Sejak pagi perutku terasa mual. Entah sudah berapa kali aku menghirup aroma minyak kayu putih demi meredakan mual, kepalaku pusing membuatku hanya bisa terbaring ditempat tidur.
Ku raih ponsel yang tergeletak di atas nakas, berniat menghubungi Nisa, untuk sekedar mencari teman bicara.
Teleponku tersambung, setelah bertanya kabar tentangnya, keperluanku menelponnya, untuk beberapa saat ia diam, lalu terkekeh geli.
[Alina, coba beli test pack, sepertinya kau hamil]
Hamil?
Mendengar perkataan Nisa membuatku mengerutkan kening. Namun, baru kusadari jika bulan ini tamu bulananku memang tidak datang.
Entah lah, aku tak tahu apakah ini kabar gembira atau buruk untukku. Lidahku kelu untuk berkata kata lagi.
[Selamat ya, aku yakin kau hamil, Alina.]
Kucoba untuk menepis ucapan Nisa, namun tak bisa, entah mengapa, hatiku mencoba meyakinkan jika perkataan Nisa adalah benar. Setelah mengucap salam, aku menutup sambungan teleponnya.
Aku masih ingat, kejadian saat terakhir kali Mas Bayu menyentuhku. Yah, terakhir kali Mas Bayu menyentuhku, itupun seperti memaksakan kehendak. Karena aku sempat menolak keinginannya.
"Ingat Alina, kau itu istriku. Aku berhak segala hal tentangmu, termasuk tubuhmu. Aku suamimu, sebagai perempuan yang mengerti agama harusnya kau bisa melayani h*sratku," hardiknya kala itu.
Aku diam dan pasrah, meski dalam hati bergejolak amarah. Kubiarkan saja ia menyalurkan hasr*tnya. Itu adalah kali terakhir ia menyentuhku.
Aku marah dan menolak keinginannya karena aku ingat, melihatnya berjalan bersama Kania, masuk ke sebuah restoran, yang kulakukan hanya memandang mereka tanpa ada keberanian untuk menghampiri.
Saat itu aku menyadari akan status istri sah yang sandang. Status yang tidak memiliki kuasa atas suami sendiri. Istri pajangan, mungkin itu status yang cocok untukku.
Ingin rasanya aku mempermalukan mereka saat itu, tapi entah kenapa tiba tiba saja aku tersadar, siapa aku? Bahkan cinta Mas Bayu saja sampai sekarang masih belum bisa kudapatkan.
Dan sekarang, kehamilan ini. Haruskah ku beritahu Mas Bayu jika saat ini aku telah mengandung anaknya?
****
Sebuah foto yang dikirimkan Kania akhirnya menghancurkan pertahanan dan kepercayaan diriku. Sebuah foto desain undangan pernikahan. Sangat jelas bertulis nama Mas Bayu disana.
[Bagaimana Alina, kau suka? Aku mendesain sendiri undangan ini. Ingat Alina, kau yang membuatku mengambil keputusan ini, jangan sekali kali menyebutku pelakor, karena aku sudah meminta Mas Bayu secara baik baik darimu.]
Pesan itu dikirim Kania lewat ponselku. Untuk sesaat aku menekan dadaku, rasa nyeri dan sesak kian terasa, apakah ini pertanda akan berakhirnya pernikahanku.
Ku letakkan kembali ponselku, rasa takut tiba tiba menjalar di sekujur tubuh. Aku diam cukup lama dengan pikiran yang terus berkecamuk.
"Mengapa mas? Jika memang ingin menikahi Kania, kenapa harus berbohong dibelakang ku, tak adakah sedikit saja keberanian untuk mengatakannya padaku lebih dulu?"
Batinku terus bergolak. Ya tuhan, mengapa aku bisa sebodoh ini. Tentu saja Mas Bayu bisa menikahi Kania sekarang, karena penghalang mereka sudah tak ada lagi.
Tak ingin terlalu larut dalam prasangka buruk karena memikirkan sesuatu yang bisa merusak akal sehatku. Aku memutuskan untuk pergi ke apotek, membeli test pack seperti yang disarankan Nisa. Aku berharap dengan hadirnya janin ini, akan membuat Mas Bayu menatapku.
Dengan langkah malas aku mengambil kunci motor yang tergeletak diatas meja TV, lalu pergi mengunci pintu rumahku dan melajukan motorku menuju apotik terdekat.
***
Dua garis biru langsung terlihat di test pack yang kubeli tadi siang. Meski disarankan menggunakannya pada pagi hari, tapi aku tak mau menunggu sampai besok. Kupikir jika memang hamil pasti akan langsung terdeteksi karena rasa mual yang kurasakan semakin terasa kuat.
Aku menghela nafas melihat hasilnya. Sudah cukup lama aku mengurung diri di kamar mandi ini, hingga tak kusadari jika Mas Bayu mengetuk pintunya.
"Alina, kau baik baik saja?"
Aku membuka keran air, mencoba untuk mengulur waktu, entah mengapa saat ini aku tak ingin melihatnya. Kalimat demi kalimat pesan terakhir yang dikirim Kania kini terasa berputar di kepalaku. Membuatku semakin takut menerima kenyataan.
Tuhan, haruskah aku menerima Kania sebagai adik madu ku. Karena aku tak memiliki alasan syar'i yang kuat untuk menggugat cerai Mas Bayu. Haruskah ujian kesabaran ini kujalani?
"Alina?"
Panggilan dari Mas Bayu, menginterupsi lamunanku. Ku hapus air mata yang tak terasa menetes sambil menyimpan hasil testpack kedalam saku piyama yang kupakai.
Cklek.
Pintu kamar mandi ini kubuka, tampak Mas Bayu berdiri di sana. Aku gugup. Lalu melangkah pelan, melintas dihadapannya.
"Alina, apa kau punya waktu. Aku ingin bicara."
Aku menghentikan langkahku begitu mendengar ucapannya. Bicara? Untuk apa?
Astaga. Mungkinkah ia ingin membicarakan masalah Kania. Membicarakan pernikahan mereka padaku?