Namun, saat ia membuka pintu kamar tidak terdapat siapapun di dalam kamar itu, kamar itu rapi, kosong, wangi, itulah yang Aliana lihat dan rasakan saat pertama kali membuka pintu. Lalu untuk kedua kalinya timpukan buku tebal mendarat di atas kepala Aliana.
“Phuk!”
“AW! Astaga…! Kau hobi sekali menimpukku dengan buku tebal itu!” kesal Aliana sambil mengusap-usap kepalanya yang baru saja Brian timpuk dengan buku tebal kedokterannya.
“Apa yang kau lakukan membuka pintu kamarku?” tanya Brian dengan tatapan marahnya.
“Inikan kamarnya Ren!” balas Aliana tidak ingin kalah.
“Kau salah bodoh, ini kamarku, kau tidak sadar ini kamar yang berseberangan dengan kamarmu sendiri di sana,” ujar Brian sambil menunjuk pintu kaca yang tidak tertutup kain penutupnya. Terlihat kamar Aliana yang berada di seberang sana.
“Ah, aku salah kamar maaf aku ingat ini kamar Ren,” seru Aliana kemudian ia mundur dengan perlahan menyelip di antara dinding dan tubuh Brian yang berada dekat di belakangnya.
Brian kemudian menaikkan satu alisnya, tanpa pikir panjang mengunci pergerakan Aliana di tembok. “Dengan mudahnya ingin pergi?” seru Brian dengan nada rendah berbisik di telinga Aliana.
Aliana terkejut karena perbuatan Brian tadi, Aliana sampai merinding mendengar bisikan tersebut. Ia memundurkan kepalanya sejajar dengan tempok dan menempel di sana. Sedangkan wajah Brian yang sangat dekat membuat nafas Brian terasa menerpa kulit wajah Aliana.
Aliana sadar ia tidak boleh larut dalam situasi itu pun langsung mendorong Brian sekuat tenaga. Brian pun terdorong mundur ke belakang sehingga Aliana dapat membebaskan dirinya dari kekangan Brian.
Tanpa pikir panjang Aliana merebut buku yang masih ada di tangan kanan Brian, kemudian Aliana memukulkan buku itu di atas kepala Brian. “Kau rasakan sakitnya, jangan cuma bisa menyakiti orang kalau kau tidak tau rasa sakitnya!” kesal Aliana.
Aliana kemudian melangkahkan kakinya ke pintu kamar yang berada tidak jauh dari pintu kamar yang buka pertama tadi.
“Tok tok tok! Anybody room…!?” teriak Aliana dari depan kamar.
“Ren! Buka Ren!” teriak Aliana lagi.
“Astaga…” terdengar geraman dari dalam kamar yang Aliana yakin itu adalah suara dari Ren.
“Buka saja Al!” teriak Ren dari dalam kamar.
Benar saja pintu kamar itu sebenarnya tidaklah Ren kunci dan yang pertama Aliana lihat saat masuk ke kamar itu adalah Ren yang terbaring di atas kasurnya dengan selimut menutupi tubuhnya.
“Kau sakit Ren?” tanya Aliana sambil berjalan santai masuk ke kamar tersebut ia, bukannya menghampiri Ren di atas kasur tetapi malah pergi ke pintu kaca menuju balkon kamar tersebut. Aliana kemudian membuka penutupnya dan juga membuka pintu kaca tersebut.
“Pengap,” ucap Aliana, “pantas kau sakit begini,” tuduh Aliana, kemudian ia berjalan menuju kasur Ren.
Aliana dengan jahilnya menarik selimut yang menutupi tubuh Ren dengan sekali sentakan kuat.
“REN‼‼” teriak Aliana saat pertama kali selimut yang menutupi tubuh Ren terbuka.
Ren menggunakan kaos oblong dengan celana boksernya, tidak ada yang salah tetapi yang salah adalah luka di lengan atas tangannya itu malah berdarah lagi dan sudah membuka kotor spei abu-abunya dengan noda darah.
“Kau berdarah bodoh! Kan sudah kubilang lukamu ini harusnya dijahit!” kesal Aliana yang menarik Ren untuk duduk.
“Al… kepalaku sakit,” rengek Ren karena ia tidak mau bangkit dari duduknya.
“Tahan. Jangan manja. Kau laki-laki,” seru Aliana dan membuat Ren bungkam untuk protes. Ia pun menurut untuk bangkit dari baringnya dan bersandar di kepala ranjang miliknya.
“Al,” panggil lirih Ren pada Aliana yang sibuk mencari kotak obat di kamar Ren.
“Hummm…” dehem Aliana menjawab panggilan Ren.
“Kau cari apa?” tanya Ren pada Aliana karena ia terlihat sibuk berkeliling memeriksa setiap sudut kamar Ren hingga ke dalam lemari hanya untuk mencari kotak obat.
“Kotak obat kau letak dimana? Sulit sekali mencarinya,” kesal Aliana karena tidak menemukan kotak obat yang ia cari.
“Mana ada di kamarku kotak obat,” jawab Ren santai, Ren bahkan sudah ingin merebahkan dirinya kembali ke kasur kesayangannya. Tetapi terhenti oleh Aliana.
“Berani kau berbaring maka aku akan membuat kau tidak akan bangun lagi besok,” ancam Aliana. Ren bergidik ngeri melihat tatapan marah Aliana. Ia sudah akan keluar dari kamar Ren tetapi pintu yang ia ingin raih tersebut sudah lebih dulu terbuka dari luar.
“Ini kotak obat,” kata Brian yang baru saja masuk ke dalam kamar Ren.
“Thanks bro, kau penyelematku,” balas Ren sambil tersenyum.
“Huh!” kesal Aliana, ia merampas kotak obat yang ada di tangan Brian lalu membuka plaster yang menutupi luka Ren. Aliana dengan santainya melihat darah yang sudah membanjiri lengan atas Ren.
“Kurasa lukamu ini sangat dalam Ren, seharusnya kau menurut untuk dijahit,” kata Aliana pelan, dengan pelan-pelan dan hati-hati pula ia membersihkan luka Ren, membersihkan darah-darah yang ada di atas kulit tangan Ren.
Sedangkan Brian hanya melihat kedekatan adiknya dengan Aliana, perempuan yang selalu ia tolak itu dari tempat berdirinya. Ia menatap tangan Aliana yang telaten membersihkan darah-darah yang banyak itu dengan santai tanpa rasa jijik dan takut.
Selesai Aliana membersihkan darah dan luka Ren, kemudian ia mengambil kain kasa untuk menutup luka itu, sebelum menutup luka itu dengan kain kasa, Aliana sudah memberikan obat merah di sekeliling luka tersebut barulah ia menutupnya dengan kain kasa lalu memberikan plaster agar kain kasa itu tidak terlepas.
Aliana tiba-tiba memiringkan kepalanya dan menatap Ren yang termenung. “Ren kita ke rumah sakit ya? Kita jahit lukamu, lukamu ini terlalu mengang Ren nanti malah infeksi,” pinta Aliana dengan lembut pada Ren.
Aliana terlihat lucu saat memiringkan kepalanya untuk melihat Ren di depan wajahnya. Ren sampai tersenyum lebar melihat Aliana yang imut menurutnya itu.
“Ayolah Ren, kita ke rumah sakit,” pinta Aliana lagi dengan senyumnya membujuk Ren untuk mau ke rumah sakit.
“Jawab jangan cuma senyum,” tegur Aliana masih memiringkan kepalanya.
Ren terkikik sendiri melihat tingkah Aliana yang biasa dingin cuek berubah menjadi lembut dan lucu seperti itu.
“Baiklah,” jawab Ren sambil tersenyum. Jawaban Ren tadi tentu saja membuat Aliana senang dan semakin melebarkan senyumannya. “Tapi ini sudah selesaikan?” tanya Ren pada Aliana tentang perbandannya.
“Sudah,” seru Aliana dengan semangat, kemudian ia bangkit dari duduknya di atas kasur milik Ren, lalu turun dari kasur tersebut.
“Tapi janji kau jangan galak-galak lagi padaku,” pinta Ren pada Aliana saat satu kakinya sudah menapak ke lantai kamarnya.
“Iya-iya,” balas Aliana sambil menganggukkan kepalanya. Aliana berdiri tidak jauh dari Brian yang masih berdiri di belakang Aliana memperhatikan interaksi kedua orang yang lebih muda darinya itu.
“Aku akan mengantar kalian ke rumah sakit,” seru Brian tiba-tiba, setelah mengatakan itu ia keluar dari kamar Ren begitu saja.
Ren tercengang begitu pula Aliana yang tercengang sekaligus bingung, ia mengedip-ngedipkan matanya dengan mulut menganga tidak percaya, berkali-kali melihat kearah pintu dan juga Ren yang masih duduk di pinggir kasur.
“Dia serius Al?” tanya Ren tiba-tiba karena ia tidak percaya jika saudaranya itu perduli padanya.
(b)
….