Hantu Koma

1227 Kata
Elea segera dilarikan kerumah sakit terdekat. Banyak para guru yang menyesali tak bisa mengetahui lebih cepat kejadian yang menimpa Elea, tapi nasi sudah menjadi bubur. Seberapa banyak pun kata penyesalan yang terlontar. Elea sekarang tetap menjadi korban, bahkan tubuhnya seakan tak bertulang saat sekumpulan lelaki mengangakatnya ke tandu milik anak PMR. Darah segar masih jadi saksi bisu di tengah lapang itu. Sesaat keadaan sekolah begitu mencekam. Pun Pak kepala sekolah meminta untuk semua anak-anak tidak keluar dari kelas. Tujuan mereka adalah mencari siapa dalang dibalik kecelakaan ini. Mereka tahu Elea tak mungkin jatuh sendiri. Dengan cepat juga para guru mengumpulkan bukti, dan ditemukan cuma Elea dan Alika'lah yang tidak masuk kelas saat itu. Tak perlu diragukan, semua bukti mengarah jelas pada Alika. Sejenak dengan santainya gadis itu turun dari tangga atas. "Alika, apa yang terjadi?!" bentak Pak Seno-Pak kepala sekolah yang turun langsung. Rasanya jika ia tak mengingat usia gadis itu, mungkin ia sudah tega menelpon polisi setempat. Tapi karena Seno sadar, Alika masih dibawah umur. Maka ia memutuskan mendengar penjelasan anak itu dulu. "Kenapa?!" beo Alika bodoh. "Ooh.. Elea jatoh, Pak," sahutnya enteng. "Alika! Apa kamu yang mendorongnya?" geram pria tua itu. "Enggak tuh, Pak. Emang jatoh sendiri. Padahal cuma aku unjuk'in beginian." Ia mengangkat tangannya memperlihatkan pisau yang masih mulus seperti sedia kala. Mendengarnya membuat Pak Seno mendelik kaget. Ia tak menyangka telah mendidik seorang psikiopat di sekolahnya. *** "Ya Tuhan.., Elea, Pak." Resah Luci tak lain Ibu Elea. Wanita itu telah berlinangan air mata saat mengetahui Elea menjadi korban perselihan paham antara temannya. Bully di sekolah yang mengakibatkan putri kecilnya jadi korban. "Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa Elea kami yang menjadi korban," geram Darma kepada guru Elea yang ikut mengantar. "Maafkan kami Pak, tapi kami akan segera menindak tegas pelakunya." Pak Seno berjanji meski ia tahu itu tidaklah cukup. Tiga jam sudah Elea berjuang di meja operasi. Belum ada tanda-tanda keselamatan untuk Elea. Membuat hati Darma dan Luci semakin menciut takut. Keduanya bergenggaman erat menatap ruang operasi yang ditutupi pintu tebal. Seolah ingin menewarang masuk ke dalam. Luci teringat semua sikap Elea kepadanya. Malah tadi pagi sebelum jalan sekolah, Elea masih mengecup pipinya mesra dan mengatakan jika ia sangat menyayangi Ibunya itu. Luci hanya takut tak bisa lagi mendengar kata cinta dari bibir Elea. Tak dapat lagi menggapai kasih dari anak semata wayangnya itu. 'Tuhan... tolong lindungi Elea. Sembuhkan ia. Sembuhkan ya, Tuhan" pinta Luci penuh harap. Seorang dokter keluar kamar operasi. Wajahnya terlihat putus asa semakin membuat perih tak terhingga di hati kedua orang tua Elea. "Bagaimana Dok, anak saya selamatkan Dok. Dia masih bisa diselamatkan. Dok. Elea harta kami satu-satunya, tolong lakukan apapun untuknya." Harap Luci kuat. Sang Dokter yang diajak bicara hanya mendesah pasrah. "Maaf Bu, kami sudah berusaha...!" Belum juga Dokter selesai bicara, brankas tempat Elea terbaring keluar. Luci dan Darma dengan sigap mengejar suster yang membawanya. "Anak kami sudah selesai operasi, bagaimana apa ia sudah sadar?" tanya Darma tergesa. Ia menatap sendiri putrinya yang terkulai lemah. Pada kepalanya dipasang perban yang cukup tebal. Darma tahu, pastinya Elea habis menjalani operasi pada bagian otaknya. Karena itu juga ia sangat cemas. Mengingat otak adalah organ tubuh manusia yang penting. "Maaf, Pak. Tapi untuk kelanjutannya silahkan Bapak tanya sendiri dengan Dokter yang menanggani langsung." Tunjuk Suster ke Dokter tadi. Setelahnya ia segera membawa Elea pergi. Karena ia harus memakai alat bantu khusus supaya terus bertahan hidup. "Dok... anak kami bagaimana?!" Darma nampak putus asa. Bahkan ia tak mengerti mau dibawa kemana anaknya itu. Sungguh, Darma tidak punya pengalaman apapun tentang birokasi rumah sakit. "Kejadian ini membuat sebagian saraf Elea rusak. Kami sudah melakukan semaksimal mungkin. Namun sayang, tubuhnya tidak memberikan reaksi yang seharusnya. Dengan kata lain, Elea mengalami koma. Walau beberapa organ lainnya seperti jantung, hati dan paru-parunya cukup berfungsi dengan baik." Luci dan Darma yang mendengar jadi membisu beberapa saat. "Koma, Dok?" kutip Darma tak percaya. "Yah... kami juga sedang berusaha untuk menangani Elea semaksimal mungkin. Karena itu ia butuh perawatan intensif, pengawasan ketat serta alat-alat khusus. Apalagi Elea adalah korban dari pertikaian. Yang pasti kami tim rumah sakit akan memberikan penjagaan ketat untuk itu supaya tak akan terulang lagi," ucap Dokter. Darma menelan ludahnya kasar. Ia tahu arti semua itu adalah ia siap menggelontorkan uang yang sangat banyak, sementara Darma hanya karyawan biasa yang bahkan memenuhi biaya kehidupannya saja ia harus tergopoh melawan arus. Mengabaikan rasa letih demi mendapatkan uang lebih untuk membahagiakan Elea dan Luci. Sedang Luci, hanya ibu rumah tangga biasa. "Pak...!" lirih Luci semakin mencengkram tangan suaminya erat. Dari matanya sangat meminta suaminya melakukan apapun demi buah hati mereka. Ia tak ingin hanya karena kemiskinan ia harus merelakan Elea begitu saja. Darma hanya memandang Luci, terbaca bagaimana kegelisahan hatinya yang terpancar dari sorot mata istrinya. "Bapak akan coba cari pinjaman," lirih Darma. *** Darma memutuskan pulang ke rumahnya, membongkar lemari baju. Dan mengambil satu-satunya surat berharga yang ia punya. Yah... surat kepemilikkan rumah sederhana yang bahkan jika dijual pun tak akan menghasilkan uang banyak. Tapi hanya itu yang ia punya. Darma menghapus lelehan peluh disertai air matanya. Tak pernah ia menyangka akan merelakan surat tersebut jatuh ke tangan orang lain. Bukan suratnya, tapi rumahnya... kenangannya dimana banyak tawa bahagia mereka bertiga. Bagaimana pintarnya Elea kecil hingga ia beranjak tumbuh dewasa. Lelaki itu meringis, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Suara isakkan terdengar. Darma hanya bisa menangis ketika sendiri. Sedang di depan Luci ia mencoba tegar.Kini Darma rapuh namun dipaksa kuat disaat bersamaan. Tak ingin putus harap. Ia langsung ke bank terdekat. Menggadaikan surat rumahnya, berharap bisa dinilai tinggi. *** "Bapak ingin menganggun,'kan surat rumah, Bapak?" tanya petugas bank ramah. "Iyah, Mbak! Saya bisa pinjam 250 juta," jawab Darma ragu. Apa cukup uang segitu untuk menutupi semua biaya Elea di rumah sakit. "Mohon maaf, Pak. Biasanya kami melihat margin dari anggunan itu sendiri. Dan kemungkinan Bapak hanya bisa meminjam sebesar 75 juta rupiah saja." "75 juta?" beo Darma kaget. Rumahnya hanya dihargai segitu, lalu bagaimana nanti jika seandainya biaya Elea melebihi itu. *** Sementara di sekolah, suasana berubah. Bahkan para murid tidak diijinkan mengadakan latihan ekstrakulikuler. Semuanya hanya boleh belajar lalu pulang setelahnya. Banyak juga anak murid yang merasa sedih dengan kejadian yang menimpa Elea. Meski ia sendiri anak baru, tapi sudah banyak yang menyukai Elea. "Elea gimana,ya?!" lirih Putri teman sebangku Elea. Ia menatap bangku Elea hampa. "Kapan kita mau jenguk Elea?!" tanya Rury, sahabat Elea lainnya. "Sama Bu Sonya gak boleh," bisik Ayu. "Yah tapi masa kita diem aja." Putri berkelit. Ia merasa tidak terima. Akhirnya ketiganya berfikir. "Bagaimana kalau kita melakukan penggalangan dana untuk Elea. Pasti ini berat untuk dilalui keluarganya?" Ide terlontar dari bibir Rury semangat. Kedua temannya mengangguk setuju. Tidak boleh menjenguk bukan berarti kepedulian mereka terputus begitu saja, bukan? Dengan meminta ijin kepada wali kelas mereka. Putri, Rury dan Ayu menjalankan misinya. Mereka tak segan mengitari masing-masing kelas satu persatu. Banyak yang merasa miris. Bahkan sangat ingin tahu kejadian pastinya. "Astaga pas gue denger berita Elea jatuh dari lantai atap. Seluruh badan gue merinding kayak kepegang hantu," cicit Flo anak yang satu kelas dengan Alika. Rury hanya mendesah pasrah. "Dan gue gak sangka Alika pelakunya." "Gue juga sama, Flo. Gak nyangka," sahut Rury lemah. "Alika itu emang aneh. Sering kali dia keliatan menyendiri gitu di kelas. Tapi buat bunuh orang itu udah tindakan diluar batas." geram Flo melanjutkan. "Kita doain aja Elea segera siuman. Karena yang gue denger dia koma," info Putri menyimbrung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN