"Kak gue tidur dikamar lo ya, gue takut banget sama hantu Jepang itu." Reyna berkata dengan manja membuat kedua lelaki tampan itu melihat ke asal suara. Revin mengangguk santai, toh ia sudah terbiasa tidur dengan adik perempuannya.
Reyna bergegas masuk ke kamar milik Revin, melaksanakan ritual mandi sekaligus melepas rasa letih yang hinggap ditubuhnya, saat bertemu dengan air yang dingin Reyna tersenyum lebar karena merasa segar dengan kegiatan mandi malam ini.
Reyna keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk, mengobrak-abrik lemari milik Revin, setelah menemukan apa yang ia cari Reyna segera memakainya. Piyama tidur milik Revin yang berwarna biru tua terlihat kebesaran di tubuhnya, tetapi tak masalah bagi Reyna. Lebih baik memakai baju kebesaran, daripada harus memakai baju bekas yang sudah terciprati oleh darahnya sendiri. Tidurpun tak akan nyaman kalau memakai baju bekas.
Reyna keluar kamar, rambutnya dikuncir satu menyisakan anak rambut yang tak terikat. Reyna memutuskan untuk duduk diantara Reynand dan Revin yang tengah fokus bermain Play station. Memainkan game bola, kesukaan keduanya.
"Dek, buatin kopi dong sekalian ambil cemilan ya." Reyna mengangguk, mulai beranjak ke dapur menyiapkan dua kopi beserta cemilan untuk menemani malam mereka bertiga. Tidak lupa juga dia membuat s**u untuk dirinya sendiri, karena dia tak menyukai kopi.
Reynand dan Revin bermain Play Station sampai jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Mereka berdua mengakhiri game nya karena sudah dilanda bosan. Mata mereka berdua melirik ke arah Reyna yang sudah tertidur pulas di atas sofa.
"Gue yang pindahin gapapa, kan?" Reynand menatap Revin, untuk meminta persetujuannya.
Revino menganggukan kepalanya, "Iya... iya. Lagian dia berat gue gak akan kuat," canda Revin. Mengatakan hal seperti itu adalah suatu kebohongan, karena faktanya badan Reyna sangat ringan baginya.
Reynand membopong tubuh Reyna ke dalam kamar milik Revano. Ia menyelimuti Reyna lalu mengusap kepalanya sebentar, setelah itu ia kembali ke ruang tamu.
"Lo suka ya sama adek gue?" baru saja Reynand menghempaskan tubuhnya di sofa, ia sudah di beri pertanyaan yang membuat dadanya bergemuruh.
"Keliatan banget ya kalau gue suka sama Reyna?" sebagai laki-laki yang gentle, ia harus mengakui kepada anggota keluarga Reyna bahwa dia memang menyukainya.
Revino terkekeh. "Syukur deh lo normal." Reynand berdecak kesal, perkataan Revin begitu memojokkan dirinya. Dua tahun tak pernah menjalin hubungan spesial dengan wanita membuat dirinya dijadikan bulan-bulanan dikantornya. Padahal posisi dia adalah atasan mereka, apakah dirinya terlalu baik menjadi atasan atau memang bawahannya saja yang kurang ajar.
Reynand tak menjawab perkataan dari Revin yang menurutnya tak penting, bukan dia tak suka dengan perempuan tetapi dari banyaknya perempuan yang ia temui tak ada yang dapat memikat hatinya. Kebetulan sekali, yang dapat membuatnya jatuh hati adalah Reyna, dia adalah wanita istimewa dan menarik. Entah sudah bisa disebut jatuh hati atau tidak, karena mereka hanya kenal beberapa hari saja. Mungkin ini terlalu singkat bila disebut dengan cinta.
"Adek gue juga sama seperti lo, punya masa lalu yang mungkin membuat dia trauma." Reynand segera menoleh ke arah Revin, dahinya berkerut sehingga alisnya menaut.
"Adek gue punya masalalu yang kelam tentang percintaannya, sejak saat itu dia gak mau lagi pacaran. Dan Sepertinya lo berhasil masuk lagi ke kehidupan dia dan matahin rasa trauma itu," Reynand semakin mengerutkan keningnya, mendengar perkataan Revin dia jadi teringat perihal beberapa menit yang lalu, saat Reyna dan Valen bertemu. Bisa jadi mereka berdua berdebat dengan laki-laki yang berada dimasa lalu.
"Apakah mereka berdua ada sangkut pautnya? Apa ini ada kaitannya sama Valen ya? Gue harus tanya gak ya, tapi gak sopan." batin Reynand.
Reynand ingin sekali bertanya, tetapi sepertinya ini adalah hal yang sensitif. Tak sopan jika mengorek informasi dari kakaknya, harusnya tugas dia menyembuhkan luka Reyna saja. Kalaupun dia sudah sangat penasaran, nanti saat dirinya dan Reyna sudah sangat dekat, ia akan bertanya sedikit demi sedikit.
"Gue percayakan adek gue sama lo. Terlebih katanya kalau dia nyentuh lo makhluk halus bakalan hilang," Revin berbicara kembali. Reynand mengangguk, wajahnya masih serius menyimak perkataan Revin.
"Waktu itu, gue sempat gak percaya dengan Reyna yang bisa melihat makhluk halus. Ya logika aja sih zaman modern, meskipun ayah gue juga indigo." jelas Reynand. "Tapi setelah kejadian di lift itu, pertama kali yang bikin gue speechless. Kejadian-kejadian selanjutnya yang membuat gue semakin percaya dan yakin. Tanpa sadar gue suka sama adek lo," Reynand berbicara dengan santai.
Revin mengangguk, sebelum menjawab dia menghela nafasnya terlebih dahulu. "Reyna mempunyai guratan kehidupan yang sudah diturunkan oleh keluarga ibu, kalau jodohnya adalah orang yang persis seperti lo. Gue gak bisa menyimpulkan kalau jodoh Reynand adalah lo, tapi menurut almarhumah ibu, semua ciri-ciri ada sama lo." jelas Revin.
"Kenapa gak dari dulu aja lo, pertemukan kita. Punya adek cantik di pendam sendiri lo!"
"Gue gak tau anjir!"
Reynand mendengkus kesal, "Tunggu, maksud lo yang seperti gue itu gimana?
"Reyna pegang lo makhluk halus bakalan hilang. Reyna juga pernah cerita kalau dia deket sama lo dia ngerasa kayak di lindungi, dan gue semakin yakin jodoh Reyna adalah lo. karena cuman lo yang bisa gitu, seperti ada keterikatan diantara kalian. Lo masa gak sadar?"
Reynand mengangguk membenarkan, dia juga nyaman dan selalu ada dorongan untuk terus melindungi Reyna. "Semoga aja itu bener, gue juga ngerasa nyaman sama dia. Saat pertama gue ketemu dia di rumah sakit gue udah tertarik duluan." Reynand menjeda ucapannya, "Gue janji, kalau Reyna udah siap nikah secepatnya gue bakalan lamar dia."
Revino tersenyum mendengar perkataan terakhir dari Reynand, "Ngebet nikah lo, enak aja gue duluan!"
Reynand tertawa dengan jawaban Revan. Benar juga apa kata Revin, Reyna masih mempunyai kakak laki-laki.
"Gue gak pernah liat lo sama dia sebelumnya" sergah Reynand.
Revin terkekeh, "Gue aja jarang ketemu sama dia, karena sama-sama sibuk." Reynand mengangguk dengan jawaban Revin. Sepertinya benar, dia jatuh hati pada Reyna.
Revino bangkit dari duduknya lalu memukul pelan bahu Reynand, "Kehormatan seorang laki-laki di pegang dari tanggung jawabnya" ujarnya, "Gue mau nemenin Reyna tidur, lo pilih aja kamar yang lo mau." tutur Revin. Reynand mengangguk, ia tersenyum senang karena sudah mendapatkan lampu hijau dari kakak wanita yang ia suka, Reynand berjanji tidak akan menyia-nyiakan Reyna bahkan sampai mengkhianatinya, mulai saat ini dia akan gencar mendekati Reyna.
***
Sudah dua minggu Reynand semakin dekat dengan Reyna, bahkan mereka sudah seperti seorang sahabat. Pembicaraan mereka sangat nyambung sehingga merasakan nyaman satu sama lain, bahkan sering kali Reynand mengantarkan Reyna pulang jika Reyna lembur sampai larut. Bahkan mereka selalu makan siang bersama jika ada waktu luang, entah Reynand yang menghampiri Reyna atau malah sebaliknya. Teman-teman Reynand juga sangat friendly dengan Reyna apalagi Alvin. Reyna sudah tak canggung lagi dengan Alvin dan teman-teman yang lainnya, jika ada kesempatan bertemu, mereka pasti saja bertengkar kecil, adu mulut yang tak berguna. Namun, di balik semua itu Alvin hanya iseng saja.
Bagaimana dengan Reyna? Ia masih takut dengan keberadaan makhluk halus. Namun kehadiran Reynand di hidupnya Membuat dirinya sedikit tenang.
Malam ini Reynand ada tugas bersama sang kakak. Masih di kota yang sama, jadi Reyna pulang dengan Siska dan Felli. Mobil di kendarai oleh Siska, Reyna dudk di jok tengah seorang diri. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sangat larut memang untuk wanita di luar jam segini.
**
Reyna melihat jam yang melingkar ditangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, selesai operasi mereka bertiga memutuskan untuk nongkrong di kafe terdekat terlebih dahulu berhubung malam ini adalah malam minggu, sekali-kali main, tidak dengan pacar bersama sahabat pun jadi.
Reyna, Siska dan Felli sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah Revin karena Reyna mengajak mereka berdua untuk menginap, berhubung dirumah juga tak ada siapa-siapa. Kejadian hantu Jepang waktu itu begitu berbekas di ingatan Reyna, sepertinya dia trauma dengan teror hantu Jepang itu.
"Jalan sebrang aja yuk, biar cepet nyampe. Katanya jalan utara lagi banyak begal, udah banyak korban." ajak Reyna, dia berbicara sembari masih sibuk memainkan handphone pintarnya, sedang bertukar pesan dengan Reynand yang kebetulan kekasihnya itu baru selesai melaksanakan tugas. Reynand dan teman-temannya juga sedang berada dimobil perjalanan pulang. Reyna bersyukur, setelah mengetahui kalau Reynand, Revin dan team lainnya mengerjakan tugas dengan baik dan selamat; tak ada satu orangpun yang terluka.
"Enggak ah, itu kan jalan angker Rey. Ada pemakaman yang terkenal angkernya juga, males banget ah." Felli menolak ajakan Reyna, bahunya bergidik ngeri, takut dengan perkataannya sendiri.
Reyna menghela nafas pelan, "Tenang aja Fell, kan ada gue. Lagi pula lebih parah begal kan? Belum tentu kita bisa ngalahin begal? Atau bisa jadi, parahnya itu kita dihipnotis. Kalau kehilangan harta sih mending, lah coba kalau kehilangan masa depan, bisa apa? Naudzubillah deh."
Siska yang tengah menyetir mengangguk, membenarkan kata-kata Reyna. "Jalan sebrang aja, gue lebih takut begal."
Siska membelokkan stirnya ke arah kiri, menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, hujan yang baru saja selesai membuat jalanan cukup licin.
"Ish lo mah," Felli mengerucutkan bibirnya kesal, setelah itu fokus dengan handphone nya.
Reyna mencoba mencairkan suasana, akhirnya mereka pun berbicara banyak hal dimobil, sampai tak terasa mobil yang ditumpangi sudah memasuki pemakaman yang terkenal dengan keangkerannya, konon katanya hantu disini suka menganggu siapa saja yang lewat saat malam.
Chitt--
Siska mengerem mobil yang di kendarainya secara mendadak, membuat Reyna dan Felli terhuyung kedepan. Untung saja mereka bertiga memakai selt belt, kalau tidak kepala pasti menjadi taruhannya karena mencium dasboard mobil.
"Lihat ke depan!"
Reyna dan Felli segera melihat ke arah depan tepatnya mengikuti arah jari telunjuk Siska. Samar-samar Reyna melihat sekumpulan orang dalam jumlah yang tak terlalu banyak, mereka mengenakan pakaian serba hitam. Setelah menyadari siapa mereka yang ada didepan itu, Reyna membulatkan mata lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Oh tidak!" pekik ketiganya secara bersamaan.