07 - Satu Atap

1091 Kata
"Kamu anak baru?" Alea menoleh, sadar jika pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia tersenyum ramah sembari mengangguk. "Iya. Hey, kenalkan, aku Alea," ucap Alea memperkenalkan diri. "Aku Putri. Pantas saja ngerasa asing. Tapi kok bisa pindah pas udah semester tua begini?" heran Putri. Alea tersenyum canggung. Untuk pertama kalinya sejak ia terlahir ke dunia, baru kali ini ia menggunakan privillege. Atau lebih tepatnya, memang baru kini ia memilikinya. Ini semua berkat Bian dan segala koneksinya, sehingga Alea bisa masuk kampus dimana keluarga Bian menjadi salah satu donatur terbesarnya, dengan langsung melanjutkan sesuai semester terakhir yang Alea tinggalkan di kampus lamanya. "Nah. Jadi di sini kampusnya. Pilihan minumannya cukup lengkap. Minuman yang milky-milky gitu ada, softdrink, sampai jus pun ada. Makanan, bisa kamu lihat sendiri lah ya," ujar Putri yang sejak tadi mengenalkan wilayah kampus pada Alea. "Ah, oke oke. Duduk sebentar yuk, Put! Haus nih. Sekalian makan aja kalau perlu. Nanti aku traktir," kata Alea. "Waduh, baru sehari kenal udah traktir-traktir aja. Nggak ah, Al, nggak enak jadinya," tolak Putri. "Eh, nggak apa-apa, kok. Aku-" "Ya tapi kalau kamu maksa sih aku oke aja. Mungkin memang rezekiku siang ini, hehe," potong Putri. Alea terkekeh melihat tingkah teman barunya itu. Mereka pun segera memesan makanan dan minuman, menyantapnya sambil mengobrol ringan tentang diri masing-masing. "Oh iya, Al, rumah kamu di mana? Jauh dari sini? Kamu ngekos?" Putri tanya bertubi-tubi. "Aku tinggal bareng ... kerabat." Aneh rasanya menyebut Bian sebagai suami, saat pria itu bahkan enggan menganggap Alea sebagai istrinya. "Oh ... rumahnya jauh dari sini? Kapan-kapan aku mau main dong!" Putri memang karakter orang yang mudah bergaul. Ia punya banyak teman. Hanya saja, kehadiran Alea yang muncul tiba-tiba di semester akhir perkuliahannya cukup menarik perhatian gadis itu. Alea bingung harus menjawab apa. Andai ia tinggal sendiri, ia tak akan ragu memberi izin Putri untuk pergi ke tempat tinggalnya. Toh Alea sadar, ia memang butuh teman baru di kota ini. Hanya saja, mengingat saat ini ia pun hanya menumpang di tempat tinggal Bian, rasanya ia tidak berhak mengundang temannya untuk datang. "Kenapa? Nggak boleh?" "Bukan nggak boleh, sih. Cuma mungkin aku izin dulu ke kerabatku itu kali, ya. Dia yang punya apartemen soalnya. Dan orangnya agak kaku gitu, hehe," jawab Alea sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Putri mengangguk-anggukkan kepalanya. Menganggap jawaban Alea sebagai perkataan yang wajar. "Oke. Jadi, apa rencana kamu setelah ini?" tanya Putri. "Setelah lulus kuliah?" "Ck, jangan terlalu visioner lah. Nikmati aja dulu masa kuliah kita. Maksud aku habis jam kuliah kita hari ini habis," jelas Putri. Alea menggeleng. Ia belum punya rencans apapun. "Belum ada rencana? Ya udah, mending ikut aku nongkrong!" ajak Putri. Seketika, Alea teringat. Terakhir kali ia ikut temannya hang out, dia diajak ke kelab dan berakhir mabuk. Hanya saja, untuk yang satu itu bohong jika Alea mengatakan jika dirinya menyesal. Justru ia beruntung karena sepulangnya dari kelab ia bisa menjerat pria sekelas Fabian Erlangga. Namun, untuk mengulanginya kali ini ... "Mungkin lain kali aja. Aku harus segera pulang soalnya," tolak Alea. "Lah, buru-buru amat?" "Iya. Harus masak buat saudaraku yang tinggal bareng sama aku. Biar masakannya sudah matang waktu dia pulang kerja," terang Alea. Putri mengangguk-anggukkan kepalanya. Berusaha memahami Alea. "Ya udah. Next time tapi usahain, ya!" "Siap." Alea tidak berbohong. Sepulangnya ia dari kampus, ia langsung memasak. Bermodalkan video tutorial, Alea mengolah bahan-bahan yang tersedia di kulkas. Namun sepertinya setelah ini ia harus ke supermarket, karena bahan makanan yang ada di kulkas tersisa sedikit. Usai memasak, Alea menata rapi hasil masakannya di atas meja. Setelah itu, ia bersiap untuk pergi ke supermarket. "Oh, kamu udah pulang? Aku udah masak buat makan malam," sapa Alea kala melihat Bian baru saja masuk ke unit mereka. Bian menatap Alea datar. Seperti tidak suka melihat keberadaan gadis itu. "Kenapa?" Bian menghela napas panjang mendengar pertanyaan Alea. "Ibu mengajak makan malam. Besok." Alea mengejap. Ia senang tapi juga gugup. Ia belum banyak bicara dengan ibu mertuanya itu, karena memang persiapan pernikahannya dan Bian yang begitu singkat. Alea tidak tahu, apakah ibu Bian akan menyukainya atau tidak. "Minggir!" Terlalu sibuk dengan pikirannya, Alea sampai tidak sadar jika Bian sudah berada di hadapannya. Bian meminta ia sedikit bergeser karena Alea menghalangi pintu masuk ke kamar mereka. Seketika Alea ingat. Ia ingin ke supermarket, dan ternyata hari sudah mulai petang. Apa berlebihan jika ia meminta Bian untuk mengantarnya? Tak masalah jika Bian lelah dan mau beristirahat terlebih dahulu. Toh mereka masih bisa pergi setelah makan malam. "Ah, Bi!" Bian sontak menghentikan langkahnya, tetapi enggan menoleh. "Stok makanan di kulkas menipis. Bisa nggak temani aku ke supermarket buat belanja? Soalnya udah mau malam. Kendaraan umum pasti udah nggak ada. Mau pakai taksi, sayang uangnya." Alea ingat, jarak supermarket besar tempat seharusnya ia berbelanja cukup jauh dari apartemen. Pasti mahal jika menggunakan taksi online. "Kalau kamu masih capek, nggak apa-apa. Kita bisa pergi setelah makan malam. Kamu mau mandi, kan? Biar aku siapkan airnya dulu, ya!" imbuh Alea. Bian mendengus kesal. "Udah lupa sama perkataanku tadi pagi?" Alea mengernyit. "Soal?" Akhirnya, Bian memutar tubuhnya hingga ia dapat berhadapan dengan Alea. Tatapan pria itu menunjukkan jika ia sedang lelah dan malas. "Urus hidupmu sendiri, dan jangan ikut campur dengan kehidupanku!" Alea terperanjat. "Aku cuma minta ditemani belanja. Toh barang belanjaannya buat kebutuhan kita berdua juga, kan? Ini kepentingan bersama, bukan cuma kepentinganku sendiri," tegas Alea. Sebenarnya tak masalah bagi Alea jika Bian menolak. Meski terpaksa, ia masih bisa pergi dengan taksi. Namun, meski Bian menolak, setidaknya bisa kan, dia mengatakannya dengan kata-kata yang lebih baik? "Aku cuma mau belanja buat isi kulkas. Buat kamu - kita makan juga!" imbuh Alea dengan kesal. Bian kembali mendengus. "Oke. Kita pergi setelah aku mandi." Dalam hati, Alea bersorak senang. Ia tahu Bian terpaksa, tapi ia tak mau peduli. "Sekalian habis makan malam aja! Biar masakanku nggak keburu dingin, terus nanti kamu alasan nggak suka makanan dingin," kata Alea. Bian tidak peduli. Ia menuju ke lemari, mengambil satu setel pakaian santai, kemudian beralih ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Alea yang merasa berhasil membujuk Bian pun berjalan ke arah meja makan dengan riang. Ternyata ada kepuasan tersendiri saat ia berhasil membuat Bian mengalah dan mengikuti permintaannya. "Aku tidak peduli kamu mencintaiku atau tidak. Tapi aku ingin kamu tak lagi menganggapku asing. Aku ingin kita bahagia, walau tanpa harus saling mencinta." Alea sadar, membuat seseorang jatuh cinta tidaklah mudah. Terlebih mengingat bagaimana awal pertemuan mereka. Rasanya mustahil jika Bian akan jatuh hati padanya. Sedangkan ia sendiri, mungkin tak akan sulit untuk jatuh ke dalam pesona seorang Fabian Erlangga - yang memang terkenal memiliki daya pikat luar biasa di setiap karyanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN