Alea benar-benar tertidur nyenyak semalam. Kasur tempatnya tidur terasa begitu nyaman. Berbeda dengan kasur tipis di kosnya. Namun, saat pertama membuka mata, ia segera sadar. Harusnya, di sampingnya kini berbaring lelaki yang sudah sah menjadi suaminya sejak kemarin. Namun, nyatanya nihil.
'Terus dia tidur di mana?' pikir Alea.
Gadis itu segera bangkit dan membersihkan dirinya. Setelah itu, ia keluar. Ia segera memasak nasi dengan rice cooker, lanjut membuat telur orak-arik ala kadarnya yang ia beli semalam.
Terdengar ketikan sandi, menandakan jika ada seseorang yang sedang berusaha membuka pintu dari luar. Alea menyimpulkan bahwa itu adalah Bian. Ia pun segera memecah satu telur lagi yang niatnya akan ia berikan sebagai menu sarapan Bian.
Dan benar saja. Tak lama setelahnya, Bian muncul untuk mengambil gelas. Pria itu tampak berantakan, dengan masker hitam yang menutupi wajahnya. Bian baru melepas maskernya saat ia hendak minum.
"Kamu dari mana? Jangan bilang dari semalam nggak pulang?" tanya Alea. Ia pikir, sudah sewajarnya ia bertanya, mengingat statusnya sebagai istri Bian - meski ia tahu Bian tidak peduli akan hal itu.
Bian melirik Alea sekilas, kemudian kembali mengacuhkannya.
"Bian, aku bicara sama kamu. Memang suaraku nggak kedengaran, ya?" tegur Alea.
"Aku cuma malas jawab," balas Bian cuek. Lalu, ia pun pergi dari area dapur.
Kegiatan memasak Alea telah selesai. Nasinya pun sepertinya akan segera matang. Ia berencana mengajak Bian sarapan bersama, dan menanyai pria itu, ingin minum apa pagi ini.
"Bi, aku masuk, ya!" Alea bahkan basa-basi minta izin saat hendak masuk ke kamar mereka - satu-satunya kamar yang ada di unit ini.
"Aku belum bilang kamu boleh masuk!" ketus Bian. Pria itu tampak baru selesai mandi.
Alea mengangkat kedua bahunya tidak peduli. "Aku udah masak buat sarapan kita. Nanti kamu nyusul, ya! Oh iya, kamu mau minum apa?"
"Air putih," jawab Bian cuek.
Alea mengernyitkan keningnya. "Serius cuma itu? Nggak mau teh, kopi atau s**u gitu?" tawar Alea.
"s**u?" ulang Bian. Lelaki itu tidak ingat kalau iya pernah beli stok s**u.
"Ah itu. Semalam aku jajan di minimarket depan. Beli s**u juga. Jadi kalau kamu mau-"
"Air putih saja. Dan aku bisa ambil sendiri nanti," potong Bian.
Alea memutar bola matanya malas. Kesal dengan sikap Bian yang seakan enggan mendengarkannya sedikit pun. Setelah itu, ia keluar dan memutuskan untuk menunggu Bian di meja makan.
Apartemen Bian bukanlah apartemen yang mewah. Terkesan sederhana dan minimalis. Hanya ada empat ruang utama berukuran sedang di sana. Ruang tamu sekaligus tempat menonton TV, dapur yang juga difungsikan sebagai ruang makan dengan meja serta kursi makan minimalis, serta dua buah kamar - di mana salah satunya Bian alih fungsikan sebagai studio musik pribadinya. Lalu, ada dua buah kamar mandi. Satu di dalam kamar utama - kamar yang Alea tempati, serta kamar mandi di samping dapur.
"Jadi, mana yang kamu sebut masakan itu?" Bian muncul dengan raut wajah dingin seperti biasa, dan langsung menodong Alea dengan pertanyaan.
"Lah ... yang di depan kamu itu apa?" heran Alea. Pasalnya, ia bahan sudah menyiapkan makanan milik Bian di meja seberangnya.
Alis Bian mengkerut. Satu tangannya meraih piring berisi nasi dan telur orak-arik buatan Alea, lalu menciumnya ragu.
Alea yang melihatnya pun berdecih. Menganggap aneh sikap suaminya itu.
"Apa ini?"
"Telur lah. Memang apa lagi yang aroma dan bentuknya seperti itu? Itu telur orak-arik. Masa nggak tahu, sih?" Alea sampai terkesan nyolot menanggapi pertanyaan bodoh Bian.
Bian menggeleng dengan wajah tanpa mihat. "Sangat tidak menggugah selera. Memang kamu nggak bisa masak apa? Di kulkas masih banyak bahan."
"Y- ya bisa sih. Tapi cuma yang simpel-simpel aja," jawab Alea.
"Misalnya?"
"Telur orak-arik, telur dadar, mie instan, nugget, sosis goreng, sama pecel."
Bian menghela napas panjang, tampak tidak senang mendengar jawaban Alea.
"Ya memang apa yang kamu harapkan dari anak kos kayak aku? Daripada masak yang ribet-ribet mending mikirin tugas lah," Alea membela diri.
Bian meletakkan kembali piringnya. "Kamu saja yang habiskan!"
"Lah???"
"Aku nggak suk- nggak bisa makan itu."
"Kamu pilih-pilih juga ya soal makanan? Ya udah sini, mau aku masakin apa?" tawar Alea. Sebenarnya ia malas. Namun ia tidak mau membuat Bian semakin tidak menyukainya di pagi pertama mereka ini.
"Aku cukup makan roti," balas Bian, sambil mengambil roti tawar dari dalam kulkas.
"Aku beli selai kok. Selai kamu habis, kan? Tuh tinggal pilih, ada cokelat sama kacang. Beli mesis cokelat juga," tawar Alea.
Bian mengabaikannya kembali ia mengambil keju lembaran dan meletakkannya di antara roti tawarnya.
Alea hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Menyimpulkan bahwa Bian lebih suka keju daripada selai-selai yang manis.
Setelah itu, keduanya pun makan dengan keadaan yang sunyi. Daripada mengobrol dengan Alea, bian memilih menikmati rotinya sambil mengecek ponselnya.
Alea merasa asing. Dan ia tidak suka suasana canggung seperti ini. Sial! Ponselnya saja bahkan lupa ia bawa - masih ada di kamar.
"Semalam kamu dari mana sih? Kok berantakan gitu? Terus, hari ini kamu juga mau ke mana? Kok udah rapi aja?" tanya Alea, mengambil inisiatif untuk memecah keheningan.
"Semalam ketemu teman. Sekarang mau kerja," jawab Bian acuh.
Seperti teringat akan sesuatu, pria itu segera mendongak menatap Alea. Ia meletakkan roti dan ponselnya untuk mengambil sesuatu dari sakunya.
"Ada apa?" bingung Alea, saat Bian menyodorkan sesuatu padanya.
"Ambil! Jatah belanjamu akan aku transfer ke sana setiap awal bulan," titah Bian.
Alea tersenyum. Hatinya menghangat - senang bukan main. Apakah ini artinya Bian sudah mau belajar menerimanya sebagai istri, dengan mempercayakan urusan dapur pada Alea, dan memberinya nafkah?
Apakah ini artinya Alea benar-benar memiliki 'keluarga' sekarang?
Alea segera mengambil debit card yang Bian sodorkan. Namun, saat ia hendak mengucapkan kata terimakasih, ucapan Bian selanjutnya membuat impan Alea pagi ini hancur sudah.
"Itu kan yang kamu mau? Jadi, jangan pernah lagi menuntut apapun dariku! Kuliah, makan, uang saku, gaya hidup, aku yang tanggung. Tapi jangan minta aku jadi suami yang baik buat kamu! Karena hal itu tidak akan pernah terjadi!" tegas Bian, membuat Alea bungkam dengan nyeri yang luar biasa di dadanya.
Lagi ... ia diabaikan - dicampakan oleh orang yang seharusnya ingin ia sebut dengan keluarga.
Dan dengan tak berperasaannya, Bian langsung bangkit, pergi meninggalkan Alea sesaat setelah ia menghancurkan satu-satunya harapan milik gadis itu.
Alea diam membeku selama beberapa saat. Namun, beberapa menit berikutnya, ia terkekeh dengan raut wajah datar.
"Aku kenapa sih? Hal seperti ini kan memang sudah biasa," ujar Alea. Ia menatap nanar debit card yang ada di meja, kemudian meraih dan meletakkannya di dompetnya.