"Alina, apa kau punya waktu. Aku ingin bicara."
Aku menghentikan langkahku begitu mendengar ucapannya. Bicara? Untuk apa?
Astaga. Mungkinkah ia ingin membicarakan masalah Kania. Membicarakan pernikahan mereka padaku?
---
Beberapa detik aku berdiri terpaku menatapnya. Aku bisa menduga jika ia akan mengajakku membicarakan Kania, wanita yang menjadi duri dalam pernikahan kami selama ini.
Wajah itu memandangku dalam. Membuat rasa gugup kini hadir. Kuhela nafas panjang, mencoba untuk tenang menghadapinya.
"Bicara saja mas, aku tak pernah melarang sesuatu hal apapun padamu," sahutku.
Ia menggangguk perlahan, memandangku sambil membuang napas kasar, lalu memilih duduk di tepian ranjang.
"Duduklah di sini sebentar bersamaku, agar kita bisa bicara," pintanya sambil menepuk pelan ranjang kami.
Aku mengangguk pelan, mengikuti keinginannya, jantungku berdegup kencang, aku mulai gugup. Meski demikian, aku masih menguatkan hati dan kaki untuk menghampirinya, lalu mengikutinya duduk ditepian ranjang.
Beberapa detik berlalu dalam diam, hanya terdengar helaan nafasnya dan irama detak jantungku yang kian berpacu dengan waktu, kuremas ujung piyama yang kupakai, berusaha menenangkan perasaanku saat ini.
Ia berdecak pelan, bibirnya tertahan, seolah ragu untuk mengatakannya.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku, mas?" Tanyaku memecahkan keheningan diantara kami.
"Alina, ini tentang Kania. Tentang hubunganku dengannya."
Hatiku langsung mencelos mendengarnya, aku sudah menduga hal ini yang akan ia bicarakan. Wajahnya kini memandangku dengan tatapan menusuk. Sungguh terasa perih.
Kubuang pandanganku darinya, hal itu sengaja kulakukan. Aku tak mau tatapan mata itu akan lebih jauh membuatku terluka. Tak ingatkah dia jika aku adalah istrinya?
"Aku sudah menduganya, mas," jawabku pelan.
Kutundukkan pelan wajahku, aku tak ingin ia melihat wajahku yang memerah saat ini karena mencoba menahan tangis.
"Kania ..."
"Hanya Kania saja yang selalu ada dalam pikiranmu. Dua tahun aku mendampingimu, menjadi istrimu, pernahkah sedikit saja kau menghargai perasaanku?" Aku berucap pelan.
"Alina!"
Ia membentakku, aku masih menunduk, menghindar dari tatapan matanya, terdengar kembali ia berdecak kesal padaku.
"Alina, dari malam pertama pernikahan kita, aku sudah memberitahu hal ini padamu. Mengapa sekarang terasa sulit bagimu menerima Kania?"
"Karena aku mencintaimu, Mas," Jawabku refleks langsung menatap tajam padanya. Bibirku bergetar mengucap kalimat itu.
Raut wajahnya terlihat terkejut, mata itu kini menatapku tak berkedip. Aku berusaha keras menahan air mata ku agar tidak jatuh, aku tak ingin terlihat lemah dihadapannya.
"Seharusnya kau tidak melakukannya, Alina. Bukankah aku sudah memperingatkanmu agar jangan salah menafsirkan sikap baikku selama ini padamu."
Aku menggigit bibirku mendengar jawaban darinya, dadaku semakin nyeri, diam diam kukepalkan tanganku. Mencoba mengalihkan rasa sakit ini.
"Lupakan itu. Katakan, apa yang ingin kau bicarakan padaku? Apakah tentang rencana pernikahan kalian, atau kau ingin menceraikanku. Karena aku yakin, Kania tak akan mau menjadi istri siri, ia akan menuntut status sebagai istri secara hukum dan agama. Bukan?
"Aku tak akan mengabaikan nafkahku padamu, Alina," ia menyela perkataanku.
Aku tersenyum sinis mendengar ia mengatakan hal itu, ku hembuskan napas perlahan. Sungguh miris, disaat aku berusaha keras meraih cinta dan perhatiannya, justru rasa sakit kuterima.
"Aku memang mencintaimu, mas. Selama dua tahun ini aku berusaha keras mencari perhatian untuk mendapatkan cintamu, tapi aku tidak buta. Jika memang kau menginginkan Kania, silakan. Aku takkan menghalangi niatmu."
"Alina, kau tetap istri pertamaku ..."
"Ini bukan soal status istri pertama atau kedua, Mas. Tidakkah kau mengerti sedikit saja tentang hal ini?" Nada suaraku sedikit meninggi.
Ia diam, mengacak acak rambutnya sambil sesekali mengusap kasar wajahnya.
"Apa yang kau inginkan, Alina?" Suara nya kini terdengar pelan.
Aku memilih bungkam, aku yakin ia sudah tahu jawabannya, hanya saja aku menunggu ia sendiri yang mengatakannya.
"Sebenarnya, Kania tak keberatan menjadi istri kedua," lanjutnya.
"Itu menurutmu, mas. Tapi tidak untukku," tegasku.
"Aku tak akan menceraikan mu, Alina."
Ucapannya seolah mengetahui apa yang kupikirkan saat ini. Aku tentu saja tahu alasannya yang tidak bisa menceraikanku.
Janjinya pada ibunya.
Dalam wasiat terakhirnya, Almh. Ibu mertuaku meminta pada Mas Bayu agar berjanji untuk menjagaku dan tidak akan pernah mengucap kata talak padaku, kecuali jika aku berpaling mengkhianatinya. Bagi Mas Bayu, pria yang selalu memegang teguh janji, melanggar janji sama saja seperti kehilangan harga diri.
"Sudahlah, pembicaraan tak ada gunanya," ucapku menyudahi.
"Jika kau bersikeras untuk menikahinya, silakan saja, aku tak akan menghalangi. Hanya saja, jangan berusaha membujukku agar menerima pernikahan kalian. Aku tak akan bisa."
Bibirku bergetar hebat ketika mengucap kalimat itu. Aku menguatkan hati, agar keberanianku tidak hilang. Aku menyeret tubuh ke tengah ranjang, lalu merebahkan tubuh sambil membelakanginya.
"Aku ingin istirahat, Mas. Jika tak ada yang ingin dibicarakan lagi, tolong biarkan aku sendiri," lirihku menahan tangis.
"Maafkan aku, Alina."
Hanya itu kalimat terakhir yang kudengar darinya, tak lama kudengar suara pintu kamar ini tertutup. Air mata yang tadi tertahan kini mulai mengalir bersamaan harapanku untuk mempertahankan pernikahan ini yang mulai pupus.
Bukan aku tak ingin meminta cerai. Tapi aku belum memiliki bukti dan alasan yang kuat untuk memintamu menjatuhkan talak. Kau memenuhi semua hak dan kewajibanmu selama ini padaku, kau juga menggauli dan memperlakukanku dengan baik. Kau bahkan tak pernah mengangkat tanganmu di hadapanku semarah apapun kau padaku, meskipun nafkah batin tak rutin kau berikan, tapi bukti janin dalam kandunganku, membuatku tak bisa meminta talak itu darimu.
Hanya cintamu saja yang belum kumiliki saat ini. Bisakah aku bertahan?
Tuhan, kumohon beri aku jawaban. Salahkah jika aku jatuh cinta pada suamiku sendiri? dan berdosakah aku, jika menolak keinginannya menikahi wanita yang dicintainya?