"Ke mana, Id?"
"Keluar bentar!"
Ahmad mengangguk. Ia baru saja tiba di kontrakan. Tubuhnya sungguh lelah. Said juga ikut sih. Tapi Said pulang lebih dulu dibandingkan dengannya. Jadi sudah sempat beristirahat. Said mengemudikan motornya menuju rumah kontrakan yang lokasinya tak begitu jauh dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan. Lewat sedikit dari RSUP dr Sardjito. Ia kemudian berbelok ke kanan dan masuk ke sebuah jalanan komplek. Tak lama, ia berhenti di depan sebuah rumah kontrakan.
"Salwa ada?"
"Oh, ada, mas. Bentar Lia panggil dulu."
Said mengangguk. Ia masih duduk di atas motornya. Tak lama, adiknya itu muncul.
"Kenapa, bang?"
"Kamu gak angkat telepon ibuk?"
"Oooh....."
Ia kembali masuk ke dalam rumah. Said geleng-geleng kepala. Adiknya pasti terlalu fokus pada gambarnya. Ya ia tahu sih, menjadi anak arsitektur itu tak mudah. Tugas gambarnya pasti banyak sekali.
"Iya, buuk. Maaf tadi Salwa sibuk ngerjain gambar."
Said bisa mendengar suaranya. Tak lama, adiknya memang keluar dari rumah dan duduk di teras rumah. Said melipat kedua tangan di depan d**a. Semenjak Salwa ikut meneruskan perkuliahan di sini, ia harus menjaganya selagi bisa. Ya pasti bisa sih. Mereka sama-sama berada di sini dua tahun. Maksudnya, Said dalam dua tahun ke depan akan selesai dengan studinya. Salwa?
Gadis itu kan masuk kelas internasional. Jadi setelah dua tahun, ia akan pindah keluar negeri karena ya harus menyelesaikan sarjananya di luar negeri.
"Ya. Ya. Nanti Salwa makan."
Ibunya pasti bawel sekali. Ia hanya mengiyakan. Akhir-akhir ini ia memang sangat sibuk. Padahal awal semester dua baru saja dimulai. Tapi tugasnya sudah banyak. Ya namanya juga mahasiswa.
"Kapan kamu makan?"
Said bertanya begitu Salwa menutup telepon ibunya. "Hah?"
"Tadi katanya mau makan."
"Ya, nanti lah, bang."
"Makan sekarang!"
Itu perintah. Untuk apa Said sampai datang ke sini kalau bukan untuk menjemputnya makan? Salwa mengerucutkan bibir. Dalil Said adalah dalil yang sulit dibantah. Ya ia tahu sih, Said harus menjaganya juga di sini. Jadi jelas tak mudah. Akhirnya ia ikut keluar dengan Said. Mereka makan di warung pecel ayam. Yeah di pinggiran jalan raya.
"Oi, Id!"
Said menoleh ketika baru masuk ke dalam tenda pinggir jalan itu. Ternyata ada beberapa anak BEM yang juga sedang makan di sana. Para lelaki itu tentu saja menoleh ke arah Said yang tumben-tumbennya bersama perempuan. Siapa?
"Oh. Adikku."
Ia akhirnya mengenalkannya. Salwa awalnya tak memerhatikan. Begitu menoleh, ia terkaget melihat langsung kakak kelas semasa SMA yang memang kabarnya meneruskan kuliah di sini. Hanya saja, sudah lebih dari setengah tahun di sini, ia tak pernah bertemu. Lah ini? Malah berada tepat di depan matanya.
"Oh. Adikmu?"
Mata lelaki itu juga tampak berbinar.
"Salwa kan? SMA 8 Jakarta?"
"I-iya, kak."
"Inget saya?"
Salwa mengangguk tipis. Tentu saja ia tahu. Mantan ketua OSIS teranyar ketika pertama kali masuk SMA. Seseorang yang begitu menarik perhatiannya ketika berbicara di depan mikrofon. Masya Allah!
"Lo kenal, Thur?"
Said ikut duduk di sebelahnya. Mau tak mau, Salwa ikut bergabung. Gadis itu duduk di samping Said. Tak banyak kosa kata yang bisa ia keluarkan saat ini. Hanya menjawab seperlunya.
"Kenal lah. Kan satu sekolah dulu, Id."
"Aah iya ya. Lo kan anak SMA 8 juga."
Said baru tersadar. Kalau ia? Ia bukan anak SMA. Ia adalah anak gontor yang akhirnya masuk ke sini. Salwa tampak canggung. Ye lah, yang ditaksir sejak lama akhirnya bertemu juga. Kenal pula dengan kakaknya ya? Ia tahu kok. Tapi tak berani bertanya pada kakaknya. Nanti yang ada nih, ia akan diceramahi karena pacaran itu dosa. Ya gak nyari pacar juga. Ia tahu kalau orangtuanya ah bahkan keluarganya sangat ketat. Menutup aurat itu wajib dalam keluarga mereka. Meski baginya, ia juga belum benar-benar meresapi tentang menutup aurat itu. Namanya juga manusia, pasti ada khilaf dan ia masih belajar banyak.
"BEM mau buka loh, Sal. Ikutan?"
Buka perekrutan kan? Tentu dong. Hihihi. Selain ia memang aktif, salah satu alasannya yaa lelaki ini.
"Ikut, kak."
Ia menjawab dengan sangat kalem. Hahaha.
@@@
"Mad! Mad! Mad!"
"Biasanya yang dipanggil Ahmad itu suka jelek loh mukanya. Yang ini ndak dooong!"
Kalau sudah rusuh begini, artinya Ino yang memulai. Ahmad yang baru saja memasuki masjid kampus hanya geleng-geleng kepala. Ya namanya juga Ino.
"Nama itu pemberian orangtua. Nah dalam bahasa--"
Ino langsung memotongnya. Ia sudah sangat hapal dengan apa yang hendak diucapkan oleh Ahmad. "Dalam bahasa Arab, Ahmad itu artinya sangat terpuji. Udah tau aku, Mad!"
Yang lain terbahak. Kalau bukan melucu namanya bukan Ino. Mereka sedang kumpul sih. Bukan jadwalnya kajian juga. Tapi rapat kecil karena kan akan segera ada perekrutan anggota baru BEM. Kabinet sudah berdiri tapi mereka butuh personil baru tentunya. Terutama ya anak-anak angkatan baru. Rapat ini ya hanya divisi mereka saja. Beberapa orang akan mewawancarai calon anggota baru yang melamar di divisi mereka. Jadi perlu ada penyamaan dan pemahaman dalam menyampaikan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diharapkan. Meski mungkin akan tetap bias, tapi setidaknya bisa satu suara. Itu akan lebih baik.
Satu jam kemudian, mereka bubar karena sudah akan masuk waktu solat magrib. Bagi aktivis kampus seperti mereka, jam-jam segini ya baru mulai beraktivitas. Selain tugas, ada banyak hal yang harus dilakukan terutama terkait organisasi.
"Hayya 'alashshalaaaaaaaaaah........"
Marilah solat.
"Hayya 'alashshalaaaaaaah......"
Marilah solat.
"Mas Ahmad bukan, Zah?"
"Ssssstttt!"
Yolanda nyengir. Zahra tentu sudah tahu kalau Ahmad ada di sini. Bagaimana ia bisa tahu? Kan tadi ia melihat Ahmad berkumpul dengan divisinya. Pasti rapat. Lagi pula, ia juga tahh dari Ino sih. Ino kan mulutnya kayak genteng bocor.
"Kalo ada yang lagi azan, dijawab dalam hati. Jangan sibuk gosip!"
Mereka terdiam. Yeah memang diam sih. Lalu siapa yang membacot tadi?
"Iiih. Sok alim deh," sungut Yolanda. Ia selalu sensi kalau ada gadis yang satu itu. Siapa?
Namanya Hawa Khairunnisa. Anak kedokteran satu itu sangat disegani. Ya kakak tingkat mereka yang dari dulu terkenal sangat berprestasi. Ia harusnya skripsi semester ini. Tapi karena ikut pertukaran pelajar selama satu tahun di Belanda, masa studinya tertunda. Jadi ya masih semester 6 dan sering satu kelas dengan orang-orang yang sering ia ceramahi. Ia hanya tak suka saja kalau ada yang genit-genit di depan laki-laki. Jatuhnya seperti perempun yang tidak punya harga diri. Baginya sih begitu.
"Nyebelin emang tuh orang!"
"Ssstt Fatimaaah!"
Ia nyengir. Sementara imam sedang khusyuk melafalkan surat Al-Fatihah di depan sana. Usai solat, Yolanda dan Fatimah buru-buru kabur dari barisan. Zahra sempat menoleh, entah akan ke mana kedua gadis itu. Sementara ia masih khusyuk berzikir. Beberapa menit kemudian, ketika ia sedang melipat mukenanya, Hawa berjalan ke arahnya. Untuk apa?
"Bilangin itu sama temen-temen kamu. Jangan terlalu berisik kalo mau solat di sini. Ini masjid bukan kafe."
"Maaf, kak."
Ia yang meminta maaf. Ia pikir sudah selesai. Tapi ternyata masih ada lagi yang dikatakannya.
"Bilangin juga itu temen-temen kamu. Jangan sampai satu kampus tahu kalau kamu suka sama Ahmad. Jadi perempuan harus punya harga diri," tukasnya.
Ya kali ini lebih nyelekit sih. Ia hanya bisa diam. Ya mungkin perkataannya memang benar. Semenjak ia bergabung di BEM dan mengenal Ahmad, semua orang jadi mengoloknya dengan Ahmad. Itu juga berawal dari teman-temannya. Meski ia tak bercerita apapun, mereka tahu bagaimana perasaannya. Karena matanya memang tak pernah bisa berbohong.
Ia keluar dari tempat solat perempuan. Hendak berjalan menuju mobil tapi dari kejauhan, Fatimah dan Yolanda melambai-lambaikan tangan. Ternyata mereka mencegat Ahmad. Mereka memang sangat gencar untuk mendekatkannya dengan Ahmad. Karena mereka tahu bagaimana perasaannya. Namun mengingat ucapan tadi, membuatnya masuk ke dalam mobil. Walau tak urung berhenti juga di dekat mereka untuk membawa pulang Fatimah dan Yolanda.
"Assalammualaikum, mas. Belum pulang?"
Fatimah dan Yolanda berdeham-deham.
"Waalaikumsalam. Mungkin sebentar lagi. Ayahmu bagaimana kabarnya, Zah? Sehat?"
"Alhamdulillah, mas. Aku lupa menyampaikan kalau abi titip salam untuk mas."
"Ciyeee dapat salam dari calon ayah mertua!"
Zahra melotot ke arah Fatimah yang terkikik-kikik sambil masuk ke dalam mobilnya. Ahmad tak terlalu ambil pusing dengan hal itu.
"Oh. Alhamdulillah. Sampaikan salamku juga untuk ayahmu, Zah."
Zahra mengangguk. "Duluan, mas. Wassalammualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Ciyeeeee!"
Kedua penumpangnya ini kompak mengoloknya.
"Kamu harus berterima kasih loh, Zah, sama kita. Udah kita bantuin biar bisa ngobrol sama mas Ahmad. Iya ndak, Fat?"
Fayimah mengangguk-angguk. Ia hanya tersenyum tipis. Ya ia berterima kasih kok walau dalam hati. Sudah cukup senang karena bisa mengobrol dengan Ahmad.
Ia sudah sangat lama menyukai lelaki itu. Mungkin sejak zaman SMA? Kebetulan, ia bersekolah dulu di salah satu daerah di Jawa Timur. Kalau ditanya aslinya dari mana? Ya dari Yogyakarta ini. Tapi kedua orangtuanya mengelola pondok pesantren dan gontor di Jawa Timur. Sementara Ahmad kebetulan adalah salah satu murid ayahnya. Karena pernah bertemu beberapa kali dulu, ia jadi suka.
Ahmad bukan tipe cowok yang ganteng. Ia tipe cowok manis. Menurut Zahra sih begitu. Tidak bosan dipandang. Dan yah terbukti sekarang. Kalau Ahmad begitu populer di kampus ini.
"Mad! Makan dulu yok!"
Ahmad mengangguk. Mereka berangkat dengan motor menuju warung makan langganan. Si ibu pemilik juga sudah hapal dengan wajah-wajah mereka. Apalagi yang suka berhutang. Hahaha.
"Iki lo yang lagi diomongin sekarang!"
Si Ino memperlihatkan isi layar ponselnya. Yang lain buru-buru menutup layar ponsel Ino agar tak terlihat oleh Ahmad. Nanti malah diceramahi yang ada. Hahaha.
"Astagfirullah, Noo. Berdosa, Noo. Foto cewek gak tertutup auratnya kok diperlihatkan kepada kami-kami ini, si manusia yang sedang belajar menjadi lebih baik!"
Fikri mendramatisir. Yang lain terbahak. Baru berhenti tertawa saat Idris mengangsurkan piring berisi makanan yang mereka pesan. Ahmad geleng-geleng kepala. Sedari tadi, ia sibuk dengan ponselnya. Yeah, membalas pesan ibunya.
"Iish! Tadi di motor yang tanya duluan siapa heh?"
Ino tak terima. Mereka terkikik-kikik lagi. Yah namanya juga cowok. Yang dibicarakan tak jauh-jauh dari cewek cantik.
"Istigfar, Noo!"
Ahmad mengingatkan. Ia disembur lagi oleh teman-teman yang lain. Hal yang mengundang tawa.
@@@
"Namanya Ahmad," bisik salah seorang perempuan keturunan Batak di telinganya.
Mereka baru saja lewat di depan warung di mana Ahmad dan teman-temannya nongkrong. Ia masih menatap ke arah belakang. Masih terlihat wajah Ahmad yang tertawa berzama teman-temannya. Baginya sih ganteng dan manis.
"Kan kau tanya kemarin sama aku, yang jadi orator dari kampus kita di Senayan. Itu orangnya. Mirip kan?"
Ia mengangguk-angguk. Bukan hanya mirip. Tapi memang itu kah orangnya. Ternyata kalau dilihat secara langsung, malah ada gantengnya. Kalau hanya dari foto ya terlihat hanya manis. Tapi ia suka sih dengan senyumannya yang begitu khas hingga melelehkan hati.
"Tapi inget loh, Ver. Kalo yang ini kayaknya bukan tipe-tipe yang bisa dipacarin deh."
Keningnya mengerut. "Maksudnya gimana?"
Beta, temannya itu, memperlihatkan isi postingan di akun media sosialnya Ahmad. Veronika langsung ber-ah ria. Baru paham.
"Yang ada nih, kau malah disuruh masuk Islam."
Ia terkekeh. Dari dulu, entah kenapa ia selalu tertarik dengan lelaki muslim. Yeah deretan mantannya ya rata-rata memang muslim. Ia juga tak paham kenapa. Mungkin kebetulan? Menurutnya, itu hanya sebatas ketertarikan saja.
"Mamakmu bisa masuk rumah sakit kalau kau sampai masuk Islam. Ah gak usah lah kek gitu, kau pacaran aja sama yang beda agama kek mantan-mantan kau dulu, bisa mati lama-lama mamakmu!"
Vero tertawa. Yeah, mamanya memang stres sekali akhir-akhir ini. Berawal dari kakak laki-lakinya yang pindah agama setahun lalu. Hingga sekarang, hubungan kakaknya dengan mamanya tak baik. Ah bahkan tak diakui lagi sebagai anak dan bagian dari keluarga. Kalau ia?
Tak masalah sih. Menurutnya, kepercayaan tidak harus diturunkan. Anak yang sudah cukup dewasa, diperbolehkan memilih apapun untuk kehidupannya. Itu bebas selagi yang diinginkan adalah hal yang baik. Ya kan?
"Kau jangan ngomong begitu lah."
Beta mendengus. Ya tahu sih. Persoalan ini cukup sensitif bagi mereka.
"Terus kau dan Petrus macam mananya sekarang?"
Ia hanya terkekeh. Enggan menjawab. Malah berjalan masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintunya.
"Heei! Aku nanyanya! Dasar memang kau, Siregar!"
"Kau yang dasar hei, Sitohang!"
Mereka sama-sama terbahak dari kamar masing-masing. Vero beranjak duduk kemudia membuka ponsel. Ia masih mengingat nama akun yang diperlihatkan oleh Beta tadi. Akun siapa? Ya Ahmad lah. Lelaki yang kemarin mencuri perhatiannya. Hanya penasaran dan mungkin bentuk kekaguman?
Ia buka isi postingannya Ahmad yang yeaaaah dipenuhi dengan siraman rohani. Hahaha. Ia malah tertawa. Tapi bukan hanya Veronika yang melakukan ini. Ada banyak perempuan yang membuka akun media sosial Ahmad di setiap harinya. Jumlah pengikutnya juga terus bertambah karena orang dibuat penasaran. Kenapa lelaki yang tampak biasa-biasa saja ini begitu menarik?
"Heh! Buka-buka apa kamu?"
Yang ditanya malah bingung. Ia dan teman-temannya saling bersitatap. Sementara cewek yang baru saja menegur sudah berkacak pinggang. Marah kalau ada yang mencoba mengecek akun media sosial Ahmad di depannya.
"Tutup gak? Anak baru kan?"
Kalau sudah bawa-bawa senioritas, mereka kalah deh. Lebih baik membungkuk meminta maaf lalu kabur.
"Heiish! s****n!"
"Re! Re, kenapa?"
Teman-temannya baru datang tapi mood-nya sudah bete. Lalu ia tak berhenti mengomeli orang-orang yang tertarik pada Ahmad. Terutama perempuan. Ia sangat tak suka. Karena Ahmad itu.....akan jadi miliknya! Titik.
@@@