Kutatap wajahku yang pucat dicermin. Sejak tadi mulutku tak bisa menelan apapun karena rasa mual. Morning Sickness ini membuatku tak bertenaga. Yang kulakukan sedari tadi hanyalah berbaring saja. Malas melakukan kegiatan apapun.
Mas Bayu sempat bertanya saat aku tak menyentuh sarapan, Namun, aku bisa menyakinkan dirinya jika aku baik baik saja, aku berasalan karena masuk angin biasa. Entah kenapa, aku masih ingin merahasiakan kehamilanku darinya.
Bi Imah, seorang yang bekerja sebagai ART di rumahku, membuatkan ku segelas teh hangat. Bi Imah hanya bekerja setengah hari saja, ia biasa datang pukul tujuh pagi dan akan pulang setelah menyiapkan makan siang.
Aku masih duduk menatap pantulan wajah diri di cermin. Ku elus perlahan perutku. Aku berharap ditengah berkecamuknya pikiran dan perasaanku saat ini, tak akan mempengaruhi tumbuh kembang janin dalam kandungan ku.
Pembicaraan dengan Mas Bayu semalam, masih menyisakan rasa sesak didada. Keinginannya untuk meminang Kania, seperti sudah tak terbendung lagi. Harapannya untuk bersama wanita yang dicintainya kini sudah terbentang didepan mata.
Aku memijat kepala yang terasa pusing. Mungkin sudah waktunya aku memeriksakan kandunganku ke dokter. Aku butuh vitamin agar janin dan tubuhku kuat menghadapi kenyataan ini, tak ingin terlalu banyak berpikir, kuputuskan sore ini saja pergi ke dokter.
Tok tok tok ....
Terdengar pintu kamarku diketuk, dengan langkah malas aku menyeret kaki ke sana untuk membuka pintu, wajah Bi Imah langsung menyembul ketika daun pintu ini terbuka.
"Bi Imah?" Tanyaku sedikit terkejut.
Wajah cemas Bi Imah terlihat sangat cemas, entah apa yang membuatnya seperti terlihat khawatir seperti itu. Jujur saja melihat penampakan raut wajah wanita yang telah bekerja setahun padaku ini, tak ayal membuatku sedikit cemas.
"Ada apa Bi, apa ada masalah?"
"Anu Mbak, bibi kalau boleh mau minta izin, tadi ada yang datang kesini, ngasih kabar kalau Nurma mau lahiran," jelasnya gelisah.
"Ya sudah, tunggu apa lagi, Bi Imah bisa pulang sekarang," jawabku.
"Memangnya Nurma di mana sekarang?"
"Tadi yang ngabarin bilang, udah dibawa ke-rumah sakit," ucapnya gugup.
"Begitu ya, tunggu sebentar disini," pintaku.
Aku masuk dan mengambil beberapa lembaran biru dari dalam dompet ku, lalu kembali lagi menemui Bi Imah, yang masih menunggu di depan pintu kamarku.
"Bibi pulang saja sekarang, ini ada sekedar untuk bantu beli popok," ucapku mengulurkan tangan.
"Maaf, tapi Bibi juga izin gak datang beberapa ya mbak Alina, buat ngurusin Nurma dulu dan bayinya," ucapnya lagi.
"Iya, gak apa apa. Bibi datang kembali kalau semuanya sudah beres," jawabku.
Ia terlihat lega, setelah mengucap berkali kali terima kasih, ia pun berlalu dari hadapanku.
Aku berlalu meninggalkan kamarku, berjalan kearah dapur. Kulihat makan siang sudah tersedia di atas meja makan. Rupanya sebelum pergi meminta izin padaku, ia sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan rapih seperti biasanya.
Hoek ....
Rasa mual kembali menyapa saat aku mencium aroma masakan. Kucoba memuntahkan isi perutku di wastafel ini, namun, tak ada apapun yang keluar. Rasa mual ini sungguh menguras energi. Kuhirup dalam dalam aroma minyak kayu putih, setidaknya ini bisa sedikit membantu melegakan rasa mual ini.
Lewat aplikasi aku memesan sebuah taksi online. Kulirik jam diponselku, sudah hampir jam sebelas siang, aku membuka lemari mengganti pakaianku dengan pakaian yang pantas lalu bersiap menunggu kedatangan taksi yang tadi kupesan.
Sepuluh menit kemudian, sebuah taksi sudah tiba didepan rumahku. Tak ingin membuang-buang waktu, aku segera memintanya pergi ke sebuah rumah sakit.
****
"Selamat, ibu positif hamil, usia kandungan ibu sudah berjalan tujuh minggu," terang dokter Silvia, dokter kandungan yang kupilih.
Aku tersenyum mendengarnya. Tampak dilayar monitor sebuah janin kecil sudah berada di rahimku. Bahagia. Tentu saja, jangan kau tanyakan lagi.
Aku duduk dihadapan dokter Silvia, ia memberikan informasi yang kuperlukan mengenai kehamilanku, tak lupa menuliskan beberapa resep vitamin untukku.
"Jangan lupa diminum vitaminnya, dan rutin tiap bulan diperiksakan kandungannya, ya bu," pesan dokter Silvia, ketika aku pamit hendak meninggalkan ruangannya.
Aku menyimpan vitamin kedalam tas, setelah merasa tak ada keperluan lagi di rumah sakit ini, aku pun berjalan menuju pintu keluar, namun, begitu tiba di pintu keluar, ponselku tiba tiba berdering.
Kania.
Nama itu nampak jelas terlihat dilayar ponsel, mood ku yang tadinya bahagia menyambut calon anakku, tiba tiba rusak hanya dengan melihat namanya saja.
Dengan suara ketus aku menjawab panggilannya, dalam sambungan telepon ini, ia meminta ingin bertemu denganku.
Entah untuk urusan apa lagi ia ingin bicara denganku, akupun menyetujuinya. Kau ajak dia bertemu di sebuah Cafe dekat rumah sakit ini. Aku ingin mendengar apa lagi yang ingin ia ambil dariku.
Setengah jam sudah berlalu aku duduk di cafe ini, namun, Kania belum juga datang. Rasa pusing dan mual yang kutahan sudah cukup menyiksaku, ditambah cuaca yang sedang terik, membuatku rasanya ingin cepat cepat pulang, merebahkan diri.
Aku masih memandang ke luar jendela, segelas minuman dingin yang kupesan hanya kuminum beberapa teguk saja, begitu pula dengan cake ini, hanya ku cuil sedikit, karena perutku menolak diisi.
Wanita yang sedari tadi kutunggu akhirnya terlihat, aku mendengkus kesal, karena kulihat ia tak datang sendiri, melainkan bersama seorang teman wanita. Sambil mengulas senyum, wanita dengan mengenakan blouse berwarna merah ini, kini menghampiriku.
"Maaf, Alina. Aku terlambat."
Aku hanya mengangguk pelan, ia lalu memperkenalkan wanita yang datang bersamanya padaku.
"Ini Winda, sepupuku." Wanita itu mengulurkan tangannya, mengajakku berjabat tangan.
"Alina," balasku sambil menerima jabatan tangannya.
"Katakan ada urusan apa lagi kau ingin menemui ku, bukankah semua sudah sesuai dengan keinginanmu, bukankah sebentar lagi Mas Bayu akan melamarmu?" Sindirku.
Ia belum menjawabnya, tapi meminta Winda untuk memanggil pelayan, memesankan minuman, tak lupa juga menawariku.
"Aku tak punya banyak waktu, Kania. Jika kau ingin bicara, sebaiknya bicaralah sekarang," desakku ketus.
"Aku ingin kau menerimaku sebagai calon istri Mas Bayu, aku ingin kau hadir di acara lamaranku nanti," ucapnya sambil menatapku tajam.
Aku menyipitkan mata begitu mendengar ia bicara. Apa benar ia meminta bertemu hanya untuk mengatakan hal itu?
"Apa Mas Bayu yang memintamu, mengatakan hal itu padaku?" Tanyaku sinis.
"Tak penting Mas Bayu yang meminta atau tidak. Aku ingin kau melihat acara lamaran kami," kilahnya.
Aku terkekeh geli mendengarnya, ia terlihat tak suka dengan sikapku. Dering ponsel seseorang tiba tiba berbunyi, membuatku menghentikan sejenak tawa ku.
"Maaf, aku terima telepon sebentar," ucap Winda lalu berdiri, melangkah menjauhi kami.
"Bagaimana kalau aku menolak? Apa yang akan kau lakukan?" Tantangku.
"Terserah kau saja, Alina. Aku hanya mencoba untuk bersikap baik padamu, kau hadir atau tidak tak akan berpengaruh bagiku. Mas Bayu akan tetap melamarku."
Ia memperlihatkan sikap kesalnya padaku, aku tersenyum sinis melihatnya. Lalu membalikkan kembali kata katanya.
"Jika kau sudah tahu, lalu untuk apa bertanya lagi padaku. Hah?"
"Alina!" Sentaknya keras.
"Jaga mulutmu, Kania. Jangan seenaknya kau lancang memanggil namaku. Aku Alina, istrinya Mas Bayu, dan akan selamanya begitu. Aku yakin Mas Bayu sudah memberitahumu jika ia tak akan menceraikan ku setelah kalian menikah, bukan?"
"... dan kurasa wanita pintar seperti dirimu pasti tahu, apa anggapan orang orang tentang Istri kedua."
"Pe-la-kor," ucapku dengan nada penekanan yang kuat.
"Alina ... kau!"
Wajahnya memerah karena tudingan yang kukatakan. Aku tersenyum mengejek padanya, tak lama bibirnya kembali berdecak kesal padaku.
"Aku sudah berusaha bersikap baik padamu, Alina. Kau sungguh membuatku kesal," geramnya.
"Aku yakin kau meminta bertemu karena permintaan dari Mas Bayu, bukan?" Sinisku.
Ia terdiam mendengarnya, namun, sorot matanya masih menunjukkan rasa tidak nyaman atas pertanyaanku tadi.
"Iya, jika bukan karena permintaan Mas Bayu, aku malas bertemu denganmu," ungkapnya.
"Jadi, tak usah lagi kau tanyakan, kau sendiri sudah tahu apa jawabanku, Kania."
"Maaf, tapi kurasa sudah tak ada lagi yang harus kita bicarakan, aku mau pulang," ucapku sambil meraih tasku.
"Kalau begitu, kau minta saja Mas Bayu untuk menceraikanmu, Alina? Kurasa itu lebih baik untuk kita bertiga," ucapnya saat aku baru saja membalikkan badan.
"Kau ..."
Aku mengepalkan tanganku erat, rasa marah yang sedari tadi kutahan, ingin kukeluarkan sekarang.
"Kenapa Alina, kau tidak bisa melakukannya?" Ia tersenyum seolah mengejekku.
"Kania ...!"
Aku membentaknya keras, beberapa pasang mata pengunjung kini menatap kami, aku tak peduli, memilih mengabaikannya. Dengan geram aku mendekat kembali ke arah Kania. Memberinya sedikit pelajaran.
Plak.
Sebuah tamparan kuhadiahkan di pipi mulusnya, ia terkejut lalu memakiku.
"Kurang ajar kau, Alina!" Geramnya sambil mengelus pipinya yang memerah.
"Kau sadar apa baru saja kau katakan?"
"Kau memintaku membujuk Mas Bayu agar menjatuhkan talak. Kau tahu, jika setan sedang tertawa bahkan iblis pun berbahagia mendengar ucapanmu ini, Kania. Tidakkah kau tahu? jika memutuskan dan menghancurkan pernikahan orang lain itu, dosa."
"Aku memang menolak rencana poligami yang akan Mas Bayu lakukan, tapi bukan berarti aku bisa meminta cerai sesuka hatiku, aku masih takut akan dosa. Untuk hal seperti itu apakah aku juga harus memberitahumu?
Ia masih memegang pipinya, aku melotot tajam padanya, kesabaranku sudah diambang puncak. Jika tak segera kutinggalkan tempat ini, bisa bisa aku khilaf, dan wanita ini sudah habis kuhajar.