"Mas! Mas Ahmad! Haus?" tanyanya dengan senyuman lebar. Suaranya yang manja mengundang seruan teman-teman Ahmad yang ada di sekitarnya. Ahmad berdeham lantas geleng-geleng. Sudah biasa.
"Kalo mau ngasih minuman ya ngasih aja, Ree! Ndak usah pakek nanya!" semprot Ino yang tentu saja membuat suasana menjadi riuh lagi. Renita mengirim tatapan sangarnya dan pelototan tajam tapi berubah manis saat kembali menatap Ahmad.
"Nih, Mas," tuturnya kemudian memberikan sebotol minuman dingin yang ia dapatkan tadi dari salah satu bapak-bapak polisi. Ahmad mengucapkan terima kasih meski tampak lirih sekali.
Bukan kabar heboh lagi tentang persoalan cewek yang satu ini, yang mengincarnya sejak pertama kali bergabung sebagai anggota BEM kampus dua tahun lalu. Ahmad sebetulnya agak-agak risih dengan adanya perempuan semacam ini. Bukan apa-apa. Ia dibesarkan di lingkungan pesantren. Ayahnya pemilik pesantren dan sedari kecil, ia memang dididik dengan ilmu-ilmu agama yang baik. Ditambah lagi, ia hanya mengenyam pendidikan di pesantren lalu di gontor. Kemudian malah masuk UGM karena gagal diterima di universitas ternama dunia, Al-Azhar University di Kairo. Alih-alih mengambil jurusan yang berkaitan langsung dengan Islam, ia membelok ke Hubungan Internasional. Niatnya memang mau menjadi diplomat bukan untuk meneruskan tahta pesantren. Meski penerusnya sudah jelas bukan dirinya tapi kakak lelaki. Ia lebih tertarik untuk mengambil jalur lain. Meski mungkin agak sulit mendapat izin dari kakeknya.
Sementara itu Yolanda baru saja menyikut lengan Zahra. "Apa aku bilang? Kamu sih kelamaan. Udah keburu ditikung sama si nenek lampir kan?" dumelnya. Melihat tingkah Renita yang genit-genit manja itu mendekati Ahmad, malah ia yang emosi.
Zahra hanya menghela nafas. Sudah kenyang dengan pemandangan itu. Siapa pun tahu kalau anak Ekonomi yang satu itu memang mengejar Ahmad. Tapi yaa Ahmad bukan tipe lelaki yang mau dipacari apalagi mencari kesempatan untuk berduaan dengan perempuan.
"Heran aku sama si Renita itu. Tiap demo, kerjaannya modusan mulu sama Mas Ahmad!"
Fatimah yang sedari tadi mendengar juga mengangguk-angguk kepala. Mulutnya penuh dengan cemilan anehnya, badannya tetap pendek dan kurus. Entah ke mana makanan-makanan yang masuk ke dalam perutnya itu. Apakah menjadi daging atau kah malah menjadi angin?
"Tapi ndak apa-apa lah, Zah. Yang penting kan Mas Ahmad ndak naksir balik gitu sama si Rere. Kamu aman toh?"
Fatimah mencoba menghiburnya. Ia hanya bisa menatap Ahmad dari jauh. Begitu Renita pergi, Ahmad bisa kembali bernafas dan bercanda ria dengan teman-temannya. Tak lama, para komando lapangan berkumpul. Beberapa dari mereka sebetulnya sudah berusaha untuk bertemu dengan anggota DPR. Meski masih belum ada respon. Anak-anak UGM yang berdemo di sini mungkin paling lama hanya sampai lusa saja. Karena setelah itu, mereka akan kembali disibukkan dengan urusan kampus.
Aman sih aman, gumam Zahra. Tapi permasalahannya kan bukan itu. Sampai dua tahun ini semenjak mengenal Ahmad, lelaki itu sepertinya tak ada hati padanya. Sikap ramah dan baiknya sama terhadap semua perempuan. Terkadang ia merasa diistimewakan. Tapi ternyata itu hanya lah khayalannya saja.
"Aku yakin nih, Mas Ahmad pasti banyak dikenal lagi sama anak-anak kampus di sini. Aku tadi dengar bisik-bisik mereka yang ngomongin Mas Ahmad. Tuh kaaan, Zaaah! Kamu itu harusnya sedikit menunjukan perasaanmu sama Mas Ahmad! Biar dia tahu begitu. Biar ndak bertepuk sebelah tangan. Aku yakin, dia pasti tertarik sama cewek-cewek sepertimu. Mana mungkin ndak tertarik? Kamu cantik, anak kedokteran, solehah insya Allah. Paket komplit kan?"
Yolanda menghiburnya. Dalam hati, Zahra tetap saja merasa gelisah. Ia sudah mengamati sikap Ahmad slama ini kepadanya. Tapi benar-benar tampak biasa saja. Dari Said, sahabatnya Ahmad, lelaki itu sama sekali tidak memiliki perempuan yang sedang disukai. Jadi mungkin aman. Namun tetap saja. Meski ia percaya diri dengan apa yang ia punya, tak akan bisa menjamin perasaan Ahmad akan tertarik padanya.
@@@
Dihari ketiga demo, akhirnya mereka dipanggil anggota DPR dari Komisi 3 untuk masuk dan berdialog dengan para mahasiswa. Ahmad didorong oleh teman-temannya. Ia bersama Fatah dan beberapa perwakilan kampus lain ikut masuk ke dalam gedung megah itu. Yeah, gedung megah yang memiliki sejarah.
Salah satu momen bersejarah dalam peristiwa Mei 1998 saat menumbangkan Orde Baru adalah pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Massa aksi bahkan naik ke gedung Nusantara yang atapnya berbentuk kubah berwarna hijau. Gedung ini adalah tempat para anggota dewan bersidang sekaligus tempat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebagian masyarakat menyebut gedung ini sebagai 'Gedung Kura-kura' karena atapnya menyerupai tempurung binatang tersebut. Meskipun sebenarnya, atap kubah itu bukan lah tempurung kura-kura melainkan melambangkan kepakan sayap burung garuda.
Pembangunan Gedung DPR/MPR RI secara resmi dimulai 8 Maret 1965. Pada saat itu, Presiden Sukarno menugaskan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT), Soeprajogi, untuk memimpin pembangunan. Pembangunan gedung ini pada mulanya dimaksudkan untuk menggelar Conference of the New Emerging Forces (Conefo) pada 1966.
Ini kali pertama Ahmad memasuki bangunan megah ini. Kompleks bangunan megah ini terbagi menjadi beberapa area. Bangunan yang paling dikenal adalah Gedung Nusantara. Di dalamnya terdapat Ruang KK 1, Ruang KK II, Ruang Rapat Komisi II dan IV, Ruang Sidang MPR RI, dan Museum DPR RI. Nama dari Gedung Nusantara, juga gedung-gedung induk lainnya, mengalami perubahan beberapa kali. Pada mulanya menggunakan bahasa Inggris, yakni Main Conference Building (1968), Secretariat Building dan gedung balai kesehatan (1978), Auditorium Building (1982), dan Banquet Building (1983). Kemudian sempat diubah menggunakan bahasa Sansekerta menjadi Grhatama, Lokawirasabha Tama, Ganagraha, Lokawirasabha, Pustaloka, Grahakarana, Samania Sasana Graha, dan Mekanik Graha. Setelah Orde Baru tumbang, nama-nama gedung ini pun kembali mengalami perubahan. Pada tahun 1998, nama-nama gedung diganti dari Grahatama menjadi Gedung Nusantara, Lokawirasabha Tama menjadi Gedung Nusantara I, Ganagraha menjadi Gedung Nusantara II, Lokawirasabha menjadi Gedung Nusantara III, Pustaloka menjadi Gedung Nusantara IV, Grahakarana menjadi Gedung Nusantara V, Samania Sasana Graha menjadi Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, dan Mekanik Graha menjadi Gedung Mekanik.
Beralih ke masa sekarang, para mahasiswa digiring menuju Ruang Sidang Paripurna. Yeah ruang sidang yang paling sering masuk televisi. Yanh menjadi saksi sejarah pengesahan berbagai undang-undang yang telah diatur di Indonesia. Ruang Sidang Paripurna DPR RI berada di lantai paling atas Gedung Nusantara II, yaitu di lantai tiga. Memasuki ruangan itu, sesungguhnya hati Ahmad berdesir. Ada niatan untuk menjadi politisi tapi bukan seperti mereka yang kerjanya mengelabui rakyat. Mereka bukan menyuarakan nurani rakyat tapi malah mematikan suara rakyat. Mematikan suara rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas jauh dari kerakyatan tetapi lebih menguntungkan penguasa dan oligarki.
@@@
Dialog berlangsung cukup alot. Anggota DPR tentu saja memiliki alibinya sendiri untuk membenarkan semua keputusan. Begini lah yang mereka sebut demokrasi. Yang penting duit masuk, urusan rakyat? Nanti kalau pemilu datang lagi. Mereka hanya perlu rakyat ditahun-tahun itu. Sisanya ya lupakan saja.
Bukan hanya Ahmad yang menahan geram tapi seluruh perwakilan mahasiswa juga kecewa karena dialog ini percuma. Mereka sudah mengambil keputusan sendiri. Mereka menghibur dengan kata-kata setidaknya mereka sudah berusaha untuk bisa sampai di sini. Iya kan?
"Gak apa-apa teman-teman!" ujarnya. Meski hatinya juga kakut dengan kecewa. Apa yang akan mereka katakan pada teman-teman mereka yang masih berpanas-panasan ria di luar sana? Aspirasi mereka sama sekali tak didengar. DPR dengan segala alasan yang mereka benarkan tetap akan mengambil keputusan yang sama yaitu mengesahkan undang-undang yang syarat dengan ketidakadilan. Bagaimana suatu negara akan damai dan makmur? Jika ketidakadilan menyebar di mana-mana?
"Bismillahirrahmanirrahim," ia memulai dakwah dadakannya. Fatahilah menahan diri untuk tak menyemburkan tawa. Oke ia tahu kalau ini sebetulnya hanya sikap refleks Ahmad yang otomatis mengeluarkan ayat atau hadis untuk menenangkan perdebatan. "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang laki-laki bertanya: Ada seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus, apakah termasuk kesombongan? Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Hadis riwayat Muslim," ia berdeham lantas menatap wajah-wajah sedih. Mereka seperti kehilangan semangat karena perdebatan alot tadi hanya lah formalitas bagi DPR. Alasan mereka tentu adalah pertemuan ini telah digelar meski tak akan menghasilkan apa yang diharapkan okeh mahasiswa. "Imam Nawawi rahimahullah juga berkata: Adapun 'menolak kebenaran' yaitu menolaknya dan mengingkarinya dengan menganggap dirinya tinggi dan besar. Setidaknya teman-teman, kita sudah sampai dititik di mana kita sudah menyampaikan sebuah kebenaran kepada mereka. Menyampaikan kebenaran hukumnya dalam Islam adalah wajib dan bagi mereka yang mendapatkan kabar mengenai kebenaran harus lah mengikutinya. Seharusnya begitu. Tapi kalau tidak, akan ada azabnya!" ucapnya dengan semangat.
Teman-temannya menatapnya. Mungkin terbius atau merasa aneh dengan dakwahnya yang tiba-tiba begini? Beberapa wartawan justru merekam aksinya.
''Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Quran Surat Asysyura 42. Barang siapa yang menipu kami, bukanlah dia dari golongan kami. Hadis riwayat Muslim. Rasulullah SAW mengatakan, setiap orang adalah pemimpin dan mereka akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Dalam hadis lain, disebutkan, barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, menutup perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi diri-Nya, tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya. Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi."
Ia berdeham. Wajahnya semakin serius karena teman-temannya juga menyimak dengan serius.
"Seorang pemimpin adalah abdi atau pelayan bagi rakyatnya. Dalam sebuah ungkapan, dikatakan, Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya. Karena itu, mereka tidak boleh melakukan kezaliman pada orang-orang yang dipimpinnya. Semua kebijakan yang dibuatnya harus mengacu pada kepentingan yang dipimpinnya. Bila ia mengkhianati amanah yang telah diberikan rakyat itu, dosa besar dan azab yang pedih akan ditimpakan kepadanya. Begitu juga mereka yang senantiasa melakukan sogok dan korupsi. Allah melaknat orang yang memberi suap dan menerimanya dalam memutuskan suatu perkara. Hadis riwayat Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim. Percaya lah teman-teman. Setidaknya kita hari ini sudah memenuhi tugas kita. Meski kebenaran yang kita bawa ditolak sehingga tidak terealisasi. Amalnya tetap akan tercatat dan tidak sia-sia."
@@@