Malam ini ditemani dengan rintik-rintik hujan yang dinginnya cukup menembus jaket dan membuat tubuh mereka semua yang berada didalam mobil menggigil kedinginan. Mereka memikirkan hal yang sama dalam otak kecil, kalau kopi hangat sangat cocok diminum dalam keadaan dingin seperti ini.
Mereka baru saja menyelesaikan tugas di seberang kota, memerlukan waktu sebentar, melenceng dari perkiraan sebelumnya ternyata. Di dalam mobil hanya ada Reynand, Revin, Alvin, Rio, Angga dan Doni. Sementara anggota lain berada dimobil depan, yang menumpangi mobil dinas. Tugas yang mereka jalankan kali ini tidak terlalu berat hanya penggerebekan tempat penjualan wanita saja, dan itu berjalan dengan lancar tanpa ada aksi baku hantam maupun tembak. Mereka menyerah begitu saja, karena tak mempunyai bukti untuk mengelak apalagi tak ada jalan untuk melawan.
Reynand dan timnya sering kali menangani kasus seperti itu. Miris sekali memang, bos atau tante yang menjual wanita-wanita itu menganggap tubuh wanita tidak ada harganya, mereka memberikan pekerjaan haram, menggandaikan akhirat untuk kepentingan duniawi saja. Padahal mereka dilahirkan dan dibesarkan dengan susah payah oleh orang tuanya. Para p****************g yang menyewa juga tak mempunyai otak, tak memikirkan keadaan istri dirumah, tak memikirkan keadaan calon masa depannya bagi pria yang belum menikah. Sama saja, mereka menganggap jika neraka adalah tempat yang dingin. Sungguh sangat keterlaluan sekali kebanyakan manusia zaman sekarang. Wanita seperti itu, sangat tak ada harga diri sedikitpun, walaupun dibayar dengan harga mahal.
Alvin menjalankan mobil dengan perlahan karena jalanan terlihat licin. Beberapa mobil didepan sudah tak terlihat lagi, mungkin mereka ingin segera sampai ke rumah sehingga menjalankan mobil dengan cepat. Tiba-tiba saja Alvin semakin memelankan laju mobilnya, lalu menoleh sebentar ke arah belakang sebelum fokus kembali pada kemudinya.
"Nyari kopi dulu yuk, nanti kalau ada warung yang buka. Biar anget aja nih badan." mereka mengangguk setuju sebagai jawabannya. Padahal AC sudah di kecilkan tapi masih saja terasa dingin, menusuk sampai ke kulit.
Menurut Reynand, malam ini terlihat aneh, tidak seperti malam biasanya. Reynand tidak tahu apa penyebabnya selain angin malam yang sangat dingin. Dari pada memikirkan yang tidak-tidak, lebih baik Reynand lanjut chatting saja dengan Reyna.
Mobil kembali hening, tidak ada pembicaraan sama sekali. Reynand melirik Revin yang duduk disampingnya. Dia memanfaatkan kaca jendela yang sudah tertutup gorden untuk menjadi sandarannya, entah tidur atau hanya memejamkan mata saja.
Setelah melirik Revin, Reynand juga melirik ke arah Rio dan Doni yang duduk di jok belakang, mereka berdua sama seperti dirinyanya tengah asyik memainkan handphone. Alvin masih fokus pada stir disebelah Alvin ada Angga, sesekali mereka berdua melempar pertanyaan atau hanya mengobrol ringan.
Reynand sedari tadi tak henti-hentinya mengumpat dalam hati, malam ini memang begitu dingin sekali. Dia hanya memakai baju hitam dilapisi jaket kulit berwarna hitam serta topi dengan warna senada, bahkan jaketnya saja tidak mampu menghangatkan dinginnya malam ini.
Dug.
Mobil tiba-tiba berhenti, semua orang memandang ke arah Alvin dengan pandangan bertanya, bahkan Revin saja sampai terlonjak.
"Kenapa Vin?" tanya Reynand pada Alvin.
"Kayaknya ada yang gue tabrak deh, Ndan." Reynand mengerutkan keningnya mendengar jawaban dari Alvin.
"Ketabrak? Masa sih kok gak ada teriakan."
"Kucing kali," mereka mengedikkan bahu acuh tanda tak tahu, saat Revin menimpali.
Reynand menghela nafas kasar. Kalau keadaannya sudah begini pasti dia yang harus turun untuk melihat. Mereka pasti akan membawa pangkat Reynand sebagai komandan yang harus mengayomi bawahannya.
"Ndan, lo kan paling-paling di antara kita semua. Harus siap menjaga anak buahnya dengan baik. jadi lo aja yang lihat aja." belum sempat Reynand melanjutkan sumpah serapah dalam otaknya. Alvin sudah terlebih dulu mengeluarkan suara yang membuat Reynand jengah.
Sebelum menjawab, Reynand menghela nafasnya terlebih dulu. "Sebagai komandan, gue perintahin, lo aja yang turun!"
Sebenarnya, Reynand cukup takut kalau dirinya harus turun seorang diri dijalan yang terkenal angker seperti ini, kalau ada Reyna sih Reynand pasti mau-mau aja, pasti wanita itu akan selalu menempel di lengannya.
"Ck, gue mending dihukum buat laporan tebel deh dari pada harus turun. Ayolah ndan!" Alvin mulai merengek seperti anak kecil. Lebih baik mengadaikan harga dirinya daripada pergi keluar untuk mencari tahu.
"Kenapa ya dia bisa masuk akpol padahal sikap nya manja, dia gak nyogok kan?" batin Reynand.
"Gue aja yang turun," Revin segera membuka pintu mobil lalu turun. Reynand juga tidak diam, dia segera menyusul Revin keluar memastikan tidak ada yang Alvin ditabrak, memastikan juga jika tidak terjadi apa-apa pada calon kakak iparnya.
Revan menatap Reynand, mengedikkan bahunya seolah-olah tak ada apa-apa yang aneh. Reynand juga demikian, berpikir hal yang sama seperti Revin.
"Gak ada apapun. Alvin iseng banget, dasar anak itu! Rupanya gue harus kasih dia pelajaran. Liat aja kalau nyampe kantor, gue bakalan kasih dia tugas sampe begadang dua malam." gerutu Reynand.
"Hmm," Revin menjawab dengan deheman. Dia juga memikirkan hal yang sama seperti Reynand, namun karena efek lelah dan dingin yang lebih mendominasi, Revin memilih menjawabnya dengan singkat.
Mereka kembali ke dalam mobil dalam keadaan dongkol pada Alvin.
"Gimana ndan?" tanya Alvin saat setelah Reynand dan Revin duduk di kursi kembali.
Reynand menggelengkan kepalanya, "Gak ada apa-apa kok. Lo kalau iseng tau tempat dong, Vin." ujar Reynand, memang dari mereka semua Alvin lah yang paling iseng.
Alvin mengemudikan kembali mobil nya, "Serius deh ndan kali ini gue gak iseng," Jawabnya. Tetapi Reynand kembali mengedikkan bahunya acuh, dia tidak melayani perkataan Alvin, lebih baik lanjut mengirim pesan dengan Reyna. Wanita yang sekarang sudah Reynand cintai. Segampang itu kah Reynand cinta sama Reyna? Mencintai itu memang selalu gampang bukan?
Tak selang berapa lama, Alvin kembali memberhentikan mobil yang di kendarainya, membuat Reynand mendengus kesal.
"Kali ini ada apa lagi Vin?" Tanya Reyanand.
"Yuk, turun. Ada warung masih buka nih," Ujarnya. Reynand dan Revin segera menyibakkan gorden kaca jendela lalu melihat ke sebelah kanan. Benar saja ada warung yang masih buka jam segini. Mereka bersyukur, jadi mereka bisa ngopi dulu sebentar.
Lagi-lagi Reynand ingin mengatakan bahwa suasana malam ini sangat aneh. Dia masih berpikir kenapa ada warung di tempat sepi seperti ini? Apa akan laku jika di siang hari? Reynand malah berpikir jauh, apa benar ini adalah warung?
Tiba-tiba saja Angga tersandung papan kilo meter yang tinggi nya sampai selutut. Namun setelah Reynand melihat papan itu, kejanggalan lagi-lagi ada.
"Kenapa papan kilo meter nya seperti ? Apa hanya gue aja yang menyadari ini? " tanya Batin Reynand
Namun saat Reynand menginjakkan kaki di depan warung, keanehan itu sudah tak dia rasakan lagi. Keluarlah sorang ibu-ibu dan bapak yang umurnya sekitar setengah abad jika dia taksir, mereka adalah sepasang suami istri, mereka berdua menyapa ramah pada pembali.
"Syukurlah, mereka manusia. Mungkin efek dingin dan lelah membuat pikiran ku sedikit tak fokus."
"Pesan apa mas-mas ini?" Tanya ibu warung itu sambil tersenyum.
"Pesan kopinya bu enam, kalau ada sama cemilan nya gitu ya." Jawab Alvin.
Ibu itu tersenyum kembali, dan dia kembali masuk kedalam untuk membuatkan mereka kopi. Sambil menunggu, Reynand pun iseng-iseng bertanya pada suami si ibu warung yang tengah duduk di dekat pintu masuk.
"Warung nya buka 24 jam ya pak?" Tanya Reynand berbasa-basi dengan sopan.
"Iya mas, saya berjaga bergantian dengan istri saya" Jawabnya tersenyum ramah.
"Bapak ini friendly sekali."
Sementara yang lainnya hanya menyimak saja sambil duduk di bangku panjang yang sudah di sediakan.
"Nama bapak siapa?" Tanya Reyanand kembali, itung-itung nambah kenal. Siapa tahu Reynan mampir kesini lagi.
"Nama saya Firmansyah panggil saja pak Firman. Mas-mas ini abis dari mana toh?"
Reynand tersenyum, kecurigaan pada warung ini sebelumnya sudah tergantikan dengan ramah nya bapak ini.
"Kami baru saja pulang kerja pak, kebetulan deket dari sini. Malam ini dingin banget jadi kita memutuskan buat mampir warung" Ujar Reynand tak kalah ramahnya.
"Ini mas kopinya," Ujar ibu itu sambil tersenyum ramah.
"Baik bu, terimakasih"
Ibu itu lagi-lagi tersenyum, "Ini saya sekalian buatin gorengan. Malam-malam gini pas banget kan."
Mereka memakan gorengan itu, kebetulan mereka memang sangat lapar sekali karena tidak sempat makan malam.
Rasa gorengan ini sangat enak lebih enak disini daripada di warung lain yang pernah mereka makan sebelumnya, sampai-sampai mereka menghabiskannya tanpa sisa. Sehabis makan gorengan mereka lanjut dengan kopi, mereka semua tidak ada yang merokok.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah selesai meminum kopi nya.
"Berapa semuanya bu?" Tanya Reynand sambil melirik ke arah ibu itu. Senyuman nya tidak pernah luntur dari bibirnya.
"Semuanya jadi empat puluh lima Ribu mas" Jawab nya.
Reynand merogoh saku dan mengeluarkan dompet, tentu saja dia yang membayarnya. Mereka semua adalah sahabat baik, jadi tidak aneh jika mereka saling mentraktir makan satu sama lain. Bukan hanya Reynand saja yang lainnya pun dengan begitu.
"Ini bu," Reynand menyodorkan satu lembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah," Kembaliannya buat ibu aja," Sambungnya kembali, ibu itu nampak berseri-seri karena senang, jarang sekali ada orang sebaik mereka.
"Terimakasih mas," Jawab ibu itu
Reynand mengangguk lalu mulai berpamitan pada pak Firman dan istrinya. Mereka berjalan beriringan ke arah mobil yang tidak jauh terparkir. Reynand berjalan paling belakang, lagi-lagi diantara mereka ada yang tersandung kembali. Namun kali ini, Reyannd lah yang tersandung. Reynand tak sengaja melihat papan kilo meter itu, kali ini dia melihat nya dengan jelas, seketika itu juga Reynand terkejut dahinya mengkerut.
"Kalian ngapain disini?" Reynand menoleh ke arah samping. Matanya segera memicing, dia menatap wanita itu dalam. Yang lainnya pun sama menatap ke arah tiga wanita yang baru saja keluar dari mobil dengan tatapan penuh selidik.
"Adek, ngapain disini? Udah malem!" Suara Revin mampu menyadarkan mereka. Ya, yang berada di depan mata mereka adalah Reyna, wanita yang beberapa menit yang lalu tengah bertukar pesan dengannya.
"Aku tanya kenapa kalian ada disini?" Ujar Reyna sekali lagi. Namun kali ini, nadanya penuh dengan penakanan.
"Kita abis ngopi, Rey. Di warung yang ada di belakang." Reynand menunjuk warung semula, sambil membalikkan badannya ke arah belakang.
Seketika itu juga Reynand menatap tak percaya ke arah yang berada di belakang dan sekelilingnya, tanah yang sedang mereka injak ini adalah tanah pemakaman yang terkenal angkernya.
Reynand menelan ludah dengan susah payah. Lalu berbalik menghadap Reyna kembali dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Dimana warungnya? Ada gak hah?!" tanya Reyna, nada Reyna terdengar emosi dan kesal.
Reynand melirik ke arah teman-temannya, meminta pembelaan. Namun ekspresi mereka sama seperti Reynand, wajahnya nampak kalut dan pucat. Shock dengan semua yang telah terjadi barusan.
"Jadi yang barusan aku makan itu apa dong Rey?"