Bab 4

1186 Kata
"Alina, Kenalkan ini Bayu," ucap Mama mengenalkan kami. Pria itu tersenyum datar menatapku, tubuhnya tinggi dengan berat tubuh yang proporsional, kulit putih yang bersih, dengan jambang tipis diwajahnya, membuatnya terlihat maskulin. Sungguh penampilan yang menarik perhatian kaum hawa. Jujur saja, aku tak menampik pesonanya saat pertama kali bertemu. Mas Bayu datang kerumah bersama ibunya, yang merupakan sahabat baik mama. Bahkan menurut cerita mama, Bu Ratih, ibunya Mas Bayu merasa berhutang budi pada keluarga mama, karena keluarga mama yang membantu biaya pendidikannya dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Dari cerita mama, sebelum menikah Bu Ratih adalah seorang yatim yang dibesarkan sendiri oleh ibunya. Persahabatannya yang terjalin dengan mama, membuat kakekku, yang kala itu masih menjabat sebagai seorang perwira polisi, menjadikannya seorang anak asuh, dan membiayai pendidikannya hingga sekolah menengah atas. Menikah dengan seorang ASN, tidak membuat sikap Bu Ratih pada Mama berubah. Mereka tetap menjaga hubungan persahabatan. Hingga akhirnya, setengah tahun setelah kematian papa, rencana perjodohan pun dilakukan, dengan alasan sudah mengenal baik bebet, bibit, dan bobotnya, dan juga karena Bu Ratih merasa ingin membalas hutang budi pada keluarga mama. Mama menyetujui rencana perjodohan itu karena aku butuh sosok yang bisa menjagaku. Mengingat papa sudah meninggal. Sebagai anak satu satunya, aku mengerti kegelisahan mama. Hidup berdua tanpa seorang lelaki yang bisa melindungi cukup berat dilakukan, apalagi kami tak punya banyak saudara mengingat mama juga seorang anak tunggal. Papa meninggal dalam sebuah kecelakaan lalulintas. Pekerjaan papa yang seorang dokter umum di sebuah rumah sakit swasta hanya meninggalkan pesangon. Untunglah semasa hidupnya papa sudah memikirkan masa depanku, dengan membeli sebuah asuransi. Berbekal uang asuransi papa, mama membuka usaha bakery kecil-kecilan. Sisanya ia simpan di rekeningku. "Uang ini milikmu, Alina. Mama hanya memakainya sedikit untuk membiayai hidup kita, simpan saja. Jika kelak mama tak ada, kau masih memiliki pegangan." Ucapan mama kini terngiang kembali ditelingaku. Kupandangi buku tabungan yang kupegang, nilainya cukup besar, ditambah nafkah bulanan dari Mas Bayu yang jarang kupakai membuat saldo di dalam rekeningku menggendut. Tiga kali bertemu, pernikahan kamipun pun digelar. Saat itu aku masih belum mengetahui hubungan asmara antara Mas Bayu dan Kania. Hanya sebuah kalimat ambigu yang diucapkan Bu Ratih sehari sebelum akad nikah, namun, kuabaikan karena aku yakin dapat meraih cinta Mas Bayu. "Abaikan semua hal tentang masa lalu Bayu, Alina, termasuk wanita masa lalunya, karena itu bisa merusak pernikahanmu. Jika kau butuh dukungan, ibu selalu ada untukmu." Pernikahan pun kami digelar meriah, sayang, malam pertama kami yang kuharap menjadi satu malam yang bisa dikenang indah, menjadi malam kelam, karena Mas Bayu menolak menyentuhku. Malam itu juga, Mas Bayu pun menjelaskan padaku alasannya menerima perjodohan kami, dan hubungan asmaranya dengan Kania, aku menghargai kejujurannya meskipun hatiku perih mendengarnya. Aku tak bisa menepis rasa cemburu dihati. Istri mana yang tidak cemburu saat mendengar nama wanita lain di sebut oleh suaminya di malam pertama mereka, Namun, aku masih bersabar, berharap ia sedikit saja bisa menatapku dan menyadari keberadaan ku sebagai istrinya. Lamunanku terhenti saat kudengar ponselku berdering. Nama Sang Mantan kekasih suamiku tertera di layar pipih ini. Ada rasa marah dihati ingin memakinya, tapi, aku tersadar, hal itu tak akan ada gunanya. Untuk beberapa saat aku hanya menatap layar ponselku. Meski ada keinginan untuk menjawab panggilannya tapi aku menahannya. Aku tahu apa yang ingin dibicarakannya denganku, dan saat ini aku tak ingin mendengarnya. Ponselku berhenti berdering setelah tiga kali panggilannya kuabaikan. Kuputuskan mencari ketenangan sejenak, demi janin dalam kandunganku ini. *** Deru mobil mas Bayu terdengar, ketika aku baru saja menyelesaikan sholat isya, kulirik jam weker diatas nakas yang menunjukkan pukul delapan lebih empat puluh malam. Cukup malam untuk ukuran Mas Bayu yang selalu tiba dirumah selepas azan Maghrib. Mas Bayu bekerja sebagai Arsitek Junior di sebuah Perusahaan Arsitektur nasional, dan juga sedang merintis sebuah biro konsultan bersama seorang temannya, membuatnya cukup sibuk diluar rumah, tak jarang aku sering mengingatkan hal hal kecil padanya. Mas Bayu memiliki dua orang saudara, Mas Adi dan Carissa. Kakak tertuanya, Mas Adi, lebih memilih menjadi seorang ASN, mengikuti Jejak Alm. Ayah mertua ku, dan adik perempuannya, Carissa, menikah dengan seorang warga negara asing, dan memilih menetap di negara asal suaminya, New Zealand. Sedang ayah mertuaku sendiri, sudah meninggal karena gagal ginjal tiga bulan setelah kami menikah. Kurapikan mukena yang kupakai, tak lupa mengoleskan sedikit lipstik ke bibirku, masih berharap ia sedikit melirik ku. Terdengar bunyi pintu diketuk, tak ingin membuatnya menunggu lama, aku menghambur ke depan, membukakan pintu untuknya. Seperti biasa, senyum itu diperlihatkan padaku setiap kali ia pulang kerumah. Lalu menanyakan bagaimana kabarku hari ini. "Kau sudah makan malam, mas? kalau belum aku hangatkan sebentar lauknya." Aku bertanya sambil membawakan tasnya. "Maaf Alina, Aku sudah makan malam dengan Kania," sahutnya. Untuk sesaat aku terpaku, dadaku terasa sesak. Kuhela nafas panjang, berusaha menenangkan perasaanku. Ia melangkah masuk ke dalam kamar kami, lalu duduk sambil melepas dasi dan sepatunya. Aku memilih tak bertanya lagi, kuambil sepatu dan meletakkannya di rak sepatu. Kulihat, ia mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Selagi ia membersihkan diri, tak sengaja mataku memandang ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Entah darimana datangnya keberanian, tanganku tiba tiba lancang mengambil dan membuka ponselnya. Sesuatu yang jarang kulakukan, karena aku menghormati privasinya. Jariku dengan lincah langsung membuka aplikasi WA. Membaca satu persatu pesan disana. Hanya pesan Kania saja yang kucari, dan mataku tak berkedip saat membaca pesan pesan mereka. Rencana pernikahan mereka. Hal yang dibicarakan Mas Bayu kemarin denganku. Ya Tuhan, bisakah Kau membatalkan rencana mereka? Aku memang terlalu naif, dari awal aku tahu, bahwa cinta Mas Bayu hanya untuk Kania saja, kupikir dengan ketulusan cintaku, bisa mengalihkan perhatian dan cinta Mas Bayu kepadaku. Ternyata aku salah, cinta Mas Bayu mungkin tak akan pernah bisa kumiliki. Kukembalikan segera ponselnya ke atas nakas, aku berpura pura tegar dan tersenyum. Berusaha kuat akan kenyataan ini. Ku rebahkan tubuhku di atas ranjang, terdengar langkah kakinya keluar dari kamar mandi, aku sengaja membalikkan badanku, membelakanginya. Aku tak ingin ia melihat bagaimana raut wajahku saat ini. Harum aroma sabun masih menguar dari tubuhnya, saat ia naik ke atas ranjang ini, aku mengelus perutku yang masih rata, berharap janin didalamnya dapat menguatkanku. "Alina, aku tahu kau belum tidur," ucapnya pelan. Aku menghembuskan nafas pelan, kupejamkan sejenak mataku, berusaha menguatkan hati. "Apa ini soal Kania lagi?" "Iya, aku ingin memberitahumu, aku akan melamar Kania," terangnya. Aku diam, menahan sesak di d**a. Ada rasa marah menyeruak ingin menentangnya, tapi sedetik kemudian aku tersadar jika aku tidak akan bisa menghalanginya. "Sejak awal pernikahan kita, aku sudah memberitahu tentang Kania padamu, kuharap kau menerimanya, Alina. Maaf, jika aku harus menduakanmu, tapi aku tak bisa mengabaikan wanita yang kucintai," lanjutnya. "Lakukan saja mas, aku sudah lelah membicarakan hal ini padamu," Jawabku singkat. "Terima kasih, Alina." Ada getar bahagia kurasakan dari nada suaranya, sesuatu hal yang tidak pernah ia tunjukkan padaku. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan darinya saat kami berduaan. "Kapan rencana lamarannya, Mas?" Tanyaku tanpa menoleh. "Akhir bulan ini, Alina. Aku akan senang jika kau juga hadir disana," ungkapnya. Hadir? Aku menelan ludah mendengarnya, memastikan apa yang baru saja kudengar. Aku tak bisa menghadirinya karena aku tak akan sanggup melihat wajahmu yang tersenyum bahagia disana, mas. Mungkin sudah waktunya bagiku sekarang untuk mundur. Maaf mas, tapi aku menyerah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN