangan di meja, ia menatap sahabatnya lekat-lekat.
Senyum di wajah Eve sirna. Ia tersenyum kikuk, lalu menarik tangan Tara dan menggenggamnya erat. “Kamu harus menguatkan hati sebelum mendengarkan semuanya.”
“Sok serius banget sih, Eve.” Tara tertawa kecil, namun wajah Eve yang masih sama seriusnya, membuat tawanya menghilang dan ketakutan mulai merasuki setiap relung hatinya. Mata Eve mulai menatapnya iba, membuat Tara menebak jika apa yang ingin disampaikan sahabatnya itu pasti berkaitan dengan suaminya. Inilah saatnya, ia tak bisa lagi menolak kebenaran dan pura-pura tak tahu untuk selamanya.
“Apa ini tentang Mas Abimanyu?”
Eve tersenyum lirih, lalu mengangguk pelan. Pedih mulai menjalar ke penjuru hati Tara, menyesakkan dadanya. Mungkin apa yang ingin disampaikan sahabatnya itu akan membenarkan tentang apa yang dilihatnya kemarin. Lelaki itu berselingkuh di belakangnya.