Hantu Psycho
Pelipis seorang remaja terbanjiri peluh. Rasa takut mati begitu terasa sampai kerongkongan. Elea tidak mengerti mengapa ia bisa di tempatkan di posisi ini.
"Alika. Lo ngapain," pekik Elea tak percaya. Karena Alika terus saja mendekat kearah Elea yang sudah sangat terpojok seraya menghunuskan pisau tajam yang gadis itu pinjam di warung bakso. Tapi Alika tak bergeming, ia tak terlihat layaknya manusia normal, gadis itu seakan telah dilahap amarahnya sendiri.
"Alika. berhenti! gue gak main-main." Elea mengatensi Alika dengan teriakkan. Berharap temannya itu bisa segera sadar. Pekikkan Elea terdengar samar-samar karena suaranya seperti terbawa oleh angin kencang. Yah.., Alika dan Elea sedang berada di atap gedung sekolah mereka yang berlantaikan lima.
Flashback On.
"Sayang.., Nih bakso kamu. Aku sengaja beliin yang polos, kamu gak suka bakso uratkan?!" tanya Rinaldi-kekasih Elea. Lelaki muda itu sangat mengasihi Elea. Apapun akan ia lakukan asal demi Elea.
"Makasih sayang, kamu udah ngertiin aku. Aku makin sayang sama kamu." sahut Elea gombal, lalu memilih memakan bakso bagiannya. Sementara dua barisan dari sana nampak seorang gadis yang begitu hancur melihat kemesraan sepasang sejoli itu. Iyah... dia, Alika. Gadis yang juga mencintai Rinaldi sejak dulu, bahkan sebelum ada Elea di Sekolah ini.
'Sialan Elea, lihat aja gue pasti bales lo.' Alika menggertakkan gigi seraya mengepal tangan kencang. Ia melirik penjual bakso, dan Alika punya rencana untuk Elea
"Mang, aku pinjem pisaunya."
"Buat apa, Neng?!" heran Mang Bakso.
"Buat tugas di kelas, Mang," jawab Alika bohong.
"Ooh kalau gitu silahkan diambil."
Bermodal pisau yang ia pinjam, Alika mulai menjalankan aksinya. Ia sengaja menunggu Elea dan Rinaldi pisah jalan, karena memang mereka tidak satu kelas.
"Ya udah kamu masuk kelas,ya, Sayang. Aku juga mau masuk," kata Rinaldi meski masih terus menggenggam tangan Elea erat.
"Iyah, tapi tanganku lepasin dulu dong." Elea mengangkat genggaman tangan mereka berdua, memperlihatkan bagaimana posesifnya tangan Rinaldi mengunci telapak tangannya.
"O,yah, lupa abis tangan kamu nyaman banget sih buat digenggam," sahut lelaki yang satu tahun lebih tua dari Elea. Mendengarnya membuat Elea hanya cemberut manja.
Setelah mereka berpisah, Alika langsung mendekati Elea.
"Lea.., ada yang mau gue omongin." panggil Alika yang sudah diambang batas kesabaran.
"Omongin, ngomong apa?!" beo Elea heran. Seingatnya Alika sangat tak menyukai dirinya. Murid pindahan yang langsung eksis di hari pertamanya.
"Gue gak bisa ngomong disini, mari kita cari tempat yang lebih sunyi."
Alika berjalan lebih dulu, sedang Elea mengekor ragu. Dari ujung mata Alika ia menatap Elea yang dinilainya selalu tepar pesona.
'Orang kayak lo harus disingkirkan. Apa-apaan lo, baru juga masuk lima bulan yang lalu. Lo udah bisa ambil Rinaldi gue, gak! gue gak bakalan terima, Rinaldi punya gue, cinta pertama dan terakhir gue.' Batin Alika bersenandika.
"Kita ngapain sih jalan sampe loteng gini?!" tanya Elea masih bingung, sedang Alika berbalik mengunci pintu atap.
"Ngapain juga lo kunci pintu?!" protes Elea kasar.
"Ucapin selamat tinggal sama nyawa lo." Alika mengatakan dengan mata memerah marah.
"Haah.., apa sih maksud lo, gak jelas." Elea ingin kembali ke depan pintu tapi tangan Alika menariknya kuat.
"Lo udah nghancurin semua mimpi gue." Alika berteriak lantang. Sesaat pandangan mata mereka bertemu dan Elea tahu, Alika sedang tidak pura-pura.
"Gue, mimpi lo, gak Lika... gue gak pernah nglakuin apapun yang buat mimpi lo hancur."
Elea berusaha sesantun mungkin dengan Alika. Ia tahu menghadapi orang tidak waras harus dengan sikap tenang.
"Hahhaaa.., lo udah rebut Rinaldi gue," jawab Alika hancur. Langsung mengeluarkan pisau dapur tadi, kontan Elea kaget bukan kepalang.
"Lika gue gak tahu kalau Rinaldi punya lo, yang gue tahu Rinaldi memang jomblo sewaktu gue sama dia PDKT," sahut Elea mulai panik, otaknya mulai berfikir apa mungkin Rinaldi berdusta saat itu.
"Bohong! Lo,'kan yang emang udah ganjen ke Aldi sampe dia ngelupain semua usaha gue buat deket sama dia." Alika terus menghunuskan pisau, sedang Elea berjalan mundur mencoba menghindar.
Dan sekarang Elea tahu, Alika hanya pengagum rahasia Rinaldi dan gak lebih.
"Lika, apapun itu gue minta maaf, tapi apa yang lo lakuin sekarang betul-betul bahaya, Lika," ucap Elea meski terbata-bata menahan rasa panik di jantungnya.
"Hahhaaa... lo pikir gue bodoh, gue tahu kok setelah gue lepasin lo, lo bakal ngadu semua ini ke guru, dan gue bakal diskors atau malah dikeluarin dari sekolah." Lika menjeda ucapannya, tatapan dan bibirnya jelas menggambarkan ia adalah jelmaan iblis betina. Ia sedikit mendekatkan kepalanya ke telinga Elea berdesis lembut disana.
"Jadi mending sekalian lo mati,'kan, cewek sialan!"
Elea spontan melotot, buluk kuduknya meremang begitu saja, ia sudah mampu membayangkan bagaimana jika pisau tajam itu melukai tubuhnya. Terkena tusukkan jarum saja sudah mampu membuat Elea menjerit kesakitan, lalu bagiamana dengan benda runcing dan tajam itu?.
Dengan segala keberanian, Elea mendorong Lika kuat, ini saatnya kabur. Bahkan jika ia hanya punya waktu sedetik pun, akan Elea gunakan untuk melindungi dirinya.
Nyatanya Alika tak goyah, ia masih kokoh berdiri di kakinya, entah mungkin juga karena Elea yang mendorongnya dengan tangan bergetar hebat, sampai tak ada efek sama sekali dengan Lika. Yang pasti kini Lika menahan bahu Elea kuat dan siap menancapkan pisau tersebut dipinggul Elea.
"Aahhkk....tolong!" teriak Elea frustasi. Tapi percuma, karena jarak mereka dengan kelas sangat jauh, lagipula sekolah Elea dilengkapi dengan alat peredam suara pada tiap kelas, berguna untuk memberi rasa tenang kepada para murid.
"Lo mati.., mati aja lo!!" Lika semakin gila terus mendorong pisau menancap kemanapun kearah tubuh Elea
Elea terus memberontak paksa, terjadi saling dorong mendorong sampai posisi mereka berubah. Elea kembali terkunci di ujung, sekali saja ia gerak.., mungkin tubuhnya akan terpelanting ke bawah.
Wajah Elea sudah memerah, nafasnya memburu, pertarungan kucing rumahan dengan singa liar ini hampir saja mustahil, tapi Elea tak ingin menyerah. Bahkan moment terakhir dalam hidupnya, ia berusaha menjambak rambut Alika, dan Alika membalasnya dengan menggigit lengan Elea.
Kaget, sakit membuat Elea melepaskan jambakannya, dan itu artinya ia juga harus kehilangan keseimbangan.
Elea merasakan dirinya melayang di udara. Hembusan angin yang begitu kuat seakan terpusat pada tubuhnya membuat Elea sesak walau belum sampai pada permukaan.
Elea hanya terpejam kuat. Berdoa agar tidak terjadi sesuatu apapun padanya, karena ia tak bisa membayangkan bagiamana shock-nya kedua orangtuanya. Tangannya mulai berusaha menggapai apapun, perasaan takut mati sangat terasa menyentuh kalbunya.
Sampai Elea dipermukaan, hentakan tubuh mencium aspal begitu keras terdengar. Sampai menimbulkan kegaduhan sebentar saja, Elea sudah mengeluarkan darah sangat banyak di tubuh cantiknya. Meski kepalanya hanya terlihat benturan kecil. Karena Elea mencoba melindungi organ tubuhnya yang satu itu.
Yaitu otaknya, Elea berharap suatu hari nanti dengan ingatannya ia bisa menceritakan semua perlakuan Alika tadi.
Ia masih berharap bisa mendapati keadilan untuk dirinya.
Meski sekarang ia harus keluar sebagai orang yang kalah dalam pertarungan ini.
"Ya Allah, astagfirullah Al azzim...!" seru Pak Eko satpam sekolah. Ia mendekati Elea berteriak agar semakin banyak orang yang datang membantu.
"Elea..!" pekik bu Sonya-guru Elea.
Sedang Alika menatap kebawah tanpa rasa bersalah.