Bab 6

1131 Kata
"Jangan menganggap semuanya sulit sebelum mencoba. Bisa saja, nanti kamu akan menyukai sesuatu yang kamu anggap sulit itu." ♡♡♡♡♡ Pekerjaan yang dilakoni Kayla saat ini bukan hanya sebagai pembantu di keluarga Bagaskara, akan tetapi juga menjadi pengasuh Jelita. Anak kecil nan cantik, putri kandung dari almarhumah Laura Bagaskara. Cahaya yang sering keluar rumah karena bekerja memantau bisnis yang sedang ditekuni pun membuatnya jarang bisa bercakap dengan Jelita. Sedangkan, Bagaskara sudah tidak sanggup untuk bekerja lagi. Jika bukan Cahaya, siapa yang akan mencari nafkah? Kayla dibuat kerepotan akan tingkah Jelita yang ternyata begitu nakal. Fikirnya mungkin karena kurang perhatian dan kasih sayang. Mainan yang sudah ia rapikan ke tempat mainan pun kembali berhamburan. Dua hari sudah ia bekerja disini membuatnya ingin stress seketika. "Jelita, rapikan mainannya!" titah Kayla dengan suara lembutnya. Jelita tak menghiraukannya. Anak kecil itu justru melengos meninggalkannya dengan mainan yang sudah berhamburan kemana-mana. "Astaghfirullah." Suara tongkat membuat Kayla sadar. Dengan segera ia merapikan mainan itu lagi. Ia sudah tahu bahwa beginilah resikonya. Ia harus selalu sabar. "Dimana Jelita?" tanya Bagaskara. Pria paruh baya itu berbicara tanpa menatap Kayla, justru memilih duduk di sofa dimana Kayla sedang membereskan mainan milik Jelita di bawahnya. Kayla selalu gugup dihadapan Bagaskara. Seperti apa yang sudah diperingatkan oleh Argan mengenai pria ini. "Ke kamarnya mungkin, pak," jawab Kayla dengan sopan. "Buatkan saya kopi, tidak perlu gula!" titah Bagaskara. "Baik, pak. Setelah saya membereskan mainan ini." Bagaskara langsung saja menatap Kayla. "Sudah biarkan, nanti juga berantakan lagi. Sekarang buatkan saya kopi!" Kayla mengangguk cepat. Kemudian ia melangkan menuju dapur membuat kopi pesanan Bagaskara. "Serem banget wajahnya, bikin aku takut saja," ucap Kayla mengingat bagaimaba Bagaskara. Setelah jadi, Kayla kembali ke ruang tamu dan memberikannya ke Bagaskara. "Oh ya, sedari kemarin sebenarnya saya mau bertanya dengan kamu." Kayla yang hendak kembali ke dapur pun terdiam dengan tubuh tegang. Kira-kira apa yang akan ditanyakan oleh Bagaskara kepadanya? "A-apa, pak?" Bagaskara menilai penampilan Kayla. "Kamu tidak ada maksud tertentu kan bekerja di rumah saya? Pasalnya kamu masih muda." Kayla menelan ludah dengan kasar. Ia tidak boleh gugup atau ia akan tinggal nama sekarang. "Saya serius bekerja disini, saya memang masih muda. Kehidupan yang keras membuat saya harus bekerja disini, saya tidak punya pilihan lagi. Apalagi gaji yang ditawarkan disini lumayan buat kebutuhan sehari-hari saya. Saya tidak punya siapa-siapa lagi." Bagaskara terdiam lalu mengangguk. Kayla menghela nafas lega. "Ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu. Oh, ya buat cucuku supaya tidak nakal lagi. Saya pusing lihatnya." Kayla mengangguk. Ia lalu memutuskan menuju kamar Jelita. Bukan tanpa sebab Jelita nakal. Ia tidak ada yang memperhatikan, belum lagi orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Apalagi masalah yang dulu pernah dihadapi oleh Jelita di masa kecilnya, sudah pasti membuat psikisnya tergoncang. Kayla juga sempat membaca berita-beritanya dan tentunya tidak hanya satu berita, namun banyak. Ia sangat menyayangkan sikap Bagaskara. Berat sebelah, dan egois. Banyak sekali sikap buruknya yang membuat ia merasa semakin kasihan akan Jelita. Terlebih, Cahaya pasti akan segera menikah. Jelita pasti akan merasa kesepian. Walaupun di rumah pun, Bagaskara jarang mengajak Jelita bermain bahkan berbicara. Itu yang ia tangkap selama dua hari ini. Ia tidak menyangka ada orang se-egois Bagaskara. Padahal umurnya sudah tua, sudsh seharusnya bisa mencontohkan yang baik bukan sebaliknya. "Jelita," panggil Kayla saat melihat Jelita membuka sebuah album foto. Kayla melirik isi album foto tersebut. Foto wanita yang begitu cantik menurutnya. Ah, ia pernah melihat foto Laura Bagaskara. Ya, wanita itu tak lain Laura Bagaskara. "Kenapa kesini?" tanya Jelita tidak sopan. Kayla berdehem sejenak. "Kakak mau nemenin Jelita main dan belajar, mau gak?" "Udah aku bilangin kan gak usah nemenin Jelita. Jelita bisa sendiri," jawabnya dengan ketus. Anak manis ini memang benar-benar sudah berubah. "Kak Kayla baik lho mau ajakin Jelita main dan belajar, kok jawabnya gitu," ujar Kayla pura-pura cemberut. Jelita menutup album fotonya, kemudian ia membalikkan badannya menghadap Kayla. Melihat wajah cemberut Kayla membuat Jelita tertawa. "Gak pantes tahu, kak." Kayla akhirnya ikut tertawa. Setelah tawanya mereda, ia kembali berbicara, "mau main apa hari ini?" "Aku belum setuju lho, kak." Selain nakal, Jelita juga pintar menjawab. Ia sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah Jelita. "Gimana kalau masak-masak?" "Jelita gak berani, takut sama api," cicitnya. "Hmm, masak-masak dengan tanah?" "Memang bisa?" Kayla mengangguk. "Tante Cahaya selalu nemenin Jelita main ke taman, main boneka, sama belajar. Kalau masak-masak tanah seperti apa itu?" "Nanti Jelita bakal tahu, kok. Pasti menyenangkan." "Gak dimarahin kakek kan kalau main tanah?" Kayla terkejut. "Memangnya kenapa?" "Kalau main tanah kan kotor," jawab Jelita dengan polos. Kayla menggelengkan kepala. "Tidak kok, sayang." Jelita mengangguk setuju. Kayla akan kembali ke masa kecil. Masak-masak dengan tanah. Jika di panti asuhan dulu, ia bermain layang-layang, boneka, petak umpet, dan lain sebagainya. Jika hanya satu orang yang tak lain Jelita sendiri, sudah pasti ia akan bingung mau main apa. Jelita tampaknya juga tidak mudah bergaul. ******* "Pekerjaanmu memang bagus," puji Cahaya kepada Kayla. Kayla tersenyum manis. "Rapi dan bersih." Kayla tersenyum lagi. Ada sebuah perjuangan yang keras dibalik ini. Ia harus membereskan mainan milik Jelita dengan bolak-balik. Karena sewaktu-waktu Jelita selalu memberantakkannya namun tidak mau merapikannya. "Selain ini, saya minta kamu didik Jelita dengan baik!" Kayla mengerjapkan kedua matanya. "Jelita anak yang baik dan manis. Ia tidak senakal ini dulu. Saya yang sibuk bekerja pun makin jarang mengontrol Jelita. Sekarang ada kamu, saya harap kamu bisa mendidik Jelita supaya lebih baik lagi. Ini demi masa depannya juga, saya tidak mau Jelita menjadi anak yang nakal sampai dewasa." Cahaya begitu sayang dengan Jelita. Itu yang ia lihat. "Saya belum paham soal mendidik anak, kak," jawab Kayla pada akhirnya. Cahaya menatap Kayla. "Saya yakin kamu bisa. Saya serahkan ke kamu. Saya sudah capek soalnya. Kerja pagi sampai sore, kadang malam harus bantu Jelita mengerjakan PR. Kamu tahu kondisi saya bagaimana? Saya tidak bisa melakukan semuanya dengan sendirian. Bahkan, saya kerao minta bantuan supir sini dan asisten saya." Kayla terdiam. Ia merasa iba mendengarnya. Namun, bagaimana ia bisa mendidik Jelita supaya lebih baik lagi? "Saya yakin kamu bisa, saya minta tolong banget sama kamu. Saya hanya tidak mau Jelita semakin nakal kedepannya." Kayla mengangguk. Ia memutuskan untuk melakukannya. Sekalian ia belajar untuk masa depannya. Dimana nantinya ia akan mendidik anaknya sendiri. Sungguh, baginya tidak semudah apa yang ia bayangkan. "Terima kasih." Cahaya tersenyum kepadanya. Kayla pun membalasnya dengan senyuman juga. Anak memang perlu di didik supaya anak tidak salah langkah, tidak salah jalur. Apalagi jika sampai kebawa pergaulan bebas, itu tidak baik buat tumbuh kembang si anak. Pengaruh lingkungan juga ikut serta akan proses pembentukan karakter anak. Bayangkan saja, jika lingkungan yang ditinggali kebanyakan orangnya suka mengumpat hal kotor, maka anak yang mendengarkan tentu juga akan mengikutinya. Oleh karena itu, keluarga, lingkungan, pergaulan yang baik dapat menciptakan karakter anak baik juga. Salah satunya dengan membiasakan hal baik kepada anak. Anak cenderung meniru, melihat, dan mendengar, maka dari itu perlunya mencontohkan hal baik kepada anak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN