Tentang Ayah

1065 Kata
"PAPAAAAAAAA!" Ia langsung berteriak begitu tiba di rumah. Said tentu saja sudah tahu apa yang mungkin terjadi. Hahaha. Apa? Berhubung jarang bertemu sang Papa, Salwa pasti akan memeluk Papanya tiap akan pergi dari rumah atau pulang ke rumah. Ya maklum lah namanya juga mendadak merantau. Meski tidak pun, ia tetap sama kok. Walau Papanya tak ke mana pun dan ia yang pergi dari rumah tak sampai sehari, pasti akan memeluk Papanya seperti itu. "Dasar manjaaaa!" Itu suara Said. Hal yang tentu saja mengundang tawa. Ahmad? Ya agak terperangah diawal. Walau kemudian terkekeh. Ternyata masih hangat ya? Ia ingat dulu ketika ke sini dikala Salwa masih kecil. Ia memang begitu manja dengan Papanya. "Waah ada Ahmad ini. Apa kabar kamu, Mad? Lama gak ketemu Om." Ia tersenyum kecil. Tentu saja menyambut dengan obrolan. Diajak masuk juga dan ikut makan malam nantinya. Kalau sekarang ya disuruh ke kamarnya Said. Tentu akan ikut menginap di rumah ini. "Kamu duluan aja mandinya," tukas Said. Ia keluar dari kamar menuju dapur. Ahmad masuk ke dalam kamar mandi. Usai mandi ya keluar dari kamar. Ia melihat Said muncul menghampirinya. Tentu saja hendak masuk ke dalam kamar untuk mandi sementara Ahmad pergi ke dapur karena melihat keramaian di sana. Ada ibunya Said dan juga Salwa yang baru bergabung. Gadis itu juga sudah selesai mandi. "Mama kamu gimana kabarnya, Mad?" "Alhamdulillah, baik, Tan." "Sehat semua ya keluarga kamu?" Ia mengangguk. Ya keluarga besar kan maksudnya? Kakeknya juga. Kalau ingat kakeknya, ia jadi ibgat sesuatu yang belum ia berikan jawaban. Jawaban untuk menolak tapi penolakannya tak akan diterima begitu mudah oleh kakeknya. Harus ada alasan syari. Kalau sekedar perasaan juga tak akan diterima. Itu lah susahnya. Kakeknya memang begitu. Punya pemikirannya sendiri. Nah masalahnya adalah yang ia hadapi itu kan Zahra. Tahu kan Zahra itu seperti apa? Ya dikenal sebagai anak seorang kyai menuntutnya untuk bersikap sesempurna mungkin. Walau entah kenapa, Ahmad memang sellau merasa gak begitu srek dengannya sejak dulu. "Salwa baru tahu loh, Ma, ternyata Mas Ahmad itu dulu suka ke sini." "Ya memang suka ke sini. Apalagi kalau lagi libur nyantri. Memang jarang-jarang dan gak begitu lama nginepnya. Kadang juga gak nginep ya, Mad? Kamunya aja tuh suka kelayapan." Salwa mencebik bibirnya. Ia mana tahu sih? Kalau dulu ya memang ia tak begitu perduli dengan teman-teman Said yang datang ke rumah. Kalau sekarang? Ya sama sih. Hanya saja Ahamd menurutnya berbeda karena begitu menginspirasi. Ia jadi tahu sih kenapa teman-temannya sangat mengagumi cowok yang satu ini. Ahmad terkekeh. Mengobrol dengan kedua orangtua Salwa ya sudah biasa dan sering dilakukan. Saat makan malam bersama pun, mereka sangat seru mengobrol. Apa saja dibicarakan kok. Kecuali ya soal asmara. Memang tak ada yang menyentil dan saling tahu. Apalagi Said. Hahahaa. "Said pernah ke kosan cewek, Mad?" Mamanya bertanya. Tentu saja Said langsung protes. Hahaha. Salwa terpingkal. Ia tak yakin soal itu. Ahmad terkekeh. "Pacarnya ada di kamarnya, Tan. Untuk apa dia jauh-jauh ke kosan cewek lain?" Kening si Tante mengerut. Si Om malah menahan senyum. Tentu saja paham dengan candaan Ahmad. "Pacarnya siapa? Kamu punya pacar?" Tawa Ahmad membludak. Said tentu saja mengomel. Hahaha. Ia bisa dituduh macam-macam kalau begini. Hahahaha. "Laptopnya, Tan. Dari pagi sampai malam betah banget di depan laptop. Kadang lupa kalau udah ganti hari. Semua tirai di kamarnya ditutup sama dia." Hahahaha. Mamanya tertawa. Ya anaknya yang stu ini memang aneh. Suka mengurung diri dan menyendiri. Ya Said memang kurang pandai bersosialisasi. Meski begitu, pasti dilatih kok sedari kecil. Ia akan berani jika bersangkutan dengan apa yang bisa ia kuasai. Berkebalikan dengan Salwa yang memang serba ceria. Usai solat isya, ketiga orang ini tampak duduk di kolam renang. Ya Said tentu dengan pacarnya a.k.a laptop di pangkuannya. Ia duduk di antara Salwa dan Ahmad. Ya duduk di hadapan kolam renang sembari menatap ke langit gelap di atas sana. Tak ada bintang. Mungkin bintangnya sudah tak betah di langit Jakarta saking tebalnya polusi udara. "Tadi sore, Mama sempat bilang kalau Mas Ahmad dari kecil suka ke sini. Memang begitu ya, Mas? Bukannya sama Abang baru kenal pas pesantren?" "Ahmad itu anak temennya Papa. Ayahnya dulu juga kerja di BIN. Emangnya, Abang belum cerita ya?" Salwa mengendikan bahu. Entah lah. Mungkin sudah tapi ia lupa atau memang belum diceritakan sama sekali. Ahmad hanya mengangguk pelan, mengiyakan. Ingatannya juga agak samar kalau persoalan ini. Ya namanya juga masih sekecil itu. Anak-anak lain juga belum tentu teringat apa-apa saja yang terjadi di dalam hidupnya ketika amsih kecil kan? "Jadi dulu Ayahnya itu kadang dapat dinas di Jakarta jadi beberapa kali menumpang menginap di rumah kita." "Abang inget emangnya? Kan masih kecil?" "Ya kan diceritain Papa." Aaaaah. Salwa mengangguk-angguk. Kalau Ayahnya disebut, itu membuatnya menjadi teringat. Hal yang akhirnya membuatnya tak begitu banyak bicara. Sekitar jam sembilan malam, Salwa berpamitan untuk naik ke lantai atas. Tentu saja ia hendak ke kamarnya dan tidur. Sementara kedua cowok ini masih di tempat yang sama. Sekitar setengah jam kemudian baru deh keduanya pergi dari sana. Itu pun karena dipanggil Ayahnya Said. Ada apakah? "Ada titik terang soal Ayahmu, Mad?" "Gak ada, Om." Ia tentu sedih. Tapi kenyataannya memang begitu. Papanya Said mengangguk-angguk. "Tapi sebenarnya Om dapat sedikit bocoran." Ia mendongak. Apakah itu? "Om tidak yakin apakah ini benar atau tidak. Ada salah satu saksi mata yang mengaku pernah melihat Ayahmu disekap." "Disekap?" Si Om mengangguk. "Di rumah salah seorang pemuka agama dan mungkin sangat kamu kenal. Cuma Om tak begitu yakin." Ya ia meragu pada si narasumber. Itu kan surat kaleng yang dikirim lewat email. Ayahnya Salwa ini kan bisa IT juga. Jadi ya ia semacam mengirim sinyal di dunia internet untuk mencari keberadaan sahabatnya itu. Walau ia meyakini sudah meninggal. Persoalan siapa yang membantainya, ia tahu, tapi kan tak punya bukti. Jadi tak bisa sembarang menuduh juga. Sehingga memang harus hati-hati dalam kasus ini. Si Om menyebutkan nama kyai yang dimaksud. Hal yang membuat Ahmad juga ikut tak yakin. Karena ia juga mengenal kyai yang satu ini dan kyai ini sangat baik. Tentunya bukan Ayahnya Zahra karena kyai ini tinggal di Bandung. Bukan seorang kyai muda juga. "Tapi coba kamu ke sana. Barangkali bisa digali kebenarannya. Kita gak pernah tahu kalau gak mencoba banyak hal, Mad." Ahmad mengangguk. Ya benar juga. "Bakal nyari Ayahmu sampai kapan, Mad?" Itu obrolan pembuka ketika mereka sudah kembali ke kamar. Untuk itu pun, Ahmad tak punya jawaban. Jika orangtua pada anaknya akan melakukan apa saja maka ia juga sama kan? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN