Mencoba Biasa 2

1137 Kata
“Aliana, giliran kamu untuk berpidato,” panitia menyadarkan Aliana yang namanya sudah di panggil berkali-kali oleh pembawa acara namun ia tidak menyadarinya karena terlalu serius mengintip orang yang menjadi pusat senyum terbit diwajahnya. “Eh? Aku?” Tanya Aliana karena ia tidak sadar namanya dipanggil dari tadi. “Iya, dari tadi juga MC manggilin kamu,” jawab temannya tersebut. “Ah iya, maaf hihi,” sahut Aliana dengan kikikan canggung diakhirnya. Aliana berjalan menaiki podium dengan gusar, sulit untuk ia mengatur ekspresinya sendiri melihat senyum Brian walau bukan untuknya tapi itu sangat indah sekali lagi sangat indah. Sebelum ia akan mengucapkan salam dan membuka pidatonya, Aliana menarik dan menghembuskan nafas dengan keras. “Ini sudah biasa, aku bisa” ujarnya untuk dirinya sendiri. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…Salam sejahtera, selamat siang semuanya”-“Saya Alianna Awari sebagai perwakilan untuk menyampaikan kalimat perpisahan sekaligus sebagai siswa yang ditinggalkan oleh senior atau kakak kelas kami yang telah sukses menjalankan ujian akhirnya, pertama kami mengucapkan selamat untuk suksesnya ujian akhir kakak semua____,” pidato Aliana disampaikan dengan lugas, tegas, sedih dan bahagia tersampaikan pada undangan yang melihatnya. Namun yang membuat para undangan terteguh adalah kalimat penutup yang ia sampaikan, “____ kalimat penutup dari saya, cinta tertolak berapapun kalinya tetap akan saya kerja sebisa saya semampu saya, begitupula dengan cita-cita kakak semua. Sukses untuk semua untuk saudari saya dan Brian saya. Saya akhiri wabilahitaufik wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…” ucap Aliana mengakhiri pidatornya. Kalimat penutup tersebut tidak ada yang bermasalah namun ada dua kata yang sangat bermasalah untuk pemilik nama dan juga keluarga yang menyampaikan pidato tersebut. Brian terlihat menggeram dengan perbuatan berani Aliana di atas podium tersebut, orang-orang berbisik bagi yang menyadari kata di dalam pidato tersebut. Sedangkan Hasbie tidak terpengaruh sama sekali dengan pidato anak bungsunya tersebut, karena ia tau bagaimana Aliana, walau jelas akan ada resiko yang akan menghadap pada anaknya tersebut. “Cieee… Brian dikleam oleh Aliana,” goda salah satu teman Brian. “Kapan kau resmi menjadi hak miliknya Bria? Astaga aku ketinggalan berita,” goda salah satu sahabat Brian dengan cekikikan ia menggoda Brian. Hingga Brian kehilangan kesabarannya. “Berisik!” geram Brian pada temannya yang berada di belakangnya. “Belum cukup semua teguran itu ya,” seru Brian di dalam pikirannya. Dengan wajah datar ia menggeram karena orang-orang akan melihatnya setelah ini. “Namamu akan buruk sendiri,” gumam Brian mendengus dan tersenyum licik. Acara kini sudah kembali pada MC dan menyampaikan acara berikutnya, hingga acara pengumuman siswa berprestasi atau lulusan terbaik 4 tingkat. Telah diumumkan oleh guru bidang kesiswaan untuk perinkat 3 dan 4 lulusan terbaik, “untuk lulusan terbaik kedua, dengan nilai 3,95 atas nama Erisa Faula,” setelah nama Erisa di panggil Erisa ditemani oleh Hasbie dan Annie menaiki podium untuk menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik kedua, selanjutnya untuk lulusan pertama diumumkan, “______ nilai 3,98 lulusan luar biasa dipegang oleh Brian Kaishan____” Brian dan kedua orang tuanya menaiki podium bersebelahan dengan Erisa. “Uhhh, ya Tuhan… mereka seperti pasangan sempurna, bertetangga, jurusan IPA, pintar dua-duanya, tampan sama cantik, anak orang berada. Kaya gak ada celah ya, udah itu mereka akrab pula, kamu tau sendirikan Brian jarang senyum kaya orang sombong aslinya mah cool dia. Habis itu Erisa murah senyum, ramah pula. Aaaaa cocok bath sumpah,” ungkap mereka. “Ha’ah, gak ada celah buat nyalip. Eh tadi tadi ada yang kaya ngekleam loh, gak tau malunya ya. Eh anjirrr, coba liat ke podium. Waaaaa mereka turun malah gandengan. Anjir serius gue iri,” suara ricuh dari bangku siswa angkatan Brian dan Erisa. “Kyaaa iya, kalau couple ini mah gak ada celah. Gue malah mendukung_____” kalimat selebihnya dari para pembisi sudah tidak di dengarkan lagi oleh Aliana, ia juga melihatnya sendiri, sebenarnya sudah biasa ia melihat kebersamaan Brian dan Erisa, tetapi ucapan-ucapan dari para siswa yang mendukung mereka membuat perasaan berbeda untuk Aliana. “Sesakit inikah” ujarnya. “Serius malu buat yang ngekleam tadi____” kalimat menohok untuk Aliana, ia baru menyadari pada dirinya seakan tidak terdapat sifat malu seorang perempuan. “Kamu sengaja ya Bri,” ungkap Aliana dalam pikirannya. Ia ingin menangis tadi ia tahan, sudah banyak yang ia lalui. Apa hanya karena ini saja ia harus menangis. Ia pasti mampu menahannya. Aliana berjalan meninggalkan keramaian acara yang sedang dimeriahkan oleh penampilan para seniman dari SMA Ashopa. Terus berjalan sampai di atap gedung sekolah yang sepi. Menghembuskan nafas, “sesak ini berbeda dari sebelum menaiki podium, saat melihat senyum dia,” ujar Aliana. Membiarkan angin menerpa wajahnya, menerbangkan pasminanya, meniup rok yang ia kenakan. Tidak berapa lama ia menikmati ketenangan yang sebenarnya itulah habitnya, suasana yang sebenar-benarnya ia sukai. “Gak berniat buat bunuh dirikan?” ucapan seseorang dari arah belakangnya, Aliana yang kaget refleks membalik badannya, ia mengenai suara itu, Brian Kailshan. “Kalau niat juga tidak juga masalah, aku akan menyaksikan saja  gak dan tidak akan menghalangimu untuk melakukannya, jadi tenang saja,” ujarnya.  “Si-si-siapa yang mau bunuh di-diri,” ungkap Aliana terbata ngucapkan kalimatnya. “Kau jadi gagap, kemana kemampuan berbicaramu yang lancar seperti di atas podium tadi, hilang tertiup angin?” ejek Brian berdiri di samping Aliana dan menatap ke depan dari atas rooftop gedung sekolah mereka itu. Aliana hanya diam, jantungnya tidak kuat untuk menjawab. Ini pertama kalinya ia dapat berbicara berdua tanpa perantara. Ini membuat Aliana gagap, inilah yang ia hindari. Sedih, bahagia bergabung menjadi sesak bergemuruh perasaan Aliana sendiri. Brian menatap Aliana dengan tajam, dengan wajah yang sebenarnya tidak bersahabat lebih parah dari biasanya pada saat Aliana mengganggunya dengan surat-surat atau apapun segala macam usaha Aliana untuk terlihat di depan Brian. “Kau jadi gagu? Ok aku tidak memintamu untuk menanggap kalimatku, dan aku hanya akan mengucapkannya sekali saja. Aku heran padamu, dari SD sampai sekarang tidak ada habisnya, apa urat malumu sudah putus? Aku ingin menyebutmu bodoh, bego, t***l. Tapi kau bisa menyayingi aku untuk menjadi siswa berprestasi, tapi jika kau ingin mengatakan kau itu pintar. Sifat bodohmu sangat terlihat sekali, tidak terdapat wibawa sama sekali. Tidak punya malu, sinting, bar-bar”—“Apa kau tidak lelah? Aku minta maaf aku tidak bisa membalas perasaanmu, dan jangan pernah berniat untuk mengganggu atau mengikutiku lagi mulai sekarang. Jangan ganggu aku, jangan ganggu hubunganku dan Erisa. Pokoknya jangan ganggu hidupku. Kita Cuma tetangga setelah ini, jangan perlihatkan wajahmu di depanku lagi, sebenarnya aku sangat muak padamu. Saking aku muaknya aku merasa sangat ingin sekali untuk melenyapkanmu dari muka bumi, tetapi itu terlalu jahat untuk emageku yang baik dan pintar,” papa Brian menunjuk Aliana dengan telunjuknya, sedangkan Aliana sendiri yang mendengarkan kalimat panjang itu, sungguh membunuh perasaannya. “Astaga, aku sangat tidak ingin jika aku harus menjadi kakak iparmu, tapi mau bagaimana lagi kau itu adiknya Erisa, sial bukan,” kesal Brian. (a) ….   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN