Sementara itu, di sebuah kampus letaknya tak jauh dari sekolah Elea. Sedang diadakan pemetasan ajang pencarian bakat. Tidak hanya para mahasiswa, tetapi juga para masyarakat sekitar berbondong-bondong melihat kebolehan dari para peserta itu. Terdengar suara lantang pembawa acara menggema. Menandakan sebentar lagi pementasan akan segera digelar!
"Telah dibuka pendaftaran untuk menjadi idol selanjutnya. Silahkan diambil brosurnya." Begitulah pekik pembawa acara pencarian bakat itu.
Irwan yang mendengar langsung mengambil brosur dengan semangat.
'Wah syarat-syaratnya cocok banget buat Tama nih!' Irwan mengamati sambil tersenyum lebar. Ia segera mencari temannya itu.
"Tam..," panggil Irwan, tak lain sahabat satu-satunya Tantama buana, cowok super cool yang gak ngrasa dirinya tampan.
"Kenapa?!" sahut Tama ketus, seraya membenarkan tasnya yang ia cangklongkan di bahu kiri.
"Ada audisi pencarian bakat di gedung C. Lo gak mau ikutan?!" ajak Irwan sambil memperlihatkan brosur yang ia ambil tadi. Tama tak berreaksi wajah tampannya bahkan tak berubah sama sekali. Jika saja Tama memiliki minat untuk terkenal. Mungkin dari dulu ia bisa. Dan dengan mudahnya ia mampu keluar dari persyaratan awal yang tercantum di brosur. Yaitu di cari pria muda berusia sekitar 17-20 tahun. Tinggi sekitar 175 centimeter dan memiliki wajah yang cool. Serta bakat yang unik. Dan semua itu ada pada diri Tama, cowok itu memiliki bakat terpendam. Memetik gitar akustik dengan tangan kirinya adalah keahliannya. Bahkan setiap kesempatan ia main, Tama selalu dielu,'kan oleh kaum hawa.
Tapi sayang, ia bukanlah sebagaian dari para orang tersebut. Tama justru suka hidup menyendiri tanpa mau terlihat oleh siapapun.
"Mau gak, Tam?!" selidik Irwan kembali karena Tama justru kembali jalan begitu saja. Seakan tak memperdulikan ajakan Irwan.
"Hadiahnya uang puluhan juta rupiah." Irwan kembali menyakinkan dengan merayu temannya menggunakan uang. Tama menghentikan langkahnya. Ia berfikir sejenak. Otaknya kembali mengenang kejadian akhir-akhir ini.
Flashback On.
"Tama.., kamu mau kemana?!" desak Rike, ibu cowok itu, Khawatir. Berapa kali ia berusaha bicara kepada anaknya satu-satunya. Tapi Tama sama sekali tak ingin bicara. Bahkan ia berusaha tak menganggap Rike ada.
"Tama.., dengerin Mama, Sayang. Mama gak melakukan apapun di club malam. Mama memang bekerja di sana tapi demi Tuhan. Mama tidak menjual diri." Rike mengangkat dua jarinya sangat berharap Tama mengerti.
Tama berhenti dari kegiatannya. Ia menatap sinis pada Rike.
"Jangan bawa Tuhan untuk kebohongan Mama." Ketus cowok itu. Lanjut dengan kegiatannya mengepak baju-bajunya. Kemudian berusaha keluar dari kamarnya melewati Rike yang berdiri di ambang pintu.
"Tama jangan gitu. Semua ini gak bener. Pertanyaan kamu tentang diri kamu anak haram atau tidak juga. Mama,'kan sudah menjawab. Kamu bukan anak haram," tekan Rike tak suka. Ia menahan bahu Tama agar tak pergi.
"Lepasin!" kritik Tama tak menengok kearah Rike.
"Tama... tolong kamu mengerti, berapa kali Mama bilang kalau Mama tidak menjual diri."
"Kalau gitu cepat keluar dari tempat kotor itu!" titah Tama. Ia bukannya tak menyayangi Rike, justru karena rasa sayangnya yang membuat Tama ingin agar ibunya keluar dari tempat penuh nista itu.
"Mama... Mama gak bisa, Tam, tapi kamu harus percaya sama Mama!" Rike memang punya alasan sendiri bertahan disana. Lagipula hanya disana ia menemukan rasa kenyamanan. Rasa kekeluargaan, tak seburuk apa yang ada dipikiran Tama.
"Mustahil," gumam Tama.
"Tam, Oke...Mama coba! Mama akan keluar perlahan tapi jangan sekarang." Rayu Rike. Tama jengah mendengar alasan sama yang selalu Rike lontarkan setiap kali mereka berselisih paham.
Ia langsung menghempaskan tangan Rike yang di bahunya keras.
Tama memilih keluar dari rumah ibunya, meski cowok itu tak tahu harus kemana.
Tama sendiri baru tahu pekerjaan Mamanya sekitar satu bulan yang lalu. Saat ada beberapa teman Mamanya mencari wanita itu. Betapa kagetnya Tama melihat tampilan teman Mamanya yang sangat gemerlap dan seksi.
Apalagi pengakuannya yang mengatakan Rike adalah salah satu Mami di club malam Ariston. Tama tahu arti kata mami yang disematkan mereka untuk Rike. Jika Tama memanggil ibunya Mama. Mengapa mereka menyebut Mami kalau bukan ada hal lain yang selama ini ditutupi Rike darinya
Hatinya sakit merasa dibohongi, selama ini Rike tak pernah jujur, dan selalu berusaha menutupi kegiatannya tiap malam.
Tama memilih duduk di bahu jalan. Ia merunduk. Semenjak itu otaknya menduga. Lalu apa ia adalah anak haram? hasil dari pekerjaan ibunya?
Mungkin jika ia mengetahuinya saat usianya masih kecil, Tama tak akan paham banyak. Tapi sekarang ia adalah pemuda 20 tahun yang mengerti sebab akibat dari pekerjaan seperti itu.
Apalagi Tama memang tak pernah sekalipun bertemu papanya. Meski Rike bilang ayah Tama meninggal saat ia di dalam kandungan, tetap saja rasa curiga itu masih erat ia rasakan. Ia semakin merasa rendah bahkan tidak semangat melanjutkan hidupnya.
Life must go on... Tama mengerti tak mungkin ia mengakhiri hidupnya begitu saja. Lagipula ia masih sangat mencintai Rike. Sangat ingin menjaga orangtua satu-satunya itu sampai akhir hayatnya.
Ia bukan benci dengan Rike, ia hanya benci keadaan yang memaksa ibunya masuk kedalam sana. Benci dengan dirinya jika benar pemikirannya yang adalah anak haram. Bahkan Tama langsung merasa jijik dengan dirinya sendiri.
Ingin Tama bertanya baik-baik alasan Rike, tapi gengsi masih memenuhi darah mudanya.
"Kenapa Ma, Kenapa Mama milih bekerja di sana," ucapnya seorang diri seraya menatap langit malam.
***
Sekarang Tama mengalami kesuliatan. Ia yang terbiasa hanya menadah uang dari mamanya harus memutar otaknya demi membiayai hidupnya.
Mulai dari biaya kost, uang makan, dan yang paling mencenangkan biaya kuliahnya sendiri.
Tama tahu, disaat ia memilih pergi dari rumahnya artinya ia siap hidup tanpa uang Rike sepeser pun.
Beberapa kali ia mencari pekerjaan part time diam-diam, tapi tak ada yang cocok untuknya yang masih kuliah setiap hari.
Flashback Off
Dan saat ini ada tawaran bagus datang padanya. Ia bisa lanjut kuliah dan mendapatkan biaya hidup.
"Emang berapa hadiah yang bisa didapatkan?!' tanyanya langsung.
"Gue gak tahu Tam, tapi setahu gue juara tiganya aja bisa dapat 10.000$ yah..., kalau dirupiahkan sekitar 140 juta rupiahlah," sahut Irwan entang.
Tama menatap serius brosur tersebut
"Anter gue kesana!" putusnya.
***
Tama mulai mengantri untuk melakukan audisi. Ia berbeda, tujuannya uang. Sehingga ia hanya berharap juara tiga. Sedang juara satu dan dua. Mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan attitiude untuk meng-upgrade diri. Dan Tama malas untuk ikut itu.
"Siapa namanya?!" tutur panita wanita yang terus melirik kearah Tama. Dagunya yang terbelah adalah bagian yang sangat tidak bisa disingkirkan dari tampilannya.
"Tantama buana," kata Tama tak berusaha tersenyum.
"Silahkan di isi formulirnya!" balasnya kesal. Ia tahu Tama mungkin bisa keluar menjadi pemenangnya. Sayang sikapnya sangat tidak sesuai menjadi idola.
Tama memilih duduk sendiri di taman. Membaca seksama syarat yang ada dan menjawabnya setengah hati.
"Apa ini visi dan misi jika seandainya terkenal?!" gumamnya. Ia tersenyum miring. Apa.., bahkan tak terlintas di otaknya.
Hanya satu kata yang tertulis disana ' uang'. Jawabnya tanpa basa-basi.
Ada beberapa juga pertanyaan yang tidak ia jawab. Tama langsung mengembalikan formulirnya. Tak berharap banyak dari selembaran kertas itu. Ia memilih menunggu sambil membuka buku. Ia memang sosiopot sejati.