Karena Hotel Arilton, hotel tempat Sandra bekerja menjadi lebih besar dan dia kini juga harus membantu Abram sebagai staf HRD tapi punya jabatan tidak resmi yaitu sekretaris Abram juga. Maka ditambahlah staf HRD, dan dalam waktu seminggu mereka sudah dapat satu orang baru seorang fresh graduate yang akan menjalani training selama 3 bulan dulu sebelum benar-benar mempunyai name tag karyawan divisi HRD.
Pekerjaan Sandra jadi lebih ringan karena tidak harua mendua antara jadi sekretaris Abram dan pekerjaan aslinya yang kadang bikin keteteran dan lembur sampai malam. Kemarin bahkan dia cuma menemani Abram meeting di luar walau cuma duduk-duduk tapi capek karena kebanyakan klien yang dia temui sudah tua dan kaku. Dia jadi tidak bisa cuci mata.
Dan menemani Abram seharian pun membosankan karena dia jarang sekali diajak bicara. Lebih baik di kantor dan bisa ketemu geng hebring divisi HRD buat gosip!
Batin Sandra.
"Anis, udah siap?"
Cewek yang memakai kemeja warna hijau mint dan celana hitam kantoran itu menoleh pada Sandra.
"Udah, mbak. Berangkat sekarang?"
Sandra dan Anis, si staf yang baru di rekrut itu akan menemui salah satu chef yang akan mereka rekrut untuk menggantikan chef hotel mereka yang akan resign karena ingin fokus pada kehamilannya. Karena sempat juga akan keguguran sebab terlalu lelah dan lama berdiri di kitchen.
Mereka akan bertemu chef itu di salah satu toko roti yang baru-baru ini terkenal, toko roti milik chef itu sendiri. Begitu sampai, mereka disambut salah satu pelayan dan langsung digiring menuju salah satu sudut toko roti yang mungkin merangkap sebagai cafe khusus desert.
Mereka disajikan minuman dan desert yang mereka pilih di menu. Barulah kemudian si chef muncul. Dia seorang wanita umuran 30 an yqng elegan meski pakai seragam chef yang besar berwarna putih. Bandana bermotif bunga-bunga dan riasan wajah yang agak blod bagi Sandra, tapi itu terlihat kece saja untuk dipadukan.
Sandra menyapa chef itu lalu memperkenalkan diri, begitu juga Anis yang masih kaku dan belum bisa menyesuaikan diri sepenuhnya, karena ini memang pengalaman pertamanya.
"Saya, Gloria. Chef pastri." Kata Chef itu memperkenalkan diri pada tamunya.
"Begini chef, kami sudah mengirimkan surat penawaran kontraknya 2 minggu lalu. Jadi untuk keputusannya bagaimana? Karena ini lumayan mendesak." Ujar Sandra, dia tidak mau berbelit-belit.
Anis masih melihat semuanya, karena kata Sandra pun dia hanya akan melihat dulu sebelum nanti untuk pertemuan klien yang selanjutnya, Anis sendiri yang akan mengeksekusi.
"Saya sudah membaca kontraknya setelah beberapa hal di ubah dan disetujui oleh manajer kalian, Mas Abram."
Sandra mengernyitkan keningnya mendengar wanita di hadapannya memanggil manajernya "Mas Abram" dengan wajah... tersenyum?
"Hmm..oke, berarti tidak akan ada lagi yang diubah setelahnya, kan?" Tanya Sandra lagi.
Gloria menggeleng, berarti sudah cocok dengan tawaran hotel Arilton.
Sandra mendesah lega. Anis pun juga.
"Boleh saya pinjam penanya?"
Sandra segera mengiyakan lalu mencari pena di dalam tasnya, tapi setelah menilik ke dalam tas, dia tidak menemukan benda itu. Maka dia pun mengkode Anis untuk menyerahkan pena milik cewek itu untuk dipinjamkan.
Anis yang untuk pertama kali melakukan meeting dengan klien kembali merasakan gugup. Dia dengan buru-buru mencari keberadaan pena di dalam tasnya dan sewaktu dia akan menyerahkan pena itu pada chef Gloria, tidak sengaja tangannya menyenggol gelas minuman berisi americano dan tumpah ke atas meja. Selain tumpahannya mengenai kertas kontrak, ternyata seragam chef Gloria juga terkena. Kini ada noda besar warna hitam di seragam itu.
Sandra menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut. Dia melirik pada Anis yang sama terkejutnya tapi sorot mata gadis itu terlihat ketakutan dan panik. Jelas, ini bukan situasi yang baik, Sandra memutar otak untuk bisa membuat situasi ini membesar.
"Maaf--"
"Kamu ini punya mata nggak, sih?!"
Permintaan maaf Sandra tertelan mendengar lengkingan amarah dari Chef Gloria. Dia menghela nafas mendengar bagaimana Gloria menunjukkan amarah yang sanagt besar karena kejadian ini.
Sedangkan Anis langsung merengut takut di kursinya juga merasa bersalah. "Ma-maaf, bu.."
"Saya itu cuma mau pinjam pena dan kamu marah karena itu sampai membuat saya basah kena kopi begini?!" Teriak Gloria. Dia tidak bisa menahan marah melihat seragam chef kesayangan nya ini kotor oleh kopi. "Apa sesusah itu ambil pena? Tangan kamu bisa digunain dengan benar apa enggak, hah?"
Sandra mengernyitkan keningnya mendengar perkataan Gloria yang kelewat batas. Anis jelas tidak sengaja menumpahkan gelas americano di meja ini. Dia maklum karena Anis masih gugup walau tidak membela Anis karena memang Anis kurang hati-hati. Tapi mengingatkan seseorang bukanlah dengan cara seperti ini, bukan?
Dengan teriakan sehingga semua orang tahu. Itu sama sekali tidak pantas.
"Maaf, chef." Sandra menyela saat Gloria kembali akan menumpahkan amarah pada Anis.
"Apa? Kamu mau bela rekan kerja kamu ini?"
Sandra menggigit pipi dalamnya menahan kesal. "Saya tidak akan membelanya karena Anis memang kurang hati-hati tadi--"
"Bagus kalau kamu juga sadar." Potong Gloria dengan wajah menyebalkan, menurut Sandra.
Sandra menghela nafas lalu kembali melanjutkan perkataannya. Dia tidak boleh tersulut emosi sekarang. "Anis salah, tapi tidak seharusnya chef menyalahkan Anis dengan cara demikian. Memarahinya seolah apa yang dia perbuat adalah hal merugikan sampai jutaan dollar. Saya juga tahu setagam anda berharga bahkan tak ternilai, tapi itu kejadian yang tidak dia sengaja. Tidak pernah Anis akan merencanakan untuk mengotori seragam anda sedangkan niat kami kemari dengan baik-baik untuk menjalin kerjasama."
Gloria mendecak. "Terserah kamu mau bilang apa, rekan kerja kamu ini salah. Dia mengotori seragam chef saya yang paling berharga." Gloria melirik Anis lalu seolah sedang men-scan seluruh tubuh anis yang saat ini masih menunduk dan beberapa kali menggumam kata maaf.
"Dia ini.." menunjuk pada Anis. "Baju kerja saja nggak bisa keliatan stylist. Wajah nggak dikasi make up, tas yang nggak keliatan kalau dia ini wanita karir.. jelas nggak tahu gimana berharganya baju chef saya." Ujar Gloria panjang.
Sandra tercengang mendengar kalimat Gloria yang baru saja merendahkan Anis secara terang-terangan.
"Chef, bukankah anda sudah keterlaluan?" Sandra akhirnya ikut emosi, jelas ini sudah diluar hubungan profesional karena Gloria sendiri mengajukan diri untuk duel sekarang.
"Loh.. apanya yang keterlaluan? Kamu kan bisa liat sendiri, untuk seukuran karyawan hotel Arilton pakaian dia itu sama sekali nggak mencerminkan citra hotel kalian yang bagus. Bisa-bisa nama baik hotel kalian malah tercoreng gara-gara dia."
"CHEF!" Sanda mulai berang, dia berdiri menggebrak meja membuat beberapa orang disekitarnya kaget.
"Kami datang dalam ranah profesional, karena pekerjaan. Tentang teman saya dan apa yang dipakainya bukan menjadi urusan yang akan diperbincangkan dalam penawaran kontrak. Dan hotel kami sufah memutuskan merekrut dia maka dia layak ada di hotel kami entah itu karena potensi atau hal lain. Jadi anda tidak perlu repot memberi komentar soal hal yang tidak dalam lingkup anda untuk memberi masukan." Sandra menarik nafas dan kembali melanjutkan perkataannya. "Saya rasa harus menunda penandatanganan kontrak kerja ini karena kebetulan kertasnya basah. Akan ada update lagi nanti apakah akan berlanjut atau tidak. Saya dan teman saya minta maaf dan tanpa mengurangi rasa hormat, bila ada kerugian atas kejadian ini silahkan hubungi saya." Sandra meletakkan kartu namanya di depan Gloria.
"Selamat siang."
Sandra menarik tangan Anis yang masih betah mengucapkan maaf pada Gloria. Dan sesampainya mereka di dalam mobil, Sandra tidak tahan lagi untuk berteriak frustasi. Hal itu mengejutkan Anis yang sedari tadi menunjuk, gadia itu juga menjadi semakin takut kalau Sandra akan memarahinya seperti Gloria. Bahkan dia sudah siap dengan bayangan tentang pemecatannya.
"Maaf, mbak Sandra.." Sesal Anis. Dia menunduk semakin dalam.
Sandra yang sadar sudah membuat Anis takut pun mendongak kan kepala Anis lagi. "Ngapain minta maaf sama gue?"
"Ka-karena... Karena udah bikin kacau meeting kita.. apalagi chef Gloria ini chef yang sedang kita butuhkan.. urgent.."
Sandra menghela nafas. "Lo cuma kurang hati-hati dan santai aja tadi. Selain itu bukan slah elo. Soal meeting kita yang akhirnya harus ditunda justru bikin gue bersyukur, Nis. Lo tahu kenapa?"
Anis menggelengkan kepalanya.
"Karena gue udah tahu belangnya itu chef duluan dari pada pas kerja nanti!" Kata Sandra dengan menggebu-gebu. "Bayangin deh, gimana elo kudu kerja sama orang begitu? Sok banget dan hobinya ngrendahin orang.. iyuffffhh.. gue si ogah ya.." Sandra mengernyit tidak suka karena kembali mengingat kelakuan chef yang pernah dia sukai gayanya pas dia nonton chanel masak.
"Nanti gue bilangin ke pak bos buat pertimbangin lagi itu chef karena udah nunjukin kelakukan minus di depan kita tadi. Jelas dia udah nggak bisa jaga keprofesionalan dia di depan kita. Nggak lagi deh gue ketemu dia!" Sandra bergidik sambil terus mengoceh sepanjang jalan sambil menyetir.
Anis sendiri dari tadi mendengarkan saja apa yang keluar dari mulut Sandra yang pedes. Tapi pedesnya mulut seniornya ini membuat hatinya lega. Dia tidak berharap untuk dibela, tapi dia tahu Sandra adalah senior dan teman kerja yang baik.
"Dan soal dia yang kasih komentar soal penampilan elo, Nis.. jangan diambil hati, Ya!" Nasehat Sandra, mengingatkan Anis agar tidak menjadi rendah diri hanya karena komentar tidak objektif dari seseorang.
"Tapi, mbak... Chef Gloria memang benar... aku ini sama sekali nggak menarik.." Anis berkata lirih.
Sandra menoleh pada Anis sekilas lalu menghela nafas. Dia sudah berapa kali mengjela nafas disertai membuang emosi juga hari ini, ya?
"Jadi lo pikir elo nggak menarik, gitu?" Anis mengangguk. "Sebelum ketemu chef Gloria tadi lo pernah mikir lo nggak menarik?"
Anis menggeleng. Dia selama ini percaya diri saja dengan penampilannya. Dia berasa dari keluarga yang ekonominya pas pasan. Dia baru saja lulus kuliah jadi tidak punya tabungan banyak untuk bisa membeli barang-barang untuk mempercantik diri apalagi penampilan. Uangnya justru ia tabung untuk keperluan adiknya dan orang tua.
"Lo pasti punya alasan kan memilih penampilan kaya gini?" Anis akhirnya mengangguk. Iya, dia punya alasan.
"Nah.. ya udah.. lagi pula lo ini kan udah berpenampilan layaknya pekerja kantor dan sesuai aturan di hotel kita juga. Pake kemeja atau blus dan rok atau celana kain yang sopan. So, apalagi?" Sandra menghentikan mobilnya di lampu merah. Lalu menoleh ke arah Anis yang sedang mendengarkan dirinya.
" Nggak ada yang salah sama penampilan elo kok, Nis. Kalau chef Gloria bilang elo nggak layak kerja di hotel kita karena penampilan elo, kan pak Abram aja setuju elo masuk hotel kita. Dia bahkan nggak pernah kasi komentar apapun sama penampilan elo juga.." Sandra melajukan lagi mobilnya. "Kalau memang elo masih juga nggak percaya diri karena komentar chef itu soal penampilan elo. Elo boleh berubah, sedikit-sedikit nabung buat beli sesuatu yang bisa menunjang penampilan elo. Tapi jangan maksain, elo pasti paham kan tentang skala prioritas?"
"Iya, mbak.."
"Lagian ya, Nis.. kalo elo mau jadi cantik yang nggak usah pake make-up, atau yang musti ditunjang lipstik dan segala macamnya, atau juga yang kudu perawatan sampe jutaan. Yang penting itu, jadilah cantik TANPA MERENDAHKAN ORANG LAIN." Kata Sandra mengingatkan.
Anis sudah berkaca-kaca mendengarkan kalimat Sandra yang masuk ke dalam hatinya. "Jadi cantik tanpa merendahkan orang lain."
Sandra yang dia kenal sejak masuk sebagai karyawan divisi HRD adalah cewek yang suka slengean. Bertingkah konyol disegala tempat. Hobi memaki bos mereka di belakang, kalo di depan langsung menciut kaya udang yang direbus. Apalagi kalo Abram ada pergi keluar kantor, seniornya ini menyulap ruang kantor mereka layaknya pasar dadakan.
"ADUH!" Baru saja kepala Anis membentur dashboard mobil karena Sandra mengerem mendadak.
"Eh, sorry, Nis.."
"Mbak kenapa ngerem mendadak?" Tanya Anis heran.
"Gue--"
TOK TOK TOK
Belum selesai Sandra bicara, kaca mobil Sandra diketuk oleh seseorang. Pasti karena Sandra mengerem mendadak tadi, untung jalanan lengang dan hanya ada satu pengendara motor di belakang mereka tadi yang pastilah juga kaget karena ulah Sandra.
Sandra segera membuka pintu kemudi, begitu juga Anis. Yang mengetuk kaca mobil Sandra adalah seoang cowok SMA masih dengan seragam hitam putihnya. Mulanya cowok itu sudah marah dan ingin melabrak pemilik mobil yang ngerem.mendadak di depannya. Tapi begitu melihat Sandra, cowok yang masih kinyis-kinyis itu langsung tersipu dan senyum-senyum sendiri.
"Aduh.. maaf ya, dek... Tadi gue nggak sengaja ngerem mendadak." Sandra dengan gaya centil dan jahilnya meminta maaf pada remaja itu sampai membuat remaja itu jadi salah tingkah alih-alih marah pada Sandra.
"Eh.. iya, mbak.. nggak papa, kok.."
"Bener nggak papa? Coba gue liat dulu." Sandra maju dan memegang tangan anak SMA itu memeriksa keadaan. Dan si anak SMA itu lagi-lagi salah tingkah. "Iya bener nggak papa, huh.. syukur deh.." Kata Sandra.
Sedikit berbasa-basi, kejadian itu diselesaikan dengan damai. Anak SMA itu malah keliatan senang-senang saja dan kembali melanjutkan perjalanan. Sandra dan Anis pun kembali masuk ke dalam mobil.
"Mbak kenapa ngerem mendadak? Nggak nabrak kucing, kan?"
"Hah, kucing? Aku nggak nabrak kucing, kok.."
"Terus kenapa mbak ngerem sampe aku nubruk dashboard tadi?"
Dan tiba-tiba Sandra menjerit.
"ANISSS!! YAA AMPUN ANISSS!!" Sandra menjerit tidak jelas. Dia menguncang bahu Anis juga.
"Eh.. ada apa si, mbak?" Tanya Anis bingung.
"Itu.. itu tadi gue yang ngomong, kan?" Tanya Sandra.
"Hah?"
"Ito lho tadi.. itu beneran gue yang ngomong?"
Anis masih bingung. "Maksud mbak Sandra yang mana?"
"Ck!" Decak Sandra. "Itu waktu gue bilang "jadilah cantik tanpa merendahkan orang lain! Itu gue yang bilang, kan?"
"Hah.. eh.. iya.. emang mbak Sandra yang bilang.."
"Terus kenapa nggak lo rekam tadi?!" Sungut Sandra.
"Rekam? Itu.."
"Coba tadi elo rekam, pasti udah viral deh apa yang gue bilang!"
"Oh itu.."
"Atau elo bisa bikin status di i********: tag gue nanti ya.. pasti bakal eksis gue." Kata Sandra tetap menyerocos tak membiarkan Anis bicara.
Anis geleng-geleng kepala melihat tingkah Sandra. Tadi seniornya ini bisa berubah jadi layaknya motivator yang punya segudang pengalaman, sekarang berubah lagi jadi Sandra yang sering dia jumpai dengan hal absurd sebagai nama belakang cewek itu.
Tapi dibalik sikap Sandra yang kadang cuek, genit, sesukanya, pedes kalo komentar, hampir semua karyawan hotel Arilton setuju kalau Sandra itu orang baik. Dan Anis merasa beruntung dan bersyukur bisa bertemu dengan Sandra dan berteman dengan seniornya ini.
Tiba di kantor, belum ada 5 menit Sandra duduk di kubikelnya Abram sudah memanggilnya untuk ke ruangan pria itu dengan gaya yang selalu bikin Sandra sebal. Dan sekarang dia juga tahu alasan Abram memanggilnya, pasti karena kejadian chef tadi.
Hufftt.. Sandra jadi alay.
Pasti bakal diceramaih panjang kali lebar sama Abram! Cibir Sandra dalam hati.
///
Gimana? Kalo ada kesalahan dalam penyebutan kasi tahu ya.. soalnya aku nggak pernah ada pengalaman jadi hotelier dan cuma nyari tahu di google
Instagram: gorjesso
Purwokerto, 20 Desember 2019
Tertanda,
Orang yang lagi makan getuk goreng khas sokaraja
Ada yang pernah coba?
Enak lhoo..