Restoran yang semula ramai, mendadak hening. Dunia Tara seakan berhenti berputar saat Eve menunjukkan ponsel yang memamerkan dua insan yang tengah b******u. Eve sengaja mengabadikan adegan itu dengan memperbesar kamera, agar wajah yang ada di sana terlihat jelas. Jantung Tara seakan diremas kuat-kuat, sakit bukan main. Terutama saat ia melihat siapa wanita yang tengah b******u dengan suaminya, Dania—rekan kerja yang selama ini bersikap baik dan juga manis padanya—wanita yang juga kerap membagi cara agar hubungan rumah tanggannya selalu hangat. Walau masih lajang, Dania kerap membaca artikel rumah tangga dan membaginya pada Tara. Siapa sangka, wanita itu pula yang menusuknya dari belakang.
Rasa pedih yang menjalar ke penjuru hati, memaksa air matanya jatuh dan membasahi pipinya. Sungguh, dadanya sesak bukan main karna semua kepedihan yang ditanggung hatinya yang sudah lama rapuh karna sikap abai lelaki itu padanya.
“Tara ... kamu baik-baik aja, kan?” pertanyaan yang disertai genggaman itu membawa Tara kembali ke alam nyata. Tara menggeleng dan air mata mengalir semakin deras.
“Aku nggak baik-baik aja. Aku hancur, Eve. Apa yang harus kulakukan?”
Eve segera berdiri dan duduk di kursi samping Tara, ia memeluk erat tubuh sahabatnya sembari mengusap-usap punggung wanita itu. “Lelaki sepertinya nggak pantas kamu tangisi, Tara. Seharusnya kamu menghukumnya atas dosa yang dia perbuat, bukan seperti ini.”
“Apa yang harus kulakukan? Dia sudah nggak mencintaiku lagi, Eve. Aku ... aku ....”
Isak tangis Tara terdengar memilukan. Kita membunuh apa yang kita cintai, karna merasa jika cinta tak ‘kan pernah bisa mati. Nyatanya, memang tak semudah itu membunuh cinta. Tara yang jelas-jelas sudah dibunuh dengan kejam dengan pengkhianatan lelaki itu, tetapi cintanya masih hidup karna itulah kini hatinya merasa sangat pedih.
“Tenanglah dulu, Tara. Jangan menangis lagi. Aku akan selalu ada untukmu, Tara. Nggak usah pikirin dia. Semua akan baik-baik aja. Percaya padaku.” Eve melepaskan pelukan mereka. Ia menangkup wajah sahabatnya dan tersenyum menenangkan.
Tara tak kembali ke kantor selepas makan siang, ia langsung meminta izin pada atasan karna tak enak badan. Ia meminta Eve untuk naik ke lantai atas dan meminta resepsionis kantor untuk memberikan tas tangannya pada Eve. Tara tak mungkin bisa berhadapan dengan Dania setelah tahu, wanita itulah yang telah merebut hati suaminya. Ia tak bisa memasang wajah penuh kepalsuan sementara hatinya begitu terluka. Sayangnya, untuk hari-hari ke depan Tara harus membiasakan diri dan memasang topeng penuh kepalsuan saat berhadapan dengan wanita itu.
Tara memutuskan untuk pura-pura tidak mengetahui perselingkuhan suaminya, setidaknya dengan semua itu, ia berharap dapat memperbaiki hubungan mereka atau mungkin dengan begitu membuatnya tak kehilangan Abimanyu. Memang hati lelaki itu telah terbagi, namun setidaknya, Tara masih bisa menjadi egois dengan menahan raga lelaki itu bersamanya. Untuk saat ini semua itu sudah lebih dari cukup bagi Tara. Memenjarakan tubuh yang tak lagi memiliki hati.
Suara pintu mobil yang dibuka, membuat Tara memalingkan wajah ke sumber suara. Eve memberikan tas wanita itu padanya dan Tara mengucapkan terimakasih.
“Jadi ... kamu mau pulang?” tanya Eve ragu-ragu. Tara menggeleng, dirinya tak ingin kembali untuk saat ini. Ia memang ingin memenjarakan raga Abimanyu, namun saat ini dirinya tak mampu menatap ke dalam manik mata lelaki yang telah menghancur leburkan hatinya.
“Aku ....” Tara tak mampu melanjutkan perkataannya. Lebih tepatnya lagi, ia tak tahu ke mana tujuannya. Ke mana ia bisa pergi dan berlari dari kenyataan walau hanya untuk sekejap.
“Menginaplah di rumahku, Tara.”
Tara menggeleng. Ia tak mau menyusahkan lebih dari ini. Apalagi, rumah sahabatnya itu berada di komplek yang sama dengan Dania. Bagaimana jika secara tak sengaja takdir mempertemukan suaminya dan wanita itu tengah b******u mesra? Hanya melihat dari foto saja dirinya sudah hancur, bagaimana jika menyaksikan semuanya secara langsung? Ia tak bisa.
“Tolong antarkan aku ke hotel daerah Sudirman. Hotel yang biasa kita gunakan untuk merayakan sesuatu,” ucap Tara pada akhirnya. Eve mengusap lengan sahabatnya dan mengangguk. Ia tersenyum menenangkan dan mencoba menguatkan sahabatnya.
Menit demi menit telah berlalu, setelah melakukan proses check in, Tara langsung masuk ke kamarnya. Eve pergi sebentar untuk memberikan semua kebutuhan Tara, lalu kembali dan tak lama meninggalkan wanita itu sendiri. Eve menguatkan Tara dan berjanji, jika semua akan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tara mengangguk dan meminta sahabatnya untuk tak mengkhawatirkan dirinya. Ia memang hancur, namun masih memiliki kewarasan.
Tara merebahkan tubuh. Ia menatap kosong langit-langit kamar. Begitu bayak tanya mengganggu benaknya. Mengapa harus Dania? Sejak kapan kah semua itu terjadi dan mengapa Tara tak melihat tanda-tandanya? Apakah dirinya yang terlalu sibuk atau memang lelaki itu tak menunjukkan tanda-tanda yang mampu dibacanya.
Pikiran Tara melayang ke saat itu. Satu tahun yang lalu, saat pertama kali mereka semua berkumpul dalam acara family gathering perusahaannya. Ketika itu semuanya tampak biasa saja, tak ada hal aneh yang terjadi atau memang Tara yang kurang peka. Pikirnya, semua normal, termasuk pujian Dania saat melihat sikap Abimanyu yang begitu manis padanya. Wanita muda itu bahkan mengatakan, jika lelaki lembut dan setia seperti Abimanyu sudah sangat langka di masa sekarang ini. Bodoh memang, mengapa Tara tak menyadari ketertarikan yang secara terang-terangan yang wanita itu tunjukkan pada suaminya.
Cinta itu membunuh dan stereotip di masyarakat yang lebih menyukai cinta yang menyakitkan, membuat kita terbiasa dengan rasa sakitnya, menganggap hal itu adalah wajar. Padahal, masih ada cinta yang jauh lebih baik di luar sana, akan tetapi, anehnya, kita malah kerap memilih jalan yang salah. Memilih jalan penuh kesakitan.
“Kamu tahu mengapa orang lebih suka tersakiti karna cinta?” pertanyaan itu pernah dilayangkan Abimanyu padanya saat kencan mereka.
“Semua itu karna tatanan sosial yang membentuk konsep di mana cinta yang menyakitkan adalah cinta sejati. Cinta tanpa harapan dan menyakitkan seperti itu mangacaukan pikiran kita, hingga banyak orang yang terbiasa tersakiti karna cinta.”
“Jasdi semua itu karna konsep jahat yang ditanamkan pada masyarakat kita kalau cinta yang menyakitkan itulah yang layak diperjuangkan hingga mati?” Abimanyu tersenyum.
Tara mengangguk. “Ya, secara nggak langsung stereotip masyarakat sudah tertanam di benak kita, membuat kita lebih memilih cinta yang menyakitkan.”
Abimanyu menggenggam tangan Tara. “Aku nggak akan membuatmu memilih hal itu, Tara. Aku akan selalu memberikan cinta terbaik, tanpa air mata bagimu, jadi kita bisa menentang sterotip masyarakat dengan menunjukkan pada dunia jika cinta penuh kebahagiaan ini adalah cinta sejati yang sebenarnya,” ucap Abimanyu sembari menatap tepat ke dalam manik matanya.
Air mata Tara mengalir semakin deras. Ia meringkuk di atas kasur dan memeluk erat kedua kakinya. Dirinya merasa begitu hancur. Tampaknya, tak ‘kan ada cinta yang membahagiakan tanpa air mata seperti yang pernah Abimanyu janjikan padanya. Tampaknya, dirinya pun sudah termakan stereotip jahat di mana cinta menyakitkan yang selalu dipilih. Dirinya tak bisa menghapus rasa itu walau tahu apa yang telah lelaki itu lakukan untuk menghancurkan hatinya.
Dalam sekejap, dunia Tara hancur. Dengan bersusah payah, ia mencoba baik-baik saja setelah apa yang dilihatnya di pusat perbelanjaan, namun kini, hal yang dianggapkan kebohongan belaka dibenarkan oleh bukti yang didapatkan oleh sahabatnya. Kini, Tara tak mempunyai alasan untuk menyangkal lagi. Kebenaran terus mengejarnya, tak peduli sejauh atau secepat apa pun ia berlari. Kenyataan seakan tak mau melepaskannya.
Oh ... wahai hati, kuatlah! Mungkin saja, esok kau menemukan bahagia.