"Mas, maaf aku lupa meminta izin padamu, tadi siang aku keluar menemui seseorang?" Ucapku saat kulihat ia naik ke atas ranjang kami.
"Iya, tak apa apa, hati hati jika kau keluar sendiri," jawabnya.
"Humm ..."
"Aku pergi bertemu Kania," lanjutku.
Ia tak menjawabnya, hanya helaan nafasnya saja yang terdengar, aku meliriknya, ia tampak memejamkan mata, entahlah. Mungkin memikirkan Kania.
"Kau tak ingin tahu mengapa ia menemuiku?" Pancingku.
"Aku yang memintanya menemuimu, Alina." Akhirnya ia bicara.
"Harusnya, kau tak melakukan hal itu, mas. Kau tahu, aku bahkan sempat menamparnya tadi," lanjutku.
Ia tampak tak terkejut. Matanya masih terpejam, membuatku sedikit kesal.
"Alina, aku memintanya menemuimu agar kalian berdua bisa berdamai. Aku ingin semuanya berakhir baik baik saja. Aku berjanji padamu, Kania tak kan tinggal bersama kita, kalian tak akan berada dalam satu atap."
Begitu mendengar ucapannya, aku langsung berdecak kesal. Hatiku seketika kembali bergemuruh. Tapi aku tak bisa melarangnya karena poligami sendiri diperbolehkan dalam agama.
"Mas, bisakah kau mengabulkan satu saja permohonanku? Setelah itu aku tak akan meminta apapun lagi padamu," lirihku.
"Katakan saja, Alina."
"Akan kukatakan pada hari kau melamar Kania."
Ia mendelik padaku, aku membalasnya dengan senyuman.
"Tenang saja, mas. Kau tak perlu gelisah, Aku takkan memintamu membatalkan rencana lamaran itu, aku sadar hal itu diperbolehkan dalam agama."
"Baiklah, selagi tidak melanggar hukum agama, aku akan mengabulkan apapun permintaanmu, Alina, tapi jangan memaksaku mengucap kata talak untukmu, karena aku tak akan melakukannya. Kau adalah tanggung jawabku, amanah dari Almh. ibu yang harus kujaga."
"Aku tahu Alina, tak ada wanita yang ingin diduakan, tapi aku mencintai Kania. Jauh sebelum aku bertemu denganmu. Tolong jangan membuatku berada diposisi sulit."
Aku menunduk dalam diam ketika kulihat ia membuang pandangannya dariku, rasa sesak kembali menyapa, rasanya ingin sekali berteriak.
Tuhan, mengapa aku bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Mengapa hak talak hanya diberikan pada suami? Dan mengapa kau memberikan ujian kesabaran ini untukku?
Aku hanya bisa berteriak didalam hati. Perih itu kini menusuk ulu hatiku.
"Mas!"
"Iya, ada apa?" Jawabnya.
"Kau tahu, kisah 1001 malam, Kisah tentang seorang ratu Wangsa Sasan, Syahrazad yang menceritakan rangkaian kisah-kisah yang menarik kepada suaminya, Raja Syahriar, demi menunda hukuman mati atas dirinya."
"Sang Ratu menceritakan kisah kisah seru selama seribu satu malam. Tiap-tiap malam, Syahrazad mengakhiri kisahnya dengan akhir yang menegangkan sehingga sang raja pun selalu menangguhkan perintah hukuman mati agar dapat mendengar kelanjutan kisah yang diceritakannya."
"Iya, aku tahu. Alina, ibu sering menceritakan dongeng dongeng itu sewaktu aku kecil, Aladin, Alibaba, si bungkuk. Kenapa dengan itu, Alina?
Aku tersenyum mendengarnya, ia kini menatapku, membuat rasa kesalku sedikit mencair.
"Ia membutuhkan waktu 1001 malam demi dapat meluluhkan hati suaminya, tapi aku ...."
"Aku mungkin tak akan sekuat itu mas. Dua tahun sudah aku berusaha untuk menarik perhatianmu, tapi bayang bayang Kania dalam dirimu, terlalu sulit untuk ku tembus, mungkin kisah ku tak akan sampai 1001 malam."
"Alina ..."
"Tidak, kali ini tolong Jangan menyela dulu, mas. Biarkan dulu aku bicara, dadaku terlalu sesak menahan semua ini,"
"Aku akan berusaha berbuat adil, Alina. Kau bisa mengingatkan aku, jika aku mulai bertindak zholim padamu."
"Bagaimana jika sekarang aku bilang kau sudah bertindak zholim, mas?"
Terdengar ia menghembuskan nafas kasar, tak lama ia lalu meraih tanganku, dan mengusapnya lembut.
"Aku mengerti maksudmu, Alina."
"Jika kau mengerti, maka seharusnya kau tidak melakukan hal yang dapat menyakiti hati istrimu, Mas."
"Aku tidak menentang poligami, itu perbuatan yang dihalalkan dalam agama, cuma aku tak mampu berbagi ragamu dengan wanita lain. Aku sadar, kau tidak mencintaiku, tapi, dengan melakukan hal ini, kau membuat pernikahan kita serasa neraka untukku."
Ia menatapku dalam, ada getar terasa saat kubalas tatapan matanya.
"Alina, bukankah sejak awal aku memintamu agar jangan salah menafsirkan sikap baikku?"
"Aku tahu itu, mas. Kau mengatakan hal itu berkali kali padaku, Tapi, apakah aku berdosa jika jatuh cinta padamu? Kau suamiku, pria yang telah dihalalkan untukku, salahkah jika aku meminta untuk menjadi satu satunya ratu di hatimu?"
Air mataku lolos tanpa bisa kutahan, rasa sesak yang sedari tadi membuatku serasa sulit bernapas, kini sedikit menghilang. Seolah sedikit beban berat itu terlepas dari pundakku.
Ia bangkit dari ranjang kami, diam tanpa mengucap apapun, berjalan meninggalkanku menuju kamar mandi, aku mengusap air mata yang semakin deras.
Maaf mas, tapi sebelum kau melamar kekasihmu itu, setidaknya aku ingin kau tahu bagaimana perasaan dan keinginanku. Aku tak bermaksud membuatmu ragu, hanya saja aku terlalu naif ingin memiliki jiwa dan raga mu seutuhnya.
Aku menarik selimut, menutup sebagian wajahku dengannya. Kisah pernikahanku mungkin tak sama seperti Kisah pernikahan Ratu Syahrazad yang mampu meluluhkan hati suaminya dalam 1001 malam. Cintaku ternyata tak cukup kuat untuk membuat Mas Bayu berpaling padaku.
Tuhan, ampunilah aku, tapi keputusanku sudah bulat.
****
PoV Kania.
"Istrimu menamparku, Mas," laporku pada Mas Bayu, begitu pria itu datang menemuiku di cafe ini.
"Kau mungkin membuatnya marah, aku cukup baik mengenal Alina, dia takkan bertindak kasar jika kau tidak memancing kemarahannya."
"Mas, kau membelanya?" Aku melotot padanya.
"Aku tidak membelanya, hanya mengatakan kebenaran," jawabnya cepat.
Ia membuang napas beberapa kali, aku mengerucutkan bibir, menunggunya bicara.
"Kania, aku memintamu menemui Alina, agar kalian bisa saling mengenal satu sama lain. Alina adalah istriku, dan kau sebentar lagi juga akan menjadi istriku. Aku hanya berharap kalian bisa rukun."
"Mas, kenapa tidak kau ceraikan saja dia?" Protesku lalu mencebik kesal padanya.
"Jangan memintaku melakukan sesuatu yang dibenci Allah, Kania. Alina sudah menjalankan semua hak dan kewajiban seorang istri selama ini, Tak ada alasan bagiku untuk menceraikannya, lagipula aku sudah menceritakan padamu, tentang janjiku pada Almh. Ibuku."
"Alina adalah amanah dari ibuku, aku telah berjanji dihadapan ibu, agar menjaganya. Tak bisakah kau jangan meminta sesuatu hal yang tak bisa kupenuhi?"
"Kau egois, mas," keluhku.
"Jika kau masih ingin kunikahi, maka terimalah kondisi ini. Jangan mempersulitnya. Bukankah sebelumnya, kau bilang bersedia menjadi istri kedua?" Ketusnya.
"Iya, aku memang bersedia menjadi Istri kedua, dengan harapan, tak lama setelah kita menikah, kau menceraikan Alina. Enam tahun sudah aku menunggu, jangan coba coba membuat penantianku selama ini berakhir sia sia," bentakku.
" ... Atau jangan jangan kau mulai jatuh cinta pada Alina, hingga kau ...."
"Jangan memulai suatu prasangka, selama ini Alina menjaga sikapnya padaku, andaipun aku jatuh cinta, itu hal yang wajar, sebab Alina adalah istriku."
Ucapannya membuatku semakin kesal. Enam tahun sudah aku menunggu untuk menikah dengannya, inikah hasil penantianku?
"Apa kau mencintaiku, mas?"
Ia menatapku tajam, seolah kalimat yang kuucapkan mengganggu telinganya.
"Jika aku tidak mencintaimu, untuk apa aku berusaha meyakinkan Alina agar bisa menerimamu, Kania?" Suaranya meninggi, membuatku sedikit terkejut dengan sikapnya.
"Aku mau pulang. Bicara denganmu semakin membuatku kesal." Aku bangkit dari kursi, lalu berjalan meninggalkannya.
"Akan kuantar kau pulang," Jawabnya sambil berdecak kesal.
****
Aku memandang fotoku bersama Mas Bayu diponselku, foto yang diambil saat kami berdua menghadiri acara pernikahan seorang teman. Sungguh, kami terlihat sangat serasi disana.
Bayangan pertemuan dengan Alina, membuat perasaanku menjadi tak enak. Jika bukan karena permintaan dari Mas Bayu. Aku tak ingin bertemu muka dengannya.
Enam tahun sudah aku menunggu, akhirnya datang juga masa Mas Bayu melamarku, rasanya tak sabar lagi bersanding dengannya. Akhirnya kesabaran dan penantianku selama ini akan berbuah manis.
Kata kata makian dan sumpah serapah, entah kenapa tiba tiba terngiang di telingaku, aku mencoba menepisnya, aku yakin sumpah wanita itu takkan terjadi padaku.
[Ingat Kania, karma itu ada dan nyata, suatu saat nanti kau akan menuai apa yang sudah kau tanam, tuhan tidak pernah tidur.]
Kalimat itu kembali terngiang, sudah bertahun tahun berlalu tapi mengapa tak bisa hilang dari kepalaku?
Suara suara sumbang itu kembali terdengar, membuatku sedikit frustasi, aku marah, kesal.hingga tak sadar sesuatu kulempar keras hingga mengenai cermin dihadapanku ini, hingga retak.
"Argghh ...!" Aku berteriak keras.
Aku memijat kepala, lalu berganti meremas rambutku kuat. Lagi, suara suara sumbang yang lain kembali melintas ditelingaku, seolah mengejekku.
[Bayu, tidak akan pernah menikah denganmu, aku akan menikahkannya dengan seorang gadis yang baik, akan kulepaskan pengaruhmu dari hidup anakku.]
"Mengapa ...?"
"Mengapa kalian semua menghalangiku? aku sudah mengorbankan segalanya demi bisa bersama Mas Bayu, bisakah kalian semua tidak lagi mengganggu hidupku!"
Berkali kali aku berteriak keras, hingga tak sadar tubuhku limbung dan akhirnya terjatuh.