Bab 7

1097 Kata
"Kau datang membawa kenyamanan, dan kau pergi tanpa perpisahan. Ternyata kau tak merasakan hal yang sama terhadapku." ♡♡♡♡♡ Suasana ruang tamu tampak mencengangkan. Disana ada Cahaya dan Bagaskara yang sedang berdebat. Kayla sedikit beruntung jika Jelita masih ada di sekolah. Jika tidak, bagaimana jadinya kalau Jelita melihat ini semua? Suara yang cukup keras tak ayal membuatnya jelas mendengar apa topik pembicaraan keduanya. "Sampai kapan kamu begini terus? Nikah sama lelaki yang sudah papa pilihkan!" "Pa, Cahaya punya pilihan sendiri," tolak Cahaya. "Seperti apa pilihanmu? Apa yang bisa dia berikan pada keluarga kita, ha?" sentak Bagaskara. Kayla dapat melihat Cahaya terdiam. Ia belum tahu umur Cahaya, namun ia taksir Cahaya memang sudah waktunya untuk menikah. "Kalau kamu menikah dengan lelaki pilihan papa, kamu tidak akan bersusah payah bekerja demi memenuhi kehidupan kita. Lihat kondisimu?" Cahaya memberanikan diri menatap Bagaskara. "Pa, Cahaya masih kuat untuk bekerja. Lagipula pendapatan yang kita dapatkan juga cukup, kan? Jangan karena kondisi Cahaya yang seperti ini papa justru meremehkanku." Bagaskara berdecak kesal. Pria paruh baya itu memukul tongkatnya di meja. Untung saja meja kayu, bukan meja berbahan kaca. "Kamu selalu berburuk sangka sama papa. Papa ingin yang terbaik buat kamu, apa susahnya kamu menerima lelaki pilihan papa?" tanya Bagaskara. Ia sedikit geram atas tingkah putrinya itu. Kondisi fisik Cahaya membuatnya merasa terpukul memikirkan bagaimana masa depan putrinya itu. Apalagi selama ini, ketika bekerja Cahaya selalu ditemani oleh asistennya. Kegigihan Cahaya membuatnya bangga, namun rasa khawatir itu tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Apalagi umur Cahaya sudah cukup untuk menikah. Bahkan, almarhumah putri pertamanya yang jarak umurnya tak beda jauh dengan Cahaya sudah memiliki anak. Ia merasa was-was juga jika ternyata Cahaya begitu kurang percaya diri mengenai pernikahan mengingat kondisinya yang selamanya akan seperti itu. "Pa, Cahaya sudah punya calon," jawab Cahaya dengan suara pelan. Sudah capek rasanya berdebat dengan Bagaskara. Bagaskara menghela nafas. "Kalau begitu bawa calonmu kesini, papa mau lihat bagaimana dia." Cahaya hendak mengeluarkan suaranya, namun perkataan Bagaskara selanjutnya membuat dirinya bungkam seketika. "Jika besok calonmu tidak datang juga, papa akan menikahkanmu dengan lelaki pilihan papa." Merasa pembicaraan tersebut akan selesai, Kayla buru-buru pergi menjauh. Ia takut ketahuan telah tak sengaja menguping. Ia memutuskan ke halaman belakang saja. ******** Argan menatap lelaki dihadapannya yang sedang diam membisu. Sudah sepuluh menit ia duduk di ruangan lelaki itu, namun tak kunjung berbicara. Lelaki itu justru asyik menatap sebuah foto yang entah foto siapa. Raut wajahnya tampak sedih, dan muram. "Maaf, pak ... " "Sebentar," ujar lelaki itu memotong perkataan Argan. Argan menghela nafas, ya sudahlah lebih baik ia diam. Daripada ia mendapatkan masalah karena sikapnya yang tidak sabaran ini. Sebenarnya, pekerjaan utamanya sekarang bukan wartawan, akan tetapi ia sudah mulai fokus bekerja sebagai asisten lelaki itu. "Bagaimana perkembangannya?" Argan terdiam sejenak, setelah mengerti arah pembicaraan lelaki itu pun ia berkata, "masih belum, pak. Sejauh ini Kayla masih menjalani tugasnya sebagai pembantu di rumah itu." "Saya tidak ingin lama-lama," ujarnya dengan tegas. "Begini pak, saya rasa biarkan berjalan sebagaimana mestinya. Karena jika tergesa-gesa pasti pak Bagaskara akan tahu. Itu akan membahayakan kita juga, pak." "Hah, andai saja saya bisa langsung menemuinya langsung. Tetapi saya tidak suka ada berita buruk mengenai saya. Kamu tahu kan? Siapa yang berdekatan dengan pria itu selalu berimbas buruk." Argan hanya mengangguk saja. "Saya beri waktu satu bulan! Katakan pada temanmu itu, percepat tugasnya disana dan berhati-hatilah." "Baik, pak." Setelah ini Argan akan memikirkan bagaimana caranya supaya ia bisa bertemu dengan Kayla. Karena jika ia masuk ke dalam rumah tersebut dan mengaku sebagai saudara Kayla akan menjadi boomerang nantinya. Misi ini akan gagal. "Saya mau temanmu memfoto anak kecil itu dan kalau bisa memvidionya juga." "Anak kecil?" tanya Argan sedikit memastikan bahwa yang ia ketahui anak kecil disana hanya Jelita-putri kandung Laura Bagaskara. "Iya, namanya Jelita, kamu tahu bukan?" Argan mengangguk. Ia mengernyitkan dahi. Ia berfikir sesuatu yang memang mungkin kebenarannya. Fikirannya bertanya-tanya, kemungkinan bossnya itu orang yang telah m*****i putri pertama Bagaskara hingga menghasilkan anak cantik bernama Jelita. "Jangan berfikiran macam-macam, saya tidak suka kamu mencampuri urusan saya!" katanya dengan tegas. Argan menjawab, "iya, pak." "Silahkan keluar, lakukan apa yang saya minta tadi." Argan pamit keluar ruangan bossnya itu. Ia memutuskan untuk bertemu Kayla esok hari. Lebih baik ia kembali ke tempat tinggalnya. Ia perlu memikirkan sesuatu, yang pasti demi kenyamanan Kayla disana. Keesokan harinya, Argan memutuskan menunggu Kayla di dekat pasar. Ya, gadis itu pasti belanja pagi-pagi sekali. Ia juga mengikuti keberangkatan Kayla yang diantar oleh supir pribadi Bagaskara. Sudah tiga puluh menit, Kayla masih berada di dalam pasar. Berdiri menyender pada tembok membuatnya menjadi pusat perhatian beberapa orang yang melewatinya. Argan langsung saja mendekati Kayla saat kedua matanya menemukan Kayla hendak ke parkiran. "Kayla," panggilnya. Mendengar ada yang memanggilnya, Kayla menoleh. "Kak Argan?" tanyanya dengan terkejut. "Kita harus bicara, ini penting!" Kayla mengangguk. Ia sedikit melirik tempat parkir yang agak jauh dan kemungkinan ia berbicara dengan Argan tidak diketahui oleh supir dari Bagaskara. "Gunakan ponselmu untuk memvidio dan memfoto Jelita!" Kayla menatap Argan dengan kebingungan. "Ini boss kakak yang minta, dan kamu diberikan waktu sebulan saja." "Kak, apa Kayla bisa ya nanti?" tanya Kayla meragu. "Kakak yakin kamu bisa, please lakukan dengan baik. Kakak jadi makin khawatir sama kamu. Kirimkan vidio dan foto ke nomor kakak, ya!" titah Argan. Kayla mengangguk. "Sebenarnya Kayla tidak tahu apa maksud semua ini, kak. Apa yang diingkan boss kakak sebenarnya." "Sudah, jangan berfikiran yang tidak-tidak, yang pasti kamu harus melakukan apa yang kakak perintahkan tadi." "Kak," panggil Kayla setelah satu menit keheningan terjadi. Ia menarik nafas sebentar, lalu menghembuskannya. "Bu Cahaya dijodohkan oleh lelaki pilihan pak Bagaskara." Kedua mata Argan membulat. "Kapan mereka akan menikah?" Kayla menggelengkan kepala. "Ini gawat, kamu tidak punya banyak waktu lagi, Kayla. Jika sampai Cahaya menikah, kemungkinan Cahaya akan tinggal bersama suaminya dan pasti Jelita akan ia ajak sekalian. Kamu akan tinggal disana bersama Bagaskara. Kamu harus percepat tugasmu, entah bagaimanapun caranya," ujar Argan sambil menatap Kayla. Kayla yang menunduk pun hanya mengangguk lesu. "Sudah konsekuensi atas apa yang aku kerjakan." "Kayla ... " Argan tak suka melihat Kayla bersedih. Namun ia juga tidak bisa bantu apa-apa. Lagipula, Kayla membutuhkan ini demi supaya bisa membayar hutang gadis itu sendiri. "Kakak yakin kamu bisa, lakukan dengan baik dan hati-hati," ujar Argan menyemangati. Kayla mengangguk. Lalu ia diminta Argan untuk segera pulang, pembicaraan lumayan lama, takutnya nanti dicurigai. Argan mengacak rambutnya dengan kasar. "Maafin kakak belum bisa menjaga kamu dengan baik. Kakak hanya bisa berdo'a semoga apa yang kamu harapkan tercapai." Pandangan Argan mengarah kepada Kayla yang berjalan menjauhinya. Gadis yang selalu ada disisinya dulu, yang menyemangatinya dulu saat di  Panti Asuhan, kini harus menjalani hidup yang begitu berat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN